Monday, 4 April 2016

Mistical Tough (Tasawuf)



Islamic Tough An Introduction (Abdullah Saeed)
Mistycal Tought
Terjemahan & Review

Dosen pengampu: Annas Aijudin, M.Hum



Disusun oleh:


Alifia Yostin Bellavati   (143111053)
Intan Samsiyati              (143111299)
Irwanto                          (143111305)




FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2015


Mystical Tought
(Terjemahan)
Sufisme
Sufisme (atau mistisisme Islam) adalah salah satu cara untuk mendekatkan diri dan memahami Tuhan (Allah) dalam agama Islam  melalui pemikiran mistik yang lebih dikenal dengan sufisme atau ajaran tasawuf. Hal ini terkait dengan askestisme, yang berakar dalam wahyu Ilahi dan difahami melalui Syariah. Ini adalah pendekatan kepada Allah yang menggunakan intuitif dan emosional spiritual. Yang dianggap oleh Sufi menjadi aktif kecuali ditemukan melalui pelatihan yang diarahkan. Salah satu definisi tasawuf yang paling tekemuka, adalah bahwa mereka yang menganutnya memiliki kecenderungan dalam Islam yang bertujuan untuk berhubungan langsung antara Allah dan manusia.
Pelatihan di tasawuf dikenal sebagai “jalan bepergian” dan bertujuan mendispersikan diri yang bersembunyi dalam kurung. Dengan demikian menjadi berubah atau diserap menjadi satu kesatuan. Pelatihan mistik ini bereaksi terhadap rasionalisasi Islam dalam hukum dan teologi, yang berfokus hanya pada kebebasan spiritual yang memungkinkan indra rohani kita berdasarkan intuisi instrinsik di dalam lingkup tasawuf.
Perkembangan Awal Tasawuf
Dasar asketisme didalam Islam adalah takut akan penghakiman Allah, sehingga mengakibatkan kesadaran mendalam akan dosa dan kelemahan manusia, serta keinginan yang konsekuen untuk menyerahkan diri sepenuhnya terhadap kehendak Allah. Abad pertama Islam merupakan masa awal bagi penyebaran asketisme sebagai akibat ketidak puasan dengan materialism dan pertikaian agama dan politik, gerakan pertapa dari dua abad pertama Islam secara bertahap dikombinaasikan dengan kecenderungan menuju mistisisme, sehingga perkembangan awal dikenali bentuk sufisme.
Asketisme sufi dikembangkan melalui perbuatan yang melebihi tugas (mengamati aturan dan ritual luar yang diperlukan oleh hukum agama), dan penolakan terhadap hukum bahkan beberaopa hal yang sah. Beberapa contoh praktik asketisme (pertapa) sufi dan keyakinan meliputi:
-          Memakai Jubah (Khirqo)
-          Hanya memakan makan yang halal, yaitu yang diperoleh dari usaha tangan sufi itu sendir.
-          Ihlas dan senang untuk berpuasa.Memegang pandangan bahwa puasa yang benar adalah menahan dari keinginan, dan puasa hati merupakan hal yang lebih penting dibandingkan puasa fisik.
-          Menghabiskan banyak waktu dalam doa dan membaca Al-Qur’an sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, serta doa dalam bentuk mengingat Allah (Dzikir).
Diantara yang paling penting dari ide-ide sufisme adalah penolakan dari dunia, yang berarti meninggalkan kesenagan sementara dari kehidupan ini, dan bahkan dari keinginan untuk kebahagiaan abadi. Rabi’ah al-Adawiyyah (w. 185/801) adalah sufi pertama untuk menempatkan penekanan pada gagasan kasih yang tak bersyarat bagi Allah. Dalam do’anya dia berkata :
Ya Allah,
Hamba beribadah kepadaMu
Karena ketakutanku terhadap neraka, neraka yang bisa membakarku
Hamba beribadah kepadaMu
Berharap mendapatkan surgaMu, supaya di bukakan jalan menuju surga
Tetapi aku beribadah hanya kepadaMu
Supaya kelak hamba dapat bertemu denganMu

Menurut Al-Qusyairi (w. 465/1072), seorang sufi sejati adalah ‘orang yang harus acuh tak acuh terhadap dunia ini dan akhirat’. Sufi sejati melibatkan dirinya dalam kemiskinan dan mengorbankan semua harta benda sebagai latihan kesabaran dan pasrah akan kehendak Allah dan menerima dengan senang akan penderitaan dalam hidup ini demi mendekatkan diri kepada Allah di akhirat.


Perkembangan Sufi
Sufisme mengembangkan cara pemurnian melalui media perintah agama, terorganisir dari pengalaman religius, didasarkan pada gagasan dari hubungan guru dan murid. Seorang murid menerima wewenang dan bimbingan seorag guru yang telah melakukan perjalanan tahapan jalan sufi. Awalnya, jalan (tarekat) disebut metode praktis dari kontemplatif dan mistisme dalam ilmu kebatinan, yang mengangkat murid melalui  sukesi ‘tahap’ (maqamat) dalam menghadapi kenyataan. Kemudian terdapat juga acuan untuk kelompok-kelompok Sufi dengan adanya upacara inisiasi yang berbeda dan praktek ritual yang dikembangkan selama berabad-abad melalui rangkaian hubungan antara guru dan murid untuk kembali mendapatkan penerus dan menjadi pendiri tarekat baru, yang memiliki kehormatan tarekat tersebut. Pendekatan ini tidak diterima dengan baik oleh banyak ulama, ahli kitab, dan timbul kecurigaan terhadap tarekat. Karena para kaum sufi memiliki pandangan yang berbeda dengan para ulama. Namun, pada abad kelima / kesebelas, tren yang lebih moderat di tasawuf datang untuk diakui sebagai yang sah, sebagian besar karena kegiatan dihormati sarjana Muslim yang juga seorang sufi, seperti al-Sulami (d. 412/1021), muridnya al-Qusyairi dan mungkin terutama Abu Hamid al-Ghazali (d. 505/1111).
Al-Ghazali pertama kali memperoleh ketenaran sebagai seorang teolog terhormat yang diangkat sebagai kepala di Madrasah/universitas Nizamiyya di Baghdad. Setelah menderita kerusakan, dia berpaling kepada tasawuf dan mundur dalam kehidupan seorang pertapa. Dia terus menulis dan mengajar dan diselaraskan dengan mengejar sufisme dengan apa yang dianggap teologi ortodoks dan hukum dan memberiakn kontribusi yang besar dengan penerimaan luas tasawuf dikalangan ortodoks. Bagaimanapun pengakuan resmi tidak berarti menghilangkan kecurigaan dari para ulama, dan tasawuf terus mengembangkan pada jalur yang terpisah dari Islam non-mistis.
Karena banyak calon sufi yang berhijrah dari wilayah satu ke yang lainnya untuk mencari seorang pengajar (guru), perintah mendirikan pusat (hotel, rumah peristirahatan, penampungan, retret) di seluruh dunia Muslim. Pada abad kelima/ kesebelas, banyak diselenggarakan biara sufi telah tumbuh pesat, berkontribusi terhadap Islamisasi perbatasan dan non-Arab di wilayah Asia Tengah dan Afrika Utara. Aturan biara etiket mulai dikenal dan dikembangankan sebagai 'persahabatan' (suhba). Pada abad keenam/kedua belas banyak biara sufi yang telah berkembang  menjadi pendiri tarekat, tetapi memiliki arah baru dalam pengembangkan fenomena pengajaran tunggal yang menarik diri dari kehidupan biara untuk memulai dari kecil, atau mengambil kehidupan mengembara dengan sekelompok murid. Pada abad ketujuh / ketiga belas, tarekat dikaitkan dengan pengajaran tunggal, yang ajarannya, latihan mistis dan aturan hidup yang diwariskan melalui rantai (silsilah) dari panduan spiritual.
Jalan sufi
Tujuan utama dari semua latihan pertapa adalah pengalaman spiritual langsung kesadaran mistik penyatuan dengan tuhan. Untuk sufi, tujuan ini bisa dicapai hanya dengan setia mengikuti jalan sufi, dengan berbagai tahapan, yang memungkinkan jiwa yang akan disucikan, untuk mendapatkan kualitas tertentu dan naik sampai lebih tinggi. Denga bantuan Rahmat Illahi, maka akan dapat menemukan rumah Allah.
Mungkin eksposisi sistematis pertama tasawuf sebagai jalan hidup dan berpikir itu Kitab Flashes (Kitab al-luma ') oleh Abu Nasr al-Sarraj (d. 378/998), seorang sarjana sufi dari kota Tus di wilayah Iran dari Khurasan. Sarraj membahas tujuh stasiun (tahapan pencapaian spiritual) sepanjang jalan sufi: pertobatan; penelitian; penolakan; kemiskinan; kesabaran; kepercayaan; ikhlas. Selanjutnya, menurut Sarraj daftar sepuluh tingkatan (suasana hati rohani yang diberikan oleh Allah): meditasi; kedekatan kepada Allah; cinta; ketakutan; berharap; kerinduan; keintiman; ketenangan; perenungan; dan kepastian. Sementara Sarraj mengakui bahwa siapa saja bisa bergabung tasawuf dan berpartisipasi dalam tradisi mistik ini, ia mencatat bahwa ada seperangkat yang utama dalam standar untuk pencarian di bidang disiplin diri, kesadaran diri psikologis, pemahaman intuitif atau mistik, dan kepekaan emosional dan puitis.
Menurut al-Junaid (d. 298/910), tahap pertama dari pertobatan tidak hanya melibatkan dalam mengingat dosa tetapi juga melupakan atas dosa yang telah terjadi. Tahap awal jalan dalam tarekat termasuk kesabaran, rasa syukur, harapan dan ketakutan.  Al-Rudhabari (. D 322/934) membandingkan (mengibaratkan)  harapan dan ketakutan sebagai sayap burung dalam penerbangan: jika salah satu gagal penerbangannya tidak akan seimbang, dan  jika keduanya tidak berjalan beriringan maka akan gagal. Termasuk tahap lainnya seperti kemiskinan, penolakan dan ketergantungan terhadap Allah. Di antara tahapan yang lebih tinggi adalah kepuasan - bahwa manusia adalah puas dengan semua Allah telah ditetapkan baginya  dan kemudian  mengingat kematian. Tahap akhir termasuk cinta dan gnosis mengarah ke visi Tuhan dan tujuan akhir dari persatuan dengan yang ilahi. Sufi lainnya, seperti al-Qusyairi dan al-Ghazali, memberi bahkan daftar yang lebih komprehensif dari tahapan jalan sufi.
Aliran Sufi
Selama empat sampai lima abad pertama Islam, pengajaran tentang sufi disampaikan melalui seorang guru (dikenal sebagai Syeh spiritual atau Mursyyid) oleh sekelompok murid. Setelah beberapa lama, dikembangkan sebuah organisasi yang lebih structural dan kelompok, pemberian nama organisasi lebih sering berdasarkan nama pendiri. Kerangka spiritual meliputi aturan etika, periaku meditasi, dan bentuk-bentuk ibaadah lainnya. Berikut adalah beberapa aliran sufi yang  paling beerpengaruh.
Aliran Qodariyah
Pelopornya adalah Abd al-qadir al-Jailani (w. 561/1166), yang lahir disebuah desa di utara iran. Ide-idenya dipengaruhi ajaran mistik seperti Khwaja Mu’in al-Din Chisty (w. 633/1236) dan Abdul Qadir al-Suhrawardi (w. 564/1168). Dia dikatakan telah berkata: ‘kaki saya diatas setiap Wali, perintah itu dibentuk beberapa decade setelah kematiannya, dan kisah-kisah mu’jizat itu kemudian diedarkan oleh penuliss biografi seperti Ali bin Yusuf al-Shattanawfi (w. 713/1314). Al-jailani melihat syariah sebagai sumber dari segala kemajuan spiritual dan budaya, dan mengikkuti madzhab Hamnbali. Awalnya ajaran Qadiri terbesar disekitar Baghdad, kemudian pindah ke Saudi, Maroko, Mesir Turkestan, sebagian Afrika (Khartoum, Sukoto, Tripoli dan India.
Hal ini tidak mungkinkan bahwa al-Jilani sendiri melembagakan serangkaian buku doa dan ritual untuk diikuti, dan kelompok-kelompok Qadiri sendiri memiliki praktek yang berbeda-beda pula, meskipun harus memberikan bayaran untuk diberikan kepada juru kunci makam al-Jilani di Baghdad. Ziarah sering dilaksanakan untuk menghormati pendiri di mana hadiah disajikan untuk keturunannya. Qadiriyah juga melakukan dzikir disertai dengan musik. Khotbah al-Jilani juga dikumpulkan menjadi sebuah karya berjudul The Sublime Wahyu (al-Fath ar-rabbani). Dalam bukunya kelima belas 'wacana', ia berkata:
“Tidak ada yang tahu bagaimana harus bersikap dengan benar terhadap syekh kecuali dia telah melayani mereka dan menjadi sadar dari beberapa pemahaman spiritual (ahwal) yang mereka alami dengan Allah (SWT dan Glorious adalah Dia). Orang-orang [Tuhan] telah belajar untuk mengobati pujian dan menyalahkan seperti musim panas dan musim dingin, seperti siang dan malam. Mereka menganggap mereka berdua sebagai Allah (SWT dan Glorious adalah Dia), karena tidak ada yang mampu membawa mereka kecuali Allah (SWT dan Glorious adalah Dia). Saat ini telah menjadi nyata bagi mereka, karena itu, mereka tidak menempatkan kepercayaan mereka pada mereka yang memuji mereka, juga tidak melawan dengan terhadap kritikan mereka, dan mereka tidak memperhatikan mereka. Hati mereka telah dikosongkan dari cinta dan benci untuk makhluk. Mereka tidak cinta atau benci, melainkan merasa kasihan.”
Aliran Shadhiliyya
Didunia musim barat, yaitu sekitar Mediterania, akhir kekaisaram Almohad di abad ketujuh/tigabelas telah memunculkan beberapa dinasti rezim. Aliran Shadili muncul dan terbentuk, aliran ini dinamai oleh Abu Hasan al-Shadhili (w. 656/1258). Keberhasilan alirannya di Spanyol, Maroko Aljazair, Tunisia dan di bawah dinasti Mamluk di Mesir, menarik perhatian kaum intelektual terkenal termasuk penulis produktif Jalal-ad Din Al-Suyuti (d. 911/1505). Awalnya shadhilly mengikuti hukum madzhab Imam Maliki dan menekankan ajaran tentang keesaan Allah yang mutlak (tauhid). Tujuan mereka adalah realisasi gnostik kepada Allah berdasarkan ketaatan agama, hukum dan dogma Asy’ari. Dari awal sejrah mereka, banyak cabang dari aliran Shadhili bermunculan. Mereka menghindari pakaian mewah atau menunjukkan sesuatu yang luar biasa kehadapan khalayak ramai. Meskipun menjunjung tinggi makam orang-orang suci (Wali) adalah penting bagi praktik aliran mereka. Kemudian, Shadalis Juga memainkan peran dalam menolak kolonialisasi Eropa negri-negri Muslim. Dan menghasilkan sebuah Puisi (syair0 terkenal untuk menghormati Nabi Muhammad SAW,, yang ditulis seorang sufi Shadhili, Al- Busyiri (d. 695/1296. Dalam hal ini ia mengatakan :
Muhammad, pemimpin dua dunia yaitu Manusia dan jin,
Pemimpin juga dari orang-orang Arab dan non Arab serta kerabat mereka.
Nabi kita, pemimpin yang selalu benar, yang melarang menggunakan cara jahat,
Namun perkataannya tidak ada yang lebih lembut bisa dibandingkan.

Aliran Naqshabandiyyah
Dipelopori oleh Khwaja Baha 'al-Din Muhammad Naqshband (d. 791/1389), golongan ini memiliki dampak yang luas pada umat Islam di seluruh dunia. Hubungan  spiritual aliran ini adalah dengan khalifah pertama, Abu Bakar. tidak seperti garis keturunan sufi kebanyakan, yang mencapai kembali ke sepupu Nabi dan anak-anak Ali.
Aliran ini didirikan di Asia Tengah, namun meskipun, sejarah awal di dunia Persia, alliran Sunni berfokus Naqshabandiyah kehilangan pengaruh di Persia dengan munculnya dinasti Syafawi Syiah (908-1149 / 1502-1736). Ssetelaah pendiriannya, aliran Naqshabandiyah menyebar keseluruh Turkistan, Suriyah, Turki, Afghanistan, Jawa, Kalimantan, Afrika dan China. Cabang Mujaddidi, yang didirikan oleh Ahmad Sirhindi (d. 1034/1624), menjadi terkenal di India, tetapi juga menyebar ke Turki. Pengaruh yang signifikan dari aliran Naqshbandi di India lain datang dalam bentuk ajaran Shah Wali Allah (d. 1176/1762).
Golongan Naqshbandi tidak menghindar dari keterlibatan dalam politik. Mereka memiliki hubungan baik dengan Dinasti Utsmani. Di Turki Syekh Ahmed Ziyauddin Gumush-Khanewi (d. 1311/1894), adalah seorang tokoh yang berhasil mengembangkan pengikutnya sampai saat ini, berjuang dalam perang Dinasti Utsmani Rusia pada tahun 1877. Syeh sufi Turki lainnya bertempur dalam perang dunia pertama dan perang kemerdekaan Turki. Sementara militant Naqshabandi menentang pembentukan Negara Turki sekuler. Di India Naqshabandiyah memainkan peran penting dalam mengembangkan ideology Mughal, khususnya Ahmad Sirhindi berusaha untuk mereformasi golongan yang berkuasa. Golongan Naqshbandi, bergabung dengan Qadiris, juga aktif dalam upaya untuk menahan pintu masuk Rusia ke Kaukasia
Pada hari ini sebuah kelompok Naqshabandiyah terkemuka telah pindah ke Amerika Serikat  dan Eropa di bawah arahan sang Syeh Karismatik Muhammad Nazim Al-Haqoni dan wakilnya Syeh Muhammad Hisyam Kabbani. Menurut  Naqshabandiyah-Haqqaniyah ada tingkatan latihan spiritual harian tergantung pada satu tahap disepanjang jalan (toriqot). Seiring dengan praktik wajib bahwa semua muslim melakukan (seperti shalat lima waktu dan mengikuti persyaratan hukum agama). Inisiatif seseorang dalam urusan Naqshabandiyah-Haqqaniyah mengulangi hal-hal tertentu, seperti doa’ membaca nama-nama Illahi dan Al-Qur’an  (Sura) beberapa kali, dan juga berdoa pada Nabi Muhammad. Seorang murid yang sudah sampai pada tingkat selanjutnya melakukan hal yang sama tetapi dengan peningkatan pengulangan. Pada tingkat ketiga, murid melakukan latihan rohani dan meditasi yang lebih ketat. Periode pengasingan diperlukan untuk meningkatkan kebangkitan spiritual.
Ibn Arabi Dan Sekolahnya
Abu Abd Allah ibn Arabi (d. 638/1240) adalah mungkin salah satu sufi paling berpengaruh dalam sejarah Islam. Dikenal sebagai Muhyi al-Din (artinya minuman keras dari agama) dan al-Syaikh al-Akbar (master terbesar), ia lahir di Murcia, Spanyol, di 560/1165. Awal dalam hidupnya, ia memiliki pengalaman konversi berikut penyakit, dan, meskipun ia tidak menemukan jalan sufi tertentu, pengaruhnya pada pemikiran Sufi di mana-mana. Ibn Arabi memiliki kesempatan untuk bertemu sejumlah guru dan ulama penting. Ia melakukan perjalanan melalui Spanyol, Afrika Utara dan dunia Islam timur, dan melakukan Haji ke Mekah, di mana ia tinggal disana selama dua tahun.
Menurut dia, pada beberapa arus esoteris yang ada dalam dunia pemikiran Islam, seperti Pythagoras, alkimia dan astrologi, dan berbagai kecenderungan Sufi, yang berkembang menjadi sintesis yang luas dibentuk oleh Al-Qur'an dan Sunnah. Sekitar delapan ratus lima puluh karya telah dikaitkan dengan Ibn Arabi, dari tujuh ratus yang masih ada, dan ini sekitar empat ratus lima puluh dianggap otentik. Diantaranya terkenal adalah (Al-Futuhat Al-Makkiyaya), (Fusus Al-Hikam), dan (Shajarat Al-Kawn). Dua dari doktrin-doktrin Ibn Arabi yang paling terkenal adalah 'Unity Of Being' (Wahdat Al-Wujud) dan 'Manusia Sempurna' (Al-Insan Al-Kamil).
Pemikiran  Ibn Arabi
Penting untuk teosofi Ibn Arabi dan metafisika adalah konsep 'Kesatuan Wujud’ (wahdat al-wujud), istilah yang sering digunakan oleh para pengikutnya, tetapi tidak oleh Ibn Arabi sendiri. Ungkapan 'penyatuan Wujud' berarti bahwa dari per-prospektif transendensi Allah (tanzih) hanya ada satu Wujud; tidak ada hal lain yang memiliki keberadaan yang sejati selain Satu wujud dan tak terbagi-bagi. Dunia luar diciptakan, bukan sebagai realitas objektif. Walaupun ada pandangan lain, menyatakan bahwa imanensi (tashbih), adalah segala sesuatu yang diungkapkan untuk memperlihatkan wujud-Nya.
Menurut Ibnu Arabi, gambar esensi dari setiap makhluk ada dalam pengetahuan Allah. Gambar-gambar ini disebut 'dasar-dasar kehidupan' (al-a'yan al-Thabita) karena mereka bertahan hidup dalam pengetahuan Allah dan tidak pernah meninggalkan pengetahuan atau pikiran terhadap-Nya. Karena ini 'cita-cita' yang diinginkan dengan sifat-sifat Allah, yang juga identik dengan Zat-Nya, banyak hal yang dirasakan terhadap hal-hal yang tidak nyata (mistis); itu hanya tampak ada obyektif. Perbedaan muncul sebagai wujud untuk menentukan keputusan sendiri; Oleh karena itu, hasil kesatuann dari sebuah wujud. Kesamaan suatu wujud menunjukkan bentuk kekurangan tanpa mengalami pembagian sedikitpun atau kecacatan.Dalam wujud kesempurnaan Manusia (Al-Insan Al-Kamil), termasuk wujud dari semua sifat-sifat Allah.
Saat adanya keterbatasan dalam kemantapan hati dan kesempurnaan dalam keyakinan, Ibn Arabi mengakui bahwa hal tersebut termasuk dalam kesatuan suatu ilmu ontologi yang ada. Keberagaman rasa manusia yang merasa adanya kedekatan dengan-Nya hanya ada dalam imajinasi dan kekuatan khayalan. Dibutuhkan rasa spiritual tertentu dan mata yang tajam untuk dapat menyaksikan ketetapan Allah yang ada didunia tanpa mengabaikan kehebatan Allah yang sungguh luar biasa.
Perbedaan antara yang diciptakan dan penciptanya hanya relatif. Dalam Fasusnya, Ibnu Arabi mengatakan :
“Jika Anda ingin bisa mengatakan bahwa dunia ini adalah Tuhan, atau Anda dapat mengatakan bahwa itu adalah ciptaann-Nya; Jika anda lebih memilih dari salah satunya, Anda dapat mengatakan itu adalah Tuhan disuatu sisi dan Tuhan sebagi penciptaNya, atau memohon salah satu atas kekurangan yang ada.”
Menurut Ibnu Arabi, pokok esesiensi Allah yang dianggap sebagai zat yang dapat menembus dunia dan dapat menciptakan hal tersebut. Atas dasar ini, Ibnu Arabi menambahkan bahwa tidak ada dasarnya Tuhan itu jahat kepada ciptaanNya. Ini telah menimbulkan tuduhan panteisme dan kontradiksi terhadap nilai-nilai syariah, menurutnya juga ada kebaikan dan adanya kejahatan.
Hal ini sering dikatakan oleh Ahmad Sirhindi dari India (d. 1034/1624), dari golongan Naqsybandi dengan adanya pertentangan terhadap Ibnu Arabi, karena kritik Sirhindi tentang gagasan “kesatuan wujud”. Sebuah analisis yang lebih dalam terhadap pandangan tersebut, bagaimanapun hal tersebut menunjukkan bahwa yang Sirhindi butuhkan hanya untuk berpura-pura terhadap jalan pikiran Ibnu Arabi, sementara gagal untuk menghargai perbedaan diantara keduanya. Dengan demikian, kritik Srihindi tentang keprihatinan ‘kesatuan umat’ terhadap kelompok-kelompok calon sufi dan Ibnu Arabi daripada dirinya sendiri. Namun, Sirhindi meniru beberapa pemahanan Ibn Arabi. Dia memiliki visi mistik sendiri dan pengalaman spirituial dan mengambangkan gagasan wahdat al-Shuhud (kesaksian kesatuan), berbeda bahkan fakta menyatakan  bahwa ajarannya sama dan dianggap untuk mengajarkan kepada muridnya. Di sisi lain Ibn Arabi itu tidak selalu dibimbing namun juga membimbing orang lain. Sirhindi tidak melihat dirinya sebagai menjadi pribadi yang unggul dari Ibn Arabi, dibanyak tempat ia memujinya dan mengakui kekurangannya, melihat memiliki kekurang terhadap wawasannya.
Tentang konsepnya, Sirhindi condong kearah posisi ulama menggunakan ekspresi ‘semuanya oleh-Nya’. Sirhindi tidak mempertahankan bahwa dunia ini memiliki keaslian eksistensi, itu adalah bayangan Allah, tempat dimana Allah memanifestasikan diriNya. Keberadaan Allah dapat ditemukan di dalam penciptaannya, dan keberadaan esendi dari dunia ciptaan Alloh menunjukkan keberadaanNya serta kesempurnaan terhadap wujud Allah. Namun, bertentangan denganpandangan dari beberapa pengikut paham ‘kesatuan wujud’, dan mengikuti ajaran Al Qur'an, Sirhindi melihatnya sebagai penting untuk mempertahankan perbedaan antara Allah dan ciptaan-Nya. Esensi dari Allah mendukung dunia melalui nama-nama ilahi dan atribut, yang memiliki realitas mereka sendiri.
Kritik Terhadap Sufi dan Sufisme
Seperti sekolah lain pemikiran dan praktek pada waktu yang berbeda, sufi telah ditargetkan oleh ulama bersemangat dan otoritas politik yang telah menolak ajaran mereka. Seringkali, penganiayaan teologis yang berkaitan dengan politik dan ketidak stabilan sosial. Misalnya, selama inkuisisi abasiyah mengenai status Al-Qur’an (apakah itu diciptakan atau tidak). Seorang sufi terkenal Dhu Al-nun (D.246/806), dianiaya bersama dengan Ahmad ibn Hanbal untuk mempertahankan hakikat bahwa Al- Qur’an tidak diciptakan. Demikian pula, sufi Al-Qusyairi menderita karena dianiaya ketika sekolah teologi Asy’ari di khurasan antara 440/1063.
Bukan hanya sufi yang mengkritik tasawuf sufi lainnya juga mengkritik aspek tasawuf, diantaranya tokoh-tokoh kunci seperti Al- Sarraj (D.378/1988), Al-hujwiri (D.sekitar 470/1077) dan Al-Ghozali (D.505/1111). Diantara kritikus terkuat adalah ibn Al-jauzi (D.597/1200), seorang ahlli hukum hanbali keras dan penulis. Ibn Al-jauzi memiliki harfiyah hukum, kecemburuannya yang bertujuan untuk ” memurnikan” syariah. Dia mengkritik apa yang dilihatnya sebagai kecenderungan sufi menuju libertinism. Ibn Al- jauzi mengemukakan enam bidang utama libertinism (antara bagian tertentu tasawuf) berdasarkan pada pendapat Al-Ghozali:
-          Karena semua tindakan kita sudah ditentukan, kita tidak perlu melakukan apapun tugas agama.
-          Alloh tidak membutuhkan doa kita dan karena itu kita tidak perlu melakukan do’a untuk Alloh.
-          Apapun yang kita lakukan Alloh adalah murah hati dan akan mengampuni.
-          Karena hukum tidak menghilangkan kelemahan manusia, tidak ada gunanya sebagai sarana kemajuan spiritual.
-          Sufi yang melihat visi surgawi dan mendengar suara-suara surgawi telah mencapai tujuannya, dan tidak perlu melakukan sholat.
-          Kesucian dan negara diluar hukum yang dibuktikan dengan kinerja mukjizat.
Ibnu al-Jauzi juga mengklaim tasawuf dari kecenderungan terhadap ingkarnasi (hulul). Ingkarnasi adalah fokus pada bentuk manusia yang indah sebagai wujud manifestasi Ilahi. Keindahan Ilahi sering digambarkan dalam bentuk kelelakian; sehingga kita menemukan fenomena 'menatap pada pemuda' sebagai fenomena hulul. Abad kelima/abad kesebelas Hanbali ahli hukum dan heresiographer Abu Ya'la menulis: 'The incarnationists (al-hululiyya) telah melangkah ke titik yang mengatakan bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa mengalami bergairah cinta. Sarjana India al-Thanawi (D 1158/1745) mengatakan bahwa ingkarnasi adalah:
“Sekte yang mengatakan bahwa wujud manifestasi Illah itu diizinkan untuk menatap pada pria dan wanita muda. Dalam keadaan mereka menari dan mendengarkan musik dan berkata, 'Ini adalah salah satu atribut Ilahi yang telah turun di antara kita, yang diizinkan dan halal! "Ini perselingkuhan murni.”
Kritik lain dari sufi berhubungan dengan ucapan gembira mereka, yang ditafsirkan sebagai wakil Allah dan Nabi, terutama dalam hal pemikiran atau doktrin. Mungkin contoh yang paling terkenal adalah bahwa al-Hallaj (w. 309/922), yang dieksekusi atas dasar pernyataan gembira nya 'Akulah Kebenaran' (yang berarti 'Akulah Allah').
Tidak ada prinsip-prinsip hukum yang jelas untuk menangani ucapan gembira dalam hukum agama. Penafsiran literal mereka sebagai menghujat (penjamin sanksi hukum agama) melanggar niat para sufi. Demarkasi antara ahli hukum yang berpegang pada penafsiran literal dari komentar gembira dan ahli hukum yang berpegang pada penafsiran spiritual mereka adalah sama seperti yang antara ulama yang menolak dan mereka yang menerima ucapan gembira.
Sufisme Pada Hari Ini
Sufisme masih merupakan bagian penting dari pengalaman agama Islam di modern kali, dan bahkan menyebar ke barat. Didunia muslim, tasawuf telah dikecam oleh kelompok-kelompok keras seperti wahabi dan salafiy yang melihatnya sebagai sebuah inovasi dapat diterima namun, sufisme memiliki juga memacu gerakan revivalis dianak benua india, asia tenggara dan afrika. Di barat, telah dipopulerkan dalam puisi rumi (w.672/1273) dan telah lama menjadi topik yang menarik orientalis. Salah satu otoritas terkemuka di dunia pada tasawuf adalah Annemarie sarjana jerman schimmel (w.2003), yang mengabdikan karir seumur hidup untuk studi akademis mistik Islam.
Kelompok-kelompok sufi di barat dapat dibagi tiga kategori, pertama terdiri dari orang-orang yang menganut Islam dan praktek hukum agama Islam. Contoh dari kategori ini termasuk cabang dari shidili, naqsanbadi, qadiri, chisthti dan perintah ni’matullohi yang telah dibentuk diamerika utara, Eropa, dan Australia. Sejumlah tokoh barat muallaf telah terlibat dengan kelompok-kelompok dalam kategori ini. Termasuk Syeikh Abdal Qodar As-syafi, Syeikh Nuh  Hah Mim Keller. Dan Abdalhaq dan aisyah beyley. Pada kelompok kedua syeikh dan mungkin beberapa mungkin melaksanakan praktek hukum Islam dengan cara tertentu, tapi ini tidak diperlukan untuk masuk kedalam kelompok. Dua contoh dari kategori ini termasuk fellowship  bawa Muhayiaddeen dan masyarakat thershold (a mevlevi Order). Kelompok ketiga terdiri dari orang-orang yang telah terinspirasi oleh sufisme sejarah atau guru sufi tapi yang murid tidak dapat mempertimbangkan diri mereka sebagai muslim, juga tidak berlatih hukum agama Islam. Contoh kategori ini termasuk ordo sufi internasional didirikan oleh Hazrat Inayat Khan pusat sufi emas dipimpin oleh Irina Tweedie dan Llewllyn Vaughan Lee.














Mystical Tought
(Review)
Tasawuf dan Perkembangannya
Sufisme (atau mistisisme Islam) adalah salah satu cara untuk mendekatkan diri dan memahami Tuhan (Allah) dalam agama Islam  melalui pemikiran mistik yang lebih dikenal dengan sufisme atau ajaran tasawuf. Tasawuf atau sufisme mempunyai tujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan tuhan. Sehingga disadari dengan benar bahwa seseorang berada dihadirat Tuhan.  Intisari dari mistisisme, termasuk didalamnya sufisme ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi[1]. Kesadaran berada dekat dengan tuhan itu dapat mengambil bentuk ij’tihad bersatu dengan Tuhan.[2]
Tasawuf ini awalnya berkembang atas dasar asketisme[3] didalam Islam yaitu takut akan penghakiman Allah, sehingga mengakibatkan kesadaran mendalam akan dosa dan kelemahan manusia, serta keinginan yang konsekuen untuk menyerahkan diri sepenuhnya terhadap kehendak Allah. Abad pertama Islam merupakan masa awal bagi penyebaran asketisme sebagai akibat ketidak puasan dengan materialisme dan pertikaian agama dan politik, gerakan pertapa dari dua abad pertama Islam secara bertahap dikombinaasikan dengan kecenderungan menuju mistisisme, sehingga perkembangan awal dikenali bentuk sufisme.[4]
Hal yang paling penting dari ide-ide sufisme adalah penolakan terhadap dunia, yang berarti meninggalkan kesenangan sementara dari kehidupan ini, dan bahkan dari keinginan untuk kebahagiaan abadi. Menurut Al-Qusyairi, seorang sufi sejati adalah ‘orang yang harus acuh tak acuh terhadap dunia ini dan akhirat’. Sufi sejati melibatkan dirinya dalam kemiskinan dan mengorbankan semua harta benda sebagai latihan kesabaran dan pasrah akan kehendak Allah dan menerima dengan senang akan penderitaan dalam hidup ini demi mendekatkan diri kepada Allah di akhirat.[5]
Sufisme mengembangkan cara pemurnian melalui media perintah agama, terorganisir dari pengalaman religius, didasarkan pada gagasan dari hubungan guru dan murid. Seorang murid menerima wewenang dan bimbingan seorag guru yang telah melakukan perjalanan tahapan jalan sufi. Awalnya, jalan (tarekat) disebut metode praktis dari kontemplatif dan mistisme dalam ilmu kebatinan, yang mengangkat murid melalui  sukesi ‘tahap’ (maqamat) dalam menghadapi kenyataan tahapan maqam (tingkatan) tersebut diantaranya adalah taubat, sabar, syukur, khauf, raja’ zuhud, tawakal dan cinta allah.[6]
 Pada abad kelima / kesebelas, tren yang lebih moderat di tasawuf datang untuk diakui sebagai yang sah, sebagian besar karena kegiatan dihormati sarjana Muslim yang juga seorang sufi, seperti al-Sulami muridnya al-Qusyairi dan Abu Hamid al-Ghazali. Pada abad ketujuh/ketiga belas, tarekat dikaitkan dengan pengajaran tunggal, yang ajarannya, latihan mistis dan aturan hidup yang diwariskan melalui rantai (silsilah) dari panduan spiritual.[7]

Jalan Sufi (untuk dekat kepada Tuhan)
Untuk dekat dengan Tuhan seorang sufi harus menempuh jalan panjang yang berisi stasiun-stasiun yang disebut dengan Maqommat.[8]  Abu Nashr Al-Sarraj membahas tujuh stasiun (tahapan pencapaian spiritual) sepanjang jalan sufi yaitu, Tobat, Wara’, Zuhud, Kefakiran, Sabar, Tawakal, dan Kerelaan hati.
1.      Tobat
Tobat yang dimaksudkan sufi adalah tobat yang sebenar-benarnya, tobat yang tidak membawa dosa lagi. Tobat yang sebenarnya dalam paham sufisme ialah lupa pada segala hal kecuali Tuhan. Orang yang bertobat adalah orang yang cinta pada Allah. Orang yang cinta kepada Allah senantiasa mengadakan kontemplasi tentang Allah.[9]
2.      Wara’
Wara’ adalah meninggalkan segala yang didalamnya terdapat syubhat (keragu-raguan) tentang halalnya sesuatu. [10]
3.      Kefakiran
-          Tidak meminta lebih daripada apa yang telah ada pada diri kita
-          Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban
-          Tidak meminta, sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tapi tidak menolak.[11]
4.      Sabar
-          Sabar dalam menjalankan perintah-perintah-Nya, dalam menjaihi segala larangan-larangan-Nya dan dalam menerima segala cobaan yang ditimpakan-Nya pada diri kita
-          Menunggu datangnya pertolongan dari Tuhan
-          Sabar menderita kesabaran.[12]
5.      Tawakal
-          Berserah pada Qada’ dan putusan dari Tuhan
-          Selama dalam keadaan tentram, jika tak dapat apa-apa bersikap sabar, dan menyerah kepada Tuhan, percaya kepada Janji Allah, bersikap sebagai telah mati[13]
6.      Kerelaan
-          Tidak menentang Qada’ dan Qadar Tuhan
-          Menerima taqdir dengan senang hati
-          Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana menerima nikmat
-          Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta supaya dijauhkan dari neraka[14]
Aliran Sufi
1.      Aliran Qadariyah
Aliran ini didirikan oleh Abd al-qadir al-Jailani dari Jaelan , Persia yang kemudian menetap di Baghdad, Irak.sepeninggalan Beliau aliran ini di sebarluaskan oleh anak-anaknya. Pada perkembangannya aliran ini menyebar keberbagai daerah, termasuk Syiria, Turki dan beberapa tempat di Afrika, seperti Kamerun, Congo, Mauritania, serta tempat-tempat lainnya.[15]
Aliran  Qadiriyah dikenal luwes, yaitu apabila sudah mencapai derajat Syekh, murid tidak mempunyai keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan, dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal tersebut tampak pada ungkapan Abdul Qadir jailani, “Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, dia menjadi mandiri sebagai Syekh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.”[16]

a.      Perkembangan Aliran Qadiriyah
Qadiriyah adalah nama tarekat yang dinisbatkan kepada seorang sufi besar yang sangat legendaris yaitu Syekh Muhyiddin Abd Qadir al- Jailani. Tarekat ini menempati posisi yang amat penting dalam sejarah spiritualitas islam karena tidak saja sebagai pelopor lahirnya organisasi tarekat, tetapi juga cikal bakal munculnya berbagai cabang tarekat di dunia Islam. Kendati struktur organisasinya baru muncul beberapa dekade setelah kematiannya, semasa hidup sang syekh telah memberikan pengaruh yang sangat besar pada pemikiran dan sikap umat islam. Dia dipandang sebagai sosok ideal dalam keunggulan dan pencerahan spiritual. Namun generasi selanjutnya mengembangkan sekian banyak legenda yang berkisar pada aktivitas spiritualnya, sehingga muncul berbagai kisah ajaib tentang dirinya.[17]
Syekh Abd Qadir al-Jilani memimpin madrasah dan ribathnya di Baghdad. Sepeninggalnya kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Abd Wahab. Dan setelah Abd Wahab wafat maka kepemimpinannya dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Abdussalam. Madrasah dan ribat (pemondokan para sufi), secara turun temurun tetap berada dibawah pengasuhan keturunan Syekh Abd Qadir al-jilani. Hal ini berlangsung sampai hancurnya kota Baghdad oleh ganasnya serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan (1258 M atau 656 H). Serangan Hulagu Khan inilah yang menghancurkan sebagian besar keluarga Syekh Abd Qadir al-Jilani, serta mengakhiri eksistensi madrasah dan ribatnya di kota Baghdad.[18]
Perkembangan tarekat ini sangat meluas, sampai keluar Bagdad karena sejak zaman Syekh Abd Qadir Jailani, sudah ada beberapa muridnya yang mengajarkan metode dan ajaran tasawufnya keberbagai negeri islam. Di antaranya ialah: Ali Muhammad al-Haddad di daerah Yaman, Muhammad Al-Batha ihi didaerah Balbek dan di Syiria, dan Muhammad ibn Abd Shamad menyebarkan ajarannya di Mesir.[19]

b.      Ajaran aliran Qadiriyyah
Ajaran syekh Abb al-Qadir selalu menekankan pada pensucian diri dari nafsu dunia. Karena itu memberikan beberapa petunjuk untuk mencapai kesucian diri yang tertinggi.
[20]Adapun ajaran-ajaran tersebut adalah:
1.      Taubat
Taubat adalah kembali kepada Allah dengan mengurai ikatan dosa yang terus menerus dari hati kemudian melaksanakan hak Tuhan.
Ibnu ‘abas ra. Berkata: “Taubat al-nasuha adalah penyesalan dalam hatipermohonan ampun dengan lisan, meninggalkan dengan anggota badan dan berniat tidak akan mengulangi lagi”.
Menurut syekh Abd Qadir jailani, taubat ada dua macam, yaitu:
-          Taubat yang berkaitan dengan hak sesama manusia.Taubat ini tidak terealisasi kecuali dengan menghindari kezaliman,   memberikan hak kepada yang berhak, dan mengembalikan kepada pemiliknya.
-          Taubat yang berkaitan dengan hak Allah. Taubat ini dilakukan dengan cara selalu mengucapkan istighfar dengan lisan, menyesal dalam hati, dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi di masa mendatang.

2.      Zuhud
Zuhud secara bahasa berpaling darinya dan meninggalkannya karena menganggapnya hina atau menjauhinya karena dosa. Sedangkan menurut istilah zuhud adalah merupakan gambaran tentang menghindari dari mencintai sesuatu yang menuju kepada sesuatu yang lebih baik darinya. Atau istilah lain, menghindari dunia karena tahu kehianaannya bila dibandingkan dengan kemahalan akhirat.  Menurut ‘Abd al-Qadi jailani, zuhud ada dua macam, yaitu:
-          Zuhud hakiki yaitu mengeluarkan dunia dari hatinya.  Hal ini bukan berarti bahwa seseorang menolak rezeki yang diberikan Allah kepadanya, tetapi di mengambilnya lalu digunakan untuk ketaatan kepada Allah.
-          Zuhud lahir yaitu mengeluarkan dunia dari hadapannya.  Berarti bahwa harus menahan hawa nafsu (sesuatu yang kita sayangi) serta menolak semua tuntutannya.
3.      Tawakal
Tawakal artinya berserah diri. Hakikat tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah dan membersihkan diri dari gelapnya pilihan, tunduk dan patuh terhadap hukum dan takdir.
Syekh ‘Abd al-Qadir Jailani menekankan pentingnya tawakal dengan mengutip sebuah sabda Nabi, “Bila seseorang menyerahkan dirinya secara penuh kepada Allah, maka Allah akan mengaruniakan apa saja yang diminta. Begitu juga sebaliknya, bila dengan bulat ia mnyerahkan dirinya kepada dunia, maka Allah akan membiarkan dirinya dikuasai oleh dunia.”
Semakin banyak orang yang mengejar dunia, maka semakin lupa dia akan akhirat, sebagai mana dinyatakan dalam sabda Nabi, “Apabila ingatan manusia telah condong kepada dunia, maka ingatannya kepada akhirat berkurang.”
4.      Syukur
Syukur adalah ungkapan rasa terima kasih atas nikmat yang diterima, baik lisan, tangan, maupun hati. Menurut syekh ‘Abd al-Qadir Jailani hakikat syukur adalah mengakui nikmat Allah karena Dialah pemilik karunia dan pemberian sehingga hati mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah dan patuh pada syari’at-Nya. Syekh ‘Abd al-Qadir Jailani membagi syukur menjadi tiga macam, yaitu:
-          Syukur dengan lisan, yaitu dengan mengakui adanya nikmat dan merasa tenang. Dalam hal ini si penerima nikmat mengucapkan nikmat Tuhan dengan segala kerendahan hati dan ketundukkan.
-          Syukur dengan badan atau anggota badan, yaitu dengan cara melaksanakan dan pengabdian serta melaksanakan ibadah sesuai dengan perintah Allah. Dalam hal ini, si penerima nikmat selalu berusaha mnjalankan perintah Tuhan dan menjauhi segala larangan-Nya.
-          Syukur dengan hati, yaitu beritikaf/berdiam diri atas tikar Allah dengan senantiasa menjaga hak Allah yang wajib dikerjakan. Dalam hal ini, si penerima nikmat mengakui dari dalam hatinya bahwa semua nikmat itu berasal dari Allah SWT.
5.      Sabar
Sabar adalah tidak mengeluh karena musibah yang menimpa kita kecuali mengeluh kepada Allah. Menurut syekh ‘Abd al-Qadir Jailani, sabar ada tiga macam, yaitu:
-          Bersabar kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
-          Bersabar bersama Allah, yaitu bersabar terhadap ketetapan Allah dan perbuatan-Nya terhadapmu dari berbagai macam kesuliatan dan musibah.
-          Bersabar atas Allah, yaitu bersabar terhadap rezeki, jaln keluar, kecukupan, pertolongan, dan pahala yang dijanjikan Allah di kampung akhirat.
6.      Ridha
Ridha adalah kebahagian hati dalam menerima ketetapan (takdir). ‘Abd al-Qadir mengutip ayat al-qur’an tentang perlunya sikap ridha, “Dengan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat darinya, keridhaan dan syurga. Mereka memperoleh didalamnya kesenangan yang kekal”.(QS. At-Taubah: 21).
7.      Jujur
Jujur menurut bahasa adalah menetapkan hukum sesuai dengan kenyataan. Menurut syekh ‘Abd al-Qadir Jailani, jujur adalah mengatakan yang benar dalam kondisi apapun, baik menguntukan maupun yang tidak menguntungkan.

2.      Aliran Shadiliyyah
Aliran ini dipelopori oleh Abu Hasan al-Shadhili. Shadhilly mengikuti hukum madzhab Imam Maliki dan menekankan ajaran tentang keesaan Allah yang mutlak (tauhid). Tujuan mereka adalah realisasi gnostik[21] kepada Allah berdasarkan ketaatan agama, hukum dan dogma Asy’ari. Dari awal sejrah mereka, banyak cabang dari aliran Shadhili bermunculan. Mereka menghindari pakaian mewah atau menunjukkan sesuatu yang luar biasa kehadapan khalayak ramai. Shadalis Juga memainkan peran dalam menolak kolonialisasi Eropa negri-negri Muslim.[22]
Aliran ini pada masa sekarang dapat dijumpai di Afrika, Mesir, Kenya, Tanzania, Timur Tengah, Srilangka, dan tempat-tempat lain termasuk Amerika Barat dan Utara.[23]

a.      Sejarah dan perkembangan aliran Shadiliyyah
Aliran  Syadziliyyah tak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yaitu Abu al-Hasan al-Syadzili. Selanjutnya nama tarekat ini dinisbatkan kepada namanya Syadziliyah yang mempunyai ciri khusus yang berbeda dengan tarekat-tarekat yang lain. Secara lengkap nama pendirinya adalah ‘Ali bin Abdullah bin Abd. Al Jabbar Abu al-Hasan al-Syadzili. Silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan orang-orang garis keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dan bearti keturunan siti Fatimah, anak perempuan dari Rasulullah SAW.[24]
Beliau dilahirkan di desa Ghumara, dekat Ceuta saat ini, di utara Maroko pada tahun 573 H, pada saat dinasti al-muwahiddin mencapai titik nadinya. Adapun mengenai tahun kelahiran al-Syadzili sebenarnya masih belum ada kesepakatan. Beberapa penulis berbeda pendapat, antara lain sebagai berikut: Siraj al-Din al-Hafsh menyebut tahun kelahirannya 591 H./1069 M., Ibn Sabbah menyebutnya 583 H./1187 M.,dan J.Spencer Trimingham mencatat tahun kelahirannya al-Syadzili 593 H./1196 M.
Aliran Syadziliyah muncul di belahan dunia Islam barat menuju Mesir, dan dari Mesir menyebar keberbagai macam penjuru kawasan Islam. Berdasarkan sumber yang ada, tarekat ini mucul pada kurun ke 7 Hijriah tepatnya sekitar tahun 642 H. dan cenderung beraliran Suni. Dalam buku Tasawuf Islam karya Abu Wafa al-Ghanimi al-taftazani, bahwa tasawuf syadzili, Mursi dan Abu Athoillah merupakan pondasi-pondasi madrasah Syadziliyah yang jauh dari pemikiran madrasah Ibnu Arabi dan aliran tasawuf wahdatul wujud-nya. Tak satupun dari ketiga orang tersebut yang mengatakan tentang pemikiran wahdatul wujud itu. Di saat mereka jauh dengan Ibnu Arabi, ternyata mereka sangat dekat dengan tasawuf al-Ghazali yang berpegangan pada al-kitab dan al-sunnah.[25]

b.      Ajaran aliran Shadzilliyah
[26]Ajaran-ajaran aliran ini diantaranya adalah:
1.      Tidak menganjurkan kepada murid-muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan sederhana yang akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah SWT. Dan mengenal rahmat ilahi. Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur, dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman.
2.      Tidak mengabaikan dalam menjalankan syariat Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan al-Ghazali, yaitu suatu tasawuf yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, mengarah pada asketisme,pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs), dan pembinaan moral (akhlaq),suatu tasawuf yang di nilai cukup moderat.
3.      Zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. Semua itu hanyalah permainan (al-la’b),dan senda gurau (al-lahw) yang akan melupakan Allah.
4.      Tidak ada larangan bagi salik  untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya. Seorang salik  boleh tetap mencari harta kekayaan,namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia, tiada kesedihan ketika harta hilang dan tiada kesenangan berlebihan ketika harta datang.
5.      Berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan ummat, berusaha menjembatani antara kekeringan sepiritual yang dialami oleh banyak orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik. Al-syadzili menawarkan tasawuf positif yang ideal dalam arti bahwa disamping berupaya mencari “langit”, juga harus beraktifitas dalam realitas sosial di “bumi’’ ini.  Beraktifitas sosial demi kemaslahatan umat adalah  bagian integral dari hasil kontemlasi.
6.      Tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Tasawuf memiliki empat aspek penting yaitu, berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsu serta berupaya selalu bersama dan berkenalan dengan-Nya secara sungguh-sungguh.
7.      Dalam kaitannya dengan al-ma’rifah (gnosis), al-Syadzili berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan ahli tarekat atau tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan. Pertama adalah mawahib atau ‘ain al-jud (sumber kemurahan Tuhan) yaitu tuhan memberikannya dengan tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberikan anugerah tersebut. Kedua, adalah imakasib atau badzi al-majhud yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras, melalui ar-riyadhah, mulazamah al-dzikir, mulazamah al-wudlu’, puasa, shalat sunnah dan amal shaleh lainnya.

[27]Pada aliran Shadzilliyah ini juga terdapat 5 prinsip atau landasan dalam ajarannya, diantaranya:
a.       Ketaqwaan terhadap Allah subhanahu wata’ala lahir bathin, yang diwujudkan dengan jalan bersikap wara’ dan Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah subhanahu wata’ala.
b.      Konsisten mengikuti Sunnah Rasululkah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang direalisasikan dengan selalu bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur.
c.       Berpaling (hatinya) dari makhluk, baik dalam penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada Allah subhanahu wata’ala (Tawakkal).
d.      Ridha kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang diwujudkan dengan apa adanya [qana’ah/tidak rakus] dan menyerah.
e.       Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersykur dalam keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.

3.      Aliran Naqsabandiyah
Aliran ini dipelopori oleh Khwaja Baha 'al-Din Muhammad Naqshband. Hubungan  spiritual aliran ini adalah dengan khalifah pertama, Abu Bakar. tidak seperti garis keturunan sufi kebanyakan, yang mencapai kembali ke sepupu Nabi dan anak-anak Ali.[28]
Menurut  Naqshabandiyah ada tingkatan latihan spiritual harian tergantung pada satu tahap disepanjang jalan (toriqot). Seiring dengan praktik wajib bahwa semua muslim melakukan (seperti shalat lima waktu dan mengikuti persyaratan hukum agama). Inisiatif seseorang dalam urusan Naqshabandiyah mengulangi fase-fase tertentu, seperti doa’ membaca nama-nama Illahi dan Al-Qur’an  (Sura) beberapa kali, dan juga berdoa pada Nabi Muhammad. Seorang murid yang sudah sampai pada tingkat selanjutnya melakukan hal yang sama tetapi dengan peningkatan pengulangan. Pada tingkat ketiga, murid melakukan latihan rohani dan meditasi yang lebih ketat. Periode pengasingan diperlukan untuk meningkatkan kebangkitan spiritual.[29]



a.      Perkembangan aliran Naqsabandiyah
Tarekat ini didirikan oleh muhammad Bahauddin An-Naqsabandi Al-Awisi Al-Bukhari di Turkistan. Kata Naqsabandiyah / Naqsyabandi / Naqhbandi نَقْØŽَØšَنْدِى berasal dari Bahasa Persia, diambil dari nam pendirinya, yaitu Baha Uddin Naqshband Bukhari . Sebagian orang menerjemahkan kata tersebut sebagai “pembuat gambar”, “pembuat hiasan”. Sebagian lagi menerjemahkannya sebagai “Jalan Rantai” atau “Rantai Emas”. Tarekat Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim serta Turki., Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural.[30]
Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamakan menurut nama Syeh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alfi Tsani (Pembaru Milenium kedua). Pada akhir abad ke-18 nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia selatan, wilayah Ustmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syariat secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, seta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten). Dalam perkembangannya, tarekat ini menyebar ke Anatolia (Turki) kemudian meluas ke India dan Indonesia dengan berbagai nama baru yang disesuaikan dengan pendirinya di daerah tersebut, seperti tarekat Khalidiyah, Muradiyah, Mujadidiyah, dan Ahsaniyah.[31]





b.      Ajaran aliran Naqsabandiyah
[32]Ajaran-ajaran aliran ini diantaranya adalah:
1.      Husy Dar dam,
Yaitu pemeliharaan keluar masuknya nafas, supaya hati tidak lupa kepada Allah SWT atau tetap hadirnya Allah SWT pada waktu masuk dan keluarnya nafas. Setiap murid atau salik menarikkan dan menghembuskan nafasnya, hendaklah selalu ingat atau hadir bersama Allah di dalam hati sanubarinya. Ingat kepada Allah setiap keluar masuknya nafas, berarti memudahkan jalan untuk dekat kepada Allah SWT, dan sebaliknya lalai atau lupa mengingat Allah, berarti menghambat jalan menuju kepada- Nya.
2.      Nazhar Bar qadam
Yaitu setiap murid atau salik dalam iktikaf/suluk bila berjalan harus menundukkan kepala, melihat ke arah kaki dan apabila dia duduk dia melihat pada kedua tangannya. Dia tidak boleh memperluas pandangannya ke kiri atau ke kanan, karena dikhawatirkan dapat membuat hatinya bimbang atau terhambat untuk berzikir atau mengingat Allah SWT. Nazhar Barqadlam ini lebih ditekankan lagi bagi pengamal tarikat yang baru suluk, karena yang bersangkutan belum mampu memelihara hatinya.
3.      Safar Dar wathan
Yaitu perpindahan dari sifat kemanusiaan yang kotor dan rendah, kepada sifat-sifat kemalaikatan yang bersih dan suci lagi utama. Karena itu wajiblah bagi si murid atau salik mengontrol hatinya, agar dalam hatinya tidak ada rasa cinta kepada makhluk.
4.      Khalwat Dar anjuman
Yaitu setiap murid atau salik harus selalu menghadirkan hati kepada Allah SWT dalam segala keadaan, baik waktu sunyi maupun di tempat orang banyak. Dalam Tarikat Naqsyabandiyah ada dua bentuk khalwat :
-          Berkhalwat lahir, yaitu orang yang melaksanakan suluk dengan mengasingkan diri di tempat yang sunyi dari masyarakat ramai.
-          Khalwat batin, yaitu hati sanubari si murid atau salik senantiasa musyahadah, menyaksikan rahasia- rahasia kebesaran Allah    walaupun berada di tengah- tengah orang ramai.
5.      Yad Krad
Yaitu selalu berkekalan zikir kepada Allah SWT, baik zikir ismus zat (menyebut Allah, Allah,.), zikir nafi isbat (menyebut la ilaha ilallah), sampai yang disebut dalam zikir itu hadir.
6.      Baz Gasht
Yaitu orang yang berzikir nafi isbat setelah melepaskan nafasnya, kembali munajat kepada Allah dengan mengucapkan kalimat yang mullia “Wahai Tuhan Allah, Engkaulah yang aku maksud (dalam perjalanan rohaniku ini) dan keridlaan-Mulah yang aku tuntut”. Sehingga terasa dalam kalbunya rahasia tauhid yang hakiki, dan semua makhluk ini lenyap dari pemandangannya.
7.      Nigah Dasyt
Yaitu setiap murid atau salik harus memelihara hatinya dari kemasukan sesuatu yang dapat menggoda dan mengganggunya, walaupun hanya sebentar. Karena godaan yang mengganggu itu adalah masalah yang besar, yang tidak boleh terjadi dalam ajaran dasar tarikat ini. Syekh Abu Bakar Al Kattani berkata, “Saya menjaga pintu hatiku selama 40 (empat puluh) tahun, aku tiada membukakannya selain kepada Allah SWT, sehingga menjadilah hatiku itu tidak mengenal seseorang pun selain daripada Allah SWT.” Sebagian ulama tasawuf berkata “Aku menjaga hatiku 10 (sepuluh) malam, maka dengan itu hatiku menjaga aku selama 20 (dua puluh) tahun.”
8.      Yad Dasyt
Yaitu tawajuh atau pemusatan perhatian sepenuhnya pada musyahadah, menyaksikan keindahan, kebesaran, dan kemuliaan Allah SWT terhadap Nur Zat Ahadiyah (Cahaya Yang Maha Esa) tanpa disertai dengan kata- kata. Keadaan “Yad Dasyt” ini baru dapat dicapai oleh seorang murid atau salik, setelah dia mengalami fana dan baka yang sempurna

Ibnu Arabi dan Pemikirannya
Abu Abd Allah ibn Arabi adalah salah satu sufi paling berpengaruh dalam sejarah Islam, ia lahir di Murcia, Spanyol, pada tahun 560/1165. Menurut dia, pada beberapa arus esoteris[33] yang ada dalam dunia pemikiran Islam, seperti Pythagoras, alkimia dan astrologi, dan berbagai kecenderungan Sufi, yang berkembang menjadi sintesis yang luas dibentuk oleh Al-Qur'an dan Sunnah.[34]
Pemikiran Ibn Arabi adalah konsep 'Kesatuan Wujud’ (wahdat al-wujud), Ungkapan 'penyatuan Wujud' berarti bahwa dari per-prospektif transendensi Allah (tanzih) hanya ada satu Wujud; tidak ada hal lain yang memiliki keberadaan yang sejati selain Satu wujud dan tak terbagi-bagi. Dunia luar diciptakan, bukan sebagai realitas objektif. Walaupun ada pandangan lain, menyatakan bahwa imanensi (tashbih), adalah segala sesuatu yang diungkapkan untuk memperlihatkan wujud-Nya.[35]
Menurut Ibnu Arabi, gambar esensi dari setiap makhluk ada dalam pengetahuan Allah. Gambar-gambar ini disebut 'dasar-dasar kehidupan' (al-a'yan al-Thabita) karena mereka bertahan hidup dalam pengetahuan Allah dan tidak pernah meninggalkan pengetahuan atau pikiran terhadap-Nya. Karena ini 'cita-cita' yang diinginkan dengan sifat-sifat Allah, yang juga identik dengan Zat-Nya, banyak hal yang dirasakan terhadap hal-hal yang tidak nyata (mistis); itu hanya tampak ada obyektif. Perbedaan muncul sebagai wujud untuk menentukan keputusan sendiri; Oleh karena itu, hasil kesatuann dari sebuah wujud. Kesamaan suatu wujud menunjukkan bentuk kekurangan tanpa mengalami pembagian sedikitpun atau kecacatan.Dalam wujud kesempurnaan Manusia (Al-Insan Al-Kamil), termasuk wujud dari semua sifat-sifat Allah.[36]

a.      Biografi singkat Ibn Arabi
Ibnu ‘Arabi nama lengkap Ibnu ‘Arabi adalah Abu Bakar Ibnu Ali Muhyiddin al-Hatimi al-tha’I al Andalusia. Ada pula yang menyebutkan bahwa nama aslinya ialah Muhamad Bin Ali Ahmad Bin Abdullah. sedangkan nama Abu Bakar Abnu Ali Muhyidin atau al-Hatimi hanyalah nama gelar baginya, selanjutnya, ia populer dengan nama Ibnu ‘Arabi dan ada yang menulisnya Ibnu al-Arabi.[37] Muhammad Ibn ‘Ali Muhammad Ibnu ‘Arabi At-Tai Al-Hatimi, lahir di Murcia Spanyol bagian Utara lahir pada tanggal 27 Ramadhan 560 H (17 Agustus 1165 M) pada pemerintahan Muhammad Ibn Said Ibn’ Mardanisy.
Ibnu ‘Arabi berasal dari keturunan Arab berasal dari keluarga yang soleh. ayahnya, menteri utama Ibn’ Mardanisy, jelas seorang tokoh terkenal dan berpengaruh di bidang politik dan pendidikan, keluarganya juga sangat religius, karena ketiga pamannya menjadi pengikut jalan sufi yang masyhur, dan ia sendiri digelari Muhyi al-Din (penghidup agama) dan al Syaikh al-Akbar (doktor maximus) karena gagasan-gagasannya yang besar terutama dalam bidang mistik.[38]
b.      Pendidikan Ibn Arabi
Pada usia delapan tahun yaitu tahun 568 H / 1172 M Ibnu ‘Arabi meninggalkan kota kelahirannya dan berangkat menuju kota Lisabon. Di kota ini ia menerima pendidikan agama Islam pertamanya, yang berupa membaca al-Qur’an dan mempelajari hukum-hukum Islam dari gurunya, Syekh Abu Bakr Ibnu Khallaf.
Kemudian ia pindah kekota Sevilla yang waktu itu merupakan pusat para sufi Spanyol, ia tinggal dan menetap disana selama 30 tahun. Di kota di Sevilla inilah Pendidikan Ibnu ‘Arabi dimulai ketika ayahnya menjabat di istana dengan pelajaran yang umum pada saat itu al-Qur’an dan Hadits, Fiqh, Theologi, dan Filsafat Skolastik, Ilmu Kalam. keberhasilan pendidikan dan kecerdasan otaknya juga kedudukan ayahnya mengantarkanya sebagai sekretaris Gubenur sevilla diusia belasan.[39]
Selama menetap di Sevilla Ibnu ‘Arabi muda sering melakukan kunjungan berbagai kota di Spanyol, untuk berguru dan bertukar pikiran dengan para tokoh sufi maupun sarjana terkemuka. salah satu kunjungan yang paling mengesankan adalah ketika bertemu Ibn Rusyd (1126-1198 M) dimana saat itu Ibnu ‘Arabi mengalahkan tokoh filosuf  peripatetik[40] ini dalam perdebatan dan tukar pikiran, sesuatu yang menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dan luasnya wawasan spiritual sufi muda ini.[41]
Ibnu ‘Arabi disamping terus belajar ia adalah seorang yang sangat haus akan ilmu. ia tidak merasa puas dengan ulama’ yang ada di daerahnya. oleh sebab itu, dalam rangka memperluas ilmu pengetahuanya, tatkala menginjak usia 30 tahun ia mulai melakukan pengembaraan ke berbagai negeri Islam, selain Andalusia ia juga ke Maroko dan Aljazair. Tahun 598H/1202M Ibnu ‘Arabi tiba di Mesir bersama murid dan pembantunya, Abdullah al-Habasyi. di negeri ini ia tidak tinggal lama. kemudian dari Mesir ia terus berkelana ke Timur, mengunjungi al-Quds dan Mekkah al- Mukarramah di mana ia juga mengajar untuk waktu tertentu. Selain Hijaz yang dikunjunginya dua kali, ia juga ke Aleppo dan asia kecil. di setiap tempat yang di kunjungi, ia selalu menerima penghargaan besar dan diberi banyak hadiah.
Ibnu ‘Arabi banyak berbicara tentang ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadist secara rinci berbagai peristiwa dalam kehidupan Nabi, peran Syari’at prinsip-prinsip hukum Islam, nama-nama dan sifat Tuhan, hubungan antara Tuhan dengan alam semesta, tata kosmos, takdir yang harus diterima oleh Manusia, berbagai golongan Manusia, jalan yang harus ditempuh untuk mencapai kesempurnaan, tahap-tahap pendakian menuju Tuhan, berbagai tingkatan serta golongan Malaikat, hakekat Jin, ruang dan waktu, peran intuisi-intuisi politis, simbolisme tulisan, kehidupan di alam barzah (antara alam kubur dan hari kebangkitan), status ontologis Surga dan Neraka dan sebagainya.[42]
Ibnu Arabi meninggal dengan tenang di Damaskus pada tanggal 28 Rabi’ulakhir 638 H. (16 November 1240)  pada usia 78 tahun dikelilingi oleh keluarga, para sahabat, dan murid-murid sufinya. Ia dimakamkan di Utara Damaskus dipinggiran kota Salihiyah, di kaki Gunung Qasiyun.[43]

c.       Ajaran Ibn Arabi
1.      Wahdat al –wujud
Bahwa manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud Menurut faham ini bahwa setiap sesuatu yang ada memiliki dua aspek, yaitu aspek luar dan aspek dalam. aspek yang sebenarnya ada hanyalah aspek dalam (Tuhan) sedangkan aspek luar hanyalah  bayangan dari aspek dalam tersebut. Esensi Ke-Tuhanan bagi ibnu Arabi adalah segala yang ada yang bisa dipandang dari dua aspek: (1) sebagai esensi murni,tunggal dan tanpa atribut (sifat); dan (2) sebagai esensi yang dikaruniai atribut.Tuhan,karena dipandang tidak beratribut,berada di luar relasi dan karenanya juga di luar pengetahuan. Dalam esensi - Nya Tuhan terbebas dari penciptaan,tetapi dalam keTuhanan-Nya,Tuhan membutuhkannya.[44]
Manusia dan alam sebagai cermin yang memperlihatkan Tuhan dan berkata bahwa sang penerima berasal dari nol sebab ia berasal dari emanasi-Nya yang paling suci karena seluruh kejadian (eksistensi) berawal dan berakhir bersama-Nya: kepada-Nya ia akan kembali  dan dari-Nya ia berawal. Wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikatnya adalah wujud khaliq pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi hakikat.makhluk adalah bayang bayang atau pencerminan Tuhan di mana Tuhan dapat melihat dirinya sendiri tanpa kehilangan sesuatupun.Artinya tetap dalam kemutlakannya.[45]
Kejadian proses penciptaan alam Pertama, Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu dzat yang mandiri dan tidak berhajat kepada suatu apapun.Kedua, wujud haqiqah Muhammadiyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan dan dari sini muncul segala wujud dengan proses tahapan tahapannya.[46]

2.      Haqiqah Muhammadiyah
Konsep haqiqah Muhammadiyah ini lanjutan dari konsep Wahdat al -Wujud.Ibnu arabi menjelaskan bahwa terjadinya alam ini tidak dapat dipisahkan dari ajaran haqiqah Muhammadiyah atau Nur Muhammad. Menurutnya tahapan tahapan kejadian proses penciptaan alam dan hubungannya dengan kedua ajaran itu adalah sebagai berikut:
Pertama, Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu dzat yang mandiri dan tidak berhajat kepada suatu apapun. Kedua, wujud haqiqah Muhammadiyah sebagai emanasi (pelimpahan ) pertama dari wujud Tuhan dan dari sini muncul segala wujud dengan proses tahapan tahapannya.Selanjutnya beliau mengatakan bahwa Nur Muhammad itu qadim dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai macam kesempurnaan ilmiah dan amaliah yang terealisasikan pada diri para nabi semenjak Adam sampai Muhammad dan merealisasikan dari Muhammad pada diri pengikutnya dari kalangan para wali dan person person insan kamil.[47]
Dalam teori penciptaan ini Ibnu Arabi menganut faham tajalli atau tanazul (menampakkan diri). Dalam pandangan ibnu arabi bahwa Nur Muhammad (haqiqah muhammadiyah) adalah tahapan pertama dari tahapan tahapan tanazul zat Tuhan dalam bentuk bentuk wujud. Dari haqiqah muhammadiayah segala yang maujud dijadikan. Dengan demikian penciptaan alam semesta ini termasuk manusia dalam teori ibnu Arabi berasal dari zat Tuhan sendiri kemudian bertanazul kepada haqiqah muhammadiyah sebagai tanazul tingkat pertama yang dari padanya melimpah wujud wujud yang lain.[48]

3.      Wahdat al - adyan (kesamaan agama)
Konsep Wahdat al- adyan juga merupakan lanjutan tentang konsep Wahdat al-Wujud. Ibnu arabi memandang bahwa sumber agama adalah satu, yaitu hakikat Muhammadiyyah. Konsekuensinya semua agama adalah tunggal dan semua itu kepunyaan Allah. Seorang yang benar benar arif adalah orang yang menyembah Allah dalam setiap bidang kehidupannya. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa ibadah yang benar hendaknya seorang abid memandang semua apa saja sebagai bagian dari ruang lingkup realitas dzat Tuhan yang Tunggal.[49]
Kritik Terhadap Sufi dan Sufisme
Bukan hanya sufi yang mengkritik tasawuf sufi lainnya juga mengkritik aspek tasawuf, diantaranya tokoh-tokoh kunci seperti Al- Sarraj, Al-hujwiri dan Al-Ghozali. Diantara kritikus terkuat adalah ibn Al-jauzi seorang ahlli hukum hanbali keras dan penulis. Ibn Al-jauzi memiliki harfiyah hukum, kecemburuannya yang bertujuan untuk ” memurnikan” syariah. Dia mengkritik apa yang dilihatnya sebagai kecenderungan sufi menuju liberalisme.[50] Ibn Al- jauzi mengemukakan enam bidang utama libertinism (antara bagian tertentu tasawuf) berdasarkan pada pendapat Al-Ghozali:
-          Karena semua tindakan kita sudah ditentukan, kita tidak perlu melakukan apapun tugas agama.
-          Alloh tidak membutuhkan doa kita dan karena itu kita tidak perlu melakukan do’a untuk Alloh.
-          Apapun yang kita lakukan Alloh adalah murah hati dan akan mengampuni.
-          Karena hukum tidak menghilangkan kelemahan manusia, tidak ada gunanya sebagai sarana kemajuan spiritual.
-          Sufi yang melihat visi surgawi dan mendengar suara-suara surgawi telah mencapai tujuannya, dan tidak perlu melakukan sholat.
-          Kesucian dan negara diluar hukum yang dibuktikan dengan kinerja mukjizat.[51]
Ibnu al-Jauzi juga mengklaim tasawuf dari kecenderungan terhadap ingkarnasi (hulul). Ingkarnasi adalah fokus pada bentuk manusia yang indah sebagai wujud manifestasi Ilahi. Keindahan Ilahi sering digambarkan dalam bentuk kelelakian; sehingga kita menemukan fenomena 'menatap pada pemuda' sebagai fenomena hulul. Abad kelima/abad kesebelas Hanbali ahli hukum dan heresiographer Abu Ya'la menulis: 'The incarnationists (al-hululiyya) telah melangkah ke titik yang mengatakan bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa mempunyai gairah cinta. Sarjana India al-Thanawi mengatakan bahwa ingkarnasi adalah:
“Sekte yang mengatakan bahwa wujud manifestasi Illah itu diizinkan untuk menatap pada pria dan wanita muda. Dalam keadaan mereka menari dan mendengarkan musik dan berkata, 'Ini adalah salah satu atribut Ilahi yang telah turun di antara kita, yang diizinkan dan halal! "Ini perselingkuhan murni.”[52]
Kritik lain dari sufi berhubungan dengan ucapan gembira mereka, yang ditafsirkan sebagai wakil Allah dan Nabi, terutama dalam hal pemikiran atau doktrin. Mungkin contoh yang paling terkenal adalah bahwa al-Hallaj yang dieksekusi atas dasar pernyataan gembira nya 'Akulah Kebenaran' (yang berarti 'Akulah Allah').
Tidak ada prinsip-prinsip hukum yang jelas untuk menangani ucapan gembira dalam hukum agama. Penafsiran literal mereka sebagai menghujat (penjamin sanksi hukum agama) melanggar niat para sufi. Demarkasi antara ahli hukum yang berpegang pada penafsiran literal dari komentar gembira dan ahli hukum yang berpegang pada penafsiran spiritual mereka adalah sama seperti yang antara ulama yang menolak dan mereka yang menerima ucapan gembira.[53]
Sufisme Pada Hari Ini
Sufisme masih merupakan bagian penting dari pengalaman agama Islam di modern kali, dan bahkan menyebar ke barat. Didunia muslim, tasawuf telah dikecam oleh kelompok-kelompok keras seperti wahabi dan salafiy yang melihatnya sebagai sebuah inovasi dapat diterima namun, sufisme memiliki juga memacu gerakan revivalis[54] dianak benua india, asia tenggara dan afrika. Di barat, telah dipopulerkan dalam puisi rumi dan telah lama menjadi topik yang menarik orientalis. Salah satu otoritas terkemuka di dunia pada tasawuf adalah Annemarie sarjana jerman schimmel yang mengabdikan karir seumur hidup untuk studi akademis mistik Islam.[55]
Kelompok-kelompok sufi di barat dapat dibagi tiga kategori, pertama terdiri dari orang-orang yang menganut Islam dan praktek hukum agama Islam. Contoh dari kategori ini termasuk cabang dari shidili, naqsanbadi, qadiri, chisthti dan perintah ni’matullohi yang telah dibentuk diamerika utara, Eropa, dan Australia. Sejumlah tokoh barat muallaf telah terlibat dengan kelompok-kelompok dalam kategori ini. Termasuk Syeikh Abdal Qodar As-syafi, Syeikh Nuh  Hah Mim Keller. Dan Abdalhaq dan aisyah beyley. Pada kelompok kedua syeikh dan sufi mungkin melaksanakan benerapa praktek hukum Islam dengan cara tertentu, tapi ini tidak diperlukan untuk masuk kedalam kelompok. Kelompok ketiga terdiri dari orang-orang yang telah terinspirasi oleh sufisme sejarah atau guru sufi tapi yang murid tidak dapat mempertimbangkan diri mereka sebagai muslim, juga tidak berlatih hukum agama Islam. Contoh kategori ini termasuk ordo sufi internasional didirikan oleh Hazrat Inayat Khan pusat sufi emas dipimpin oleh Irina Tweedie dan Llewllyn Vaughan Lee.[56]
Daftar Pustaka
Al-Barsani , Noer Iskandar, 2001, Tasawuf , Tarekat & Para Sufi, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Nasution, Harun. 2010. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Saeed, Abdullah. 2006. Islamic Tought An Introduction. New York: Medison ave
Soleh , A.Khudori, 2004, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Haeri , Syaikh Fadhlalla, Jenjang-jenjang Sufisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000) hal,. 40
http://uchamsimgl2011.blogspot.co.id/2012/03/inti-ajaran-tasawuf-ibnu-arabi.html
https://putrifikriati.wordpress.com/2014/04/29/tarekat-qadiriyah-syadziliyah-dan-naqsyabandiyah/





[1] Kontemplatif merupakan cara hidup yang mengutamakan kehidupan penuh ketenangan, bermati raga, dan bertapa, sehingga dapat berdoa dan bersemadi dengan lebih mudah
[2] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2010) hal,  43.
[3] Kata asketisme berasal dari kata benda bahasa Yunani “askhsiv” yang berarti latihan dan praktik. Asketisme adalah ajaran-ajaran yang mengendalikan latihan rohani dengan cara mengendalikan tubuh dan jiwa sehingga tercapai kebijakan-kebijakan rohani. Awalnya kata ‘asketisme’ juga digunakan dalam filsafat stoa untuk menunjukkan praktik-praktik dalam memerangi kejahatan dan mengejar keadilan.
[4] Abdullah Saeed,. Islamic Tought An Introduction. (New York: Medison ave, 2006), hal 74
[5] Ibid, hal 75
[6] Ibid,.
[7] Ibid, hal 76
[8] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2010) hal, 48
[9] Ibid, hal,. 52
[10] Ibid, hal 53
[11] Ibid,.
[12] Ibid,.
[13] Ibid, hal, 54
[14] ibid
[15] Syaikh Fadhlalla Haeri, Jenjang-jenjang Sufisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000) hal,. 40
[16] https://putrifikriati.wordpress.com/2014/04/29/tarekat-qadiriyah-syadziliyah-dan-naqsyabandiyah/
[17]Ibid,
[18] Ibid,.
[19] Ibid,
[20] Ibid,.
[21] Gnostisisme (bahasa Yunani: gnōsis, pengetahuan) merujuk pada bermacam-macam gerakan keagamaan yang beraliran sinkretisme pada zaman dahulu kala. Gerakan ini mencampurkan pelbagai ajaran agama, yang biasanya pada intinya mengajarkan bahwa manusia pada dasarnya adalah jiwa yang terperangkap di dalam alam semesta yang diciptakan oleh tuhan yang tidak sempurna. Istilah gnōsis merujuk pada suatu pengetahuan esoteris yang telah dipaparkan. Dari sana manusia melalui unsur-unsur rohaninya diingatkan kembali akan asal-muasal mereka dari Tuhan yang superior.
[22]Abdullah Saeed,. Islamic Tought An Introduction. (New York: Medison ave, 2006), hal 78
[23] Syaikh Fadhlalla Haeri, Jenjang-jenjang Sufisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000) hal,. 41
[24] https://putrifikriati.wordpress.com/2014/04/29/tarekat-qadiriyah-syadziliyah-dan-naqsyabandiyah/
[25]Ibid,.
[26]Ibid,.
[27] Ibid,.
[28] Abdullah Saeed,. Islamic Tought An Introduction. (New York: Medison ave, 2006), hal 79
[29] Ibid.
[30] Ibid.,
[31] https://putrifikriati.wordpress.com/2014/04/29/tarekat-qadiriyah-syadziliyah-dan-naqsyabandiyah/
[32] Ibid.,
[33] Esoteric diartikan sebagai suatu hal yang terdapat di luar daya tangkap dan daya pikir manusia biasa dan mewakilkan sebuah proses evolusi makhluk hidup dari suatu titik dasar: Bagaimana semesta dapat tercipta, bagaimana kinerjanya dan peran manusia di dalamnya. Esoteris juga kadang disebut sebagai seni untuk bekerja bersama energi-energi dengan kedekatan bersama sumber spiritual tertinggi. Ajaran-ajaran ini telah membantu untuk membimbing dan membentuk peradaban demi peradaban yang berdampak terhadap kemajaun yang dialami oleh umat manusia baik dalam hal ilmu pengetahuan, politik, seni atauagama.
[34] Abdullah Saeed,. Islamic Tought An Introduction. (New York: Medison ave, 2006), hal 80
[35] Ibid.,
[36] Ibid,.
[37]Noer Iskandar Al-Barsani, Tasawuf , Tarekat & Para Sufi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001) hal,.153
[38] A.Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal 138
[39] Ibid, hal, 139
[40] Peripatetik berasal dari bahasa Yunani, peripatein, yang berarti berkeliling, berjalan-jalan berkeliling. Kata ini juga menunjuk pada suatu tempat, berada, dan Peripatos. Dalam tradisi Yunani, kata ini mengacu pada suatu tempat di serambi gedung olah raga di Athena, tempat Aristoteles mengajar sambil berjalan-jalan. Dalam tradisi filsafat Islam, peripatetik disebut dengan istilah masysya’iyyah. Kata ini berasal dari akar kata masya-yamsy-masyyan wa timsya’an, yang berarti melangkahkan kaki dari satu tempat ke tempat lain, cepat atau lambat. Dari akar kata tersebut kemudian tersusun kata al masysya’un, yaitu para pengikut Aristotetels; dinamakan al  masysya’un karena mereka mengajarkan dengan cara berjalan-jalan.
[41] Ibid,.
[42] Ibid.,
[43] Ibid,.
[44] http://uchamsimgl2011.blogspot.co.id/2012/03/inti-ajaran-tasawuf-ibnu-arabi.html
[45] Ibid,.
[46] Ibid,.
[47] Ibid,.
[48] Ibid,.
[49] Ibid,.
[50] Abdullah Saeed,. Islamic Tought An Introduction. (New York: Medison ave, 2006), hal 82
[51] Ibid,.
[52] Ibid, hal 83
[53] Ibid.
[54] Revivalisme dari kata revival atau perubahan, Revivalisme merupakan gerakan kebangunan kembali. Dalam Kekristenan revival adalah gerakaan kembali kepada teks-teks yang dianggap suci yaitu Alkitab (bac to bible)
[55] Ibid,.
[56] Ibid, hal 84

No comments:

Post a Comment

MAKALAH HADIS TARBAWI ASPEK KEJIWAAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR

MAKALAH HADIS TARBAWI ASPEK KEJIWAAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR Dosen Pengampu :                         Muchlis Anshori, S. ...