Islamic Tough An
Introduction (Abdullah Saeed)
Mistycal Tought
Terjemahan &
Review
Dosen pengampu: Annas Aijudin, M.Hum
Disusun oleh:
Alifia Yostin Bellavati (143111053)
Intan Samsiyati (143111299)
Irwanto (143111305)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2015
Mystical
Tought
(Terjemahan)
Sufisme
Sufisme (atau
mistisisme Islam) adalah salah satu cara untuk mendekatkan diri dan memahami
Tuhan (Allah) dalam agama Islam melalui
pemikiran mistik yang lebih dikenal dengan sufisme atau ajaran tasawuf. Hal ini
terkait dengan askestisme, yang berakar dalam wahyu Ilahi dan difahami melalui
Syariah. Ini adalah pendekatan kepada Allah yang menggunakan intuitif dan
emosional spiritual. Yang dianggap oleh Sufi menjadi aktif kecuali ditemukan
melalui pelatihan yang diarahkan. Salah satu definisi tasawuf yang paling
tekemuka, adalah bahwa mereka yang menganutnya memiliki kecenderungan dalam
Islam yang bertujuan untuk berhubungan langsung antara Allah dan manusia.
Pelatihan di
tasawuf dikenal sebagai “jalan bepergian” dan bertujuan mendispersikan diri
yang bersembunyi dalam kurung. Dengan demikian menjadi berubah atau diserap
menjadi satu kesatuan. Pelatihan mistik ini bereaksi terhadap rasionalisasi
Islam dalam hukum dan teologi, yang berfokus hanya pada kebebasan spiritual
yang memungkinkan indra rohani kita berdasarkan intuisi instrinsik di dalam
lingkup tasawuf.
Perkembangan Awal Tasawuf
Dasar asketisme
didalam Islam adalah takut akan penghakiman Allah, sehingga mengakibatkan
kesadaran mendalam akan dosa dan kelemahan manusia, serta keinginan yang konsekuen
untuk menyerahkan diri sepenuhnya terhadap kehendak Allah. Abad pertama Islam
merupakan masa awal bagi penyebaran asketisme sebagai akibat ketidak puasan
dengan materialism dan pertikaian agama dan politik, gerakan pertapa dari dua
abad pertama Islam secara bertahap dikombinaasikan dengan kecenderungan menuju
mistisisme, sehingga perkembangan awal dikenali bentuk sufisme.
Asketisme sufi
dikembangkan melalui perbuatan yang melebihi tugas (mengamati aturan dan ritual
luar yang diperlukan oleh hukum agama), dan penolakan terhadap hukum bahkan
beberaopa hal yang sah. Beberapa contoh praktik asketisme (pertapa) sufi dan
keyakinan meliputi:
-
Memakai
Jubah (Khirqo)
-
Hanya
memakan makan yang halal, yaitu yang diperoleh dari usaha tangan sufi itu
sendir.
-
Ihlas
dan senang untuk berpuasa.Memegang pandangan bahwa puasa yang benar adalah
menahan dari keinginan, dan puasa hati merupakan hal yang lebih penting
dibandingkan puasa fisik.
-
Menghabiskan
banyak waktu dalam doa dan membaca Al-Qur’an sebagai sarana mendekatkan diri
kepada Allah, serta doa dalam bentuk mengingat Allah (Dzikir).
Diantara yang
paling penting dari ide-ide sufisme adalah penolakan dari dunia, yang berarti
meninggalkan kesenagan sementara dari kehidupan ini, dan bahkan dari keinginan
untuk kebahagiaan abadi. Rabi’ah al-Adawiyyah (w. 185/801) adalah sufi pertama
untuk menempatkan penekanan pada gagasan kasih yang tak bersyarat bagi Allah.
Dalam do’anya dia berkata :
Ya Allah,
Hamba beribadah kepadaMu
Karena ketakutanku terhadap neraka, neraka yang bisa membakarku
Hamba beribadah kepadaMu
Berharap mendapatkan surgaMu, supaya di bukakan jalan menuju surga
Tetapi aku beribadah hanya kepadaMu
Supaya kelak hamba dapat bertemu denganMu
Menurut
Al-Qusyairi (w. 465/1072), seorang sufi sejati adalah ‘orang yang harus acuh
tak acuh terhadap dunia ini dan akhirat’. Sufi sejati melibatkan dirinya dalam
kemiskinan dan mengorbankan semua harta benda sebagai latihan kesabaran dan
pasrah akan kehendak Allah dan menerima dengan senang akan penderitaan dalam
hidup ini demi mendekatkan diri kepada Allah di akhirat.
Perkembangan Sufi
Sufisme
mengembangkan cara pemurnian melalui media perintah agama, terorganisir dari
pengalaman religius, didasarkan pada gagasan dari hubungan guru dan murid.
Seorang murid menerima wewenang dan bimbingan seorag guru yang telah melakukan
perjalanan tahapan jalan sufi. Awalnya, jalan (tarekat) disebut metode praktis
dari kontemplatif dan mistisme dalam ilmu kebatinan, yang mengangkat murid
melalui sukesi ‘tahap’ (maqamat) dalam
menghadapi kenyataan. Kemudian terdapat juga acuan untuk kelompok-kelompok Sufi
dengan adanya upacara inisiasi yang berbeda dan praktek ritual yang
dikembangkan selama berabad-abad melalui rangkaian hubungan antara guru dan
murid untuk kembali mendapatkan penerus dan menjadi pendiri tarekat baru, yang
memiliki kehormatan tarekat tersebut. Pendekatan ini tidak diterima dengan baik
oleh banyak ulama, ahli kitab, dan timbul kecurigaan terhadap tarekat. Karena
para kaum sufi memiliki pandangan yang berbeda dengan para ulama. Namun, pada
abad kelima / kesebelas, tren yang lebih moderat di tasawuf datang untuk diakui
sebagai yang sah, sebagian besar karena kegiatan dihormati sarjana Muslim yang
juga seorang sufi, seperti al-Sulami (d. 412/1021), muridnya al-Qusyairi dan
mungkin terutama Abu Hamid al-Ghazali (d. 505/1111).
Al-Ghazali
pertama kali memperoleh ketenaran sebagai seorang teolog terhormat yang
diangkat sebagai kepala di Madrasah/universitas Nizamiyya di Baghdad. Setelah
menderita kerusakan, dia berpaling kepada tasawuf dan mundur dalam kehidupan
seorang pertapa. Dia terus menulis dan mengajar dan diselaraskan dengan
mengejar sufisme dengan apa yang dianggap teologi ortodoks dan hukum dan
memberiakn kontribusi yang besar dengan penerimaan luas tasawuf dikalangan ortodoks.
Bagaimanapun pengakuan resmi tidak berarti menghilangkan kecurigaan dari para
ulama, dan tasawuf terus mengembangkan pada jalur yang terpisah dari Islam
non-mistis.
Karena banyak
calon sufi yang berhijrah dari wilayah satu ke yang lainnya untuk mencari
seorang pengajar (guru), perintah mendirikan pusat (hotel, rumah
peristirahatan, penampungan, retret) di seluruh dunia Muslim. Pada abad kelima/
kesebelas, banyak diselenggarakan biara sufi telah tumbuh pesat, berkontribusi
terhadap Islamisasi perbatasan dan non-Arab di wilayah Asia Tengah dan Afrika
Utara. Aturan biara etiket mulai dikenal dan dikembangankan sebagai
'persahabatan' (suhba). Pada abad keenam/kedua belas banyak biara sufi yang
telah berkembang menjadi pendiri
tarekat, tetapi memiliki arah baru dalam pengembangkan fenomena pengajaran
tunggal yang menarik diri dari kehidupan biara untuk memulai dari kecil, atau
mengambil kehidupan mengembara dengan sekelompok murid. Pada abad ketujuh /
ketiga belas, tarekat dikaitkan dengan pengajaran tunggal, yang ajarannya,
latihan mistis dan aturan hidup yang diwariskan melalui rantai (silsilah) dari
panduan spiritual.
Jalan sufi
Tujuan utama
dari semua latihan pertapa adalah pengalaman spiritual langsung kesadaran
mistik penyatuan dengan tuhan. Untuk sufi, tujuan ini bisa dicapai hanya dengan
setia mengikuti jalan sufi, dengan berbagai tahapan, yang memungkinkan jiwa
yang akan disucikan, untuk mendapatkan kualitas tertentu dan naik sampai lebih
tinggi. Denga bantuan Rahmat Illahi, maka akan dapat menemukan rumah Allah.
Mungkin
eksposisi sistematis pertama tasawuf sebagai jalan hidup dan berpikir itu Kitab
Flashes (Kitab al-luma ') oleh Abu Nasr al-Sarraj (d. 378/998), seorang sarjana
sufi dari kota Tus di wilayah Iran dari Khurasan. Sarraj membahas tujuh stasiun
(tahapan pencapaian spiritual) sepanjang jalan sufi: pertobatan; penelitian;
penolakan; kemiskinan; kesabaran; kepercayaan; ikhlas. Selanjutnya, menurut
Sarraj daftar sepuluh tingkatan (suasana hati rohani yang diberikan oleh
Allah): meditasi; kedekatan kepada Allah; cinta; ketakutan; berharap;
kerinduan; keintiman; ketenangan; perenungan; dan kepastian. Sementara Sarraj
mengakui bahwa siapa saja bisa bergabung tasawuf dan berpartisipasi dalam
tradisi mistik ini, ia mencatat bahwa ada seperangkat yang utama dalam standar
untuk pencarian di bidang disiplin diri, kesadaran diri psikologis, pemahaman
intuitif atau mistik, dan kepekaan emosional dan puitis.
Menurut
al-Junaid (d. 298/910), tahap pertama dari pertobatan tidak hanya melibatkan
dalam mengingat dosa tetapi juga melupakan atas dosa yang telah terjadi. Tahap
awal jalan dalam tarekat termasuk kesabaran, rasa syukur, harapan dan
ketakutan. Al-Rudhabari (. D 322/934)
membandingkan (mengibaratkan) harapan
dan ketakutan sebagai sayap burung dalam penerbangan: jika salah satu gagal
penerbangannya tidak akan seimbang, dan
jika keduanya tidak berjalan beriringan maka akan gagal. Termasuk tahap
lainnya seperti kemiskinan, penolakan dan ketergantungan terhadap Allah. Di
antara tahapan yang lebih tinggi adalah kepuasan - bahwa manusia adalah puas
dengan semua Allah telah ditetapkan baginya
dan kemudian mengingat kematian.
Tahap akhir termasuk cinta dan gnosis mengarah ke visi Tuhan dan tujuan akhir
dari persatuan dengan yang ilahi. Sufi lainnya, seperti al-Qusyairi dan
al-Ghazali, memberi bahkan daftar yang lebih komprehensif dari tahapan jalan
sufi.
Aliran Sufi
Selama empat
sampai lima abad pertama Islam, pengajaran tentang sufi disampaikan melalui
seorang guru (dikenal sebagai Syeh spiritual atau Mursyyid) oleh sekelompok
murid. Setelah beberapa lama, dikembangkan sebuah organisasi yang lebih
structural dan kelompok, pemberian nama organisasi lebih sering berdasarkan
nama pendiri. Kerangka spiritual meliputi aturan etika, periaku meditasi, dan
bentuk-bentuk ibaadah lainnya. Berikut adalah beberapa aliran sufi yang paling beerpengaruh.
Aliran Qodariyah
Pelopornya
adalah Abd al-qadir al-Jailani (w. 561/1166), yang lahir disebuah desa di utara
iran. Ide-idenya dipengaruhi ajaran mistik seperti Khwaja Mu’in al-Din Chisty
(w. 633/1236) dan Abdul Qadir al-Suhrawardi (w. 564/1168). Dia dikatakan telah
berkata: ‘kaki saya diatas setiap Wali, perintah itu dibentuk beberapa decade
setelah kematiannya, dan kisah-kisah mu’jizat itu kemudian diedarkan oleh
penuliss biografi seperti Ali bin Yusuf al-Shattanawfi (w. 713/1314).
Al-jailani melihat syariah sebagai sumber dari segala kemajuan spiritual dan
budaya, dan mengikkuti madzhab Hamnbali. Awalnya ajaran Qadiri terbesar
disekitar Baghdad, kemudian pindah ke Saudi, Maroko, Mesir Turkestan, sebagian
Afrika (Khartoum, Sukoto, Tripoli dan India.
Hal ini tidak
mungkinkan bahwa al-Jilani sendiri melembagakan serangkaian buku doa dan ritual
untuk diikuti, dan kelompok-kelompok Qadiri sendiri memiliki praktek yang
berbeda-beda pula, meskipun harus memberikan bayaran untuk diberikan kepada
juru kunci makam al-Jilani di Baghdad. Ziarah sering dilaksanakan untuk
menghormati pendiri di mana hadiah disajikan untuk keturunannya. Qadiriyah juga
melakukan dzikir disertai dengan musik. Khotbah al-Jilani juga dikumpulkan
menjadi sebuah karya berjudul The Sublime Wahyu (al-Fath ar-rabbani). Dalam
bukunya kelima belas 'wacana', ia berkata:
“Tidak ada yang tahu bagaimana harus bersikap dengan benar terhadap
syekh kecuali dia telah melayani mereka dan menjadi sadar dari beberapa
pemahaman spiritual (ahwal) yang mereka alami dengan Allah (SWT dan Glorious
adalah Dia). Orang-orang [Tuhan] telah belajar untuk mengobati pujian dan
menyalahkan seperti musim panas dan musim dingin, seperti siang dan malam.
Mereka menganggap mereka berdua sebagai Allah (SWT dan Glorious adalah Dia),
karena tidak ada yang mampu membawa mereka kecuali Allah (SWT dan Glorious
adalah Dia). Saat ini telah menjadi nyata bagi mereka, karena itu, mereka tidak
menempatkan kepercayaan mereka pada mereka yang memuji mereka, juga tidak
melawan dengan terhadap kritikan mereka, dan mereka tidak memperhatikan mereka.
Hati mereka telah dikosongkan dari cinta dan benci untuk makhluk. Mereka tidak
cinta atau benci, melainkan merasa kasihan.”
Aliran Shadhiliyya
Didunia musim
barat, yaitu sekitar Mediterania, akhir kekaisaram Almohad di abad
ketujuh/tigabelas telah memunculkan beberapa dinasti rezim. Aliran Shadili
muncul dan terbentuk, aliran ini dinamai oleh Abu Hasan al-Shadhili (w.
656/1258). Keberhasilan alirannya di Spanyol, Maroko Aljazair, Tunisia dan di
bawah dinasti Mamluk di Mesir, menarik perhatian kaum intelektual terkenal
termasuk penulis produktif Jalal-ad Din Al-Suyuti (d. 911/1505). Awalnya
shadhilly mengikuti hukum madzhab Imam Maliki dan menekankan ajaran tentang
keesaan Allah yang mutlak (tauhid). Tujuan mereka adalah realisasi gnostik
kepada Allah berdasarkan ketaatan agama, hukum dan dogma Asy’ari. Dari awal
sejrah mereka, banyak cabang dari aliran Shadhili bermunculan. Mereka
menghindari pakaian mewah atau menunjukkan sesuatu yang luar biasa kehadapan
khalayak ramai. Meskipun menjunjung tinggi makam orang-orang suci (Wali) adalah
penting bagi praktik aliran mereka. Kemudian, Shadalis Juga memainkan peran
dalam menolak kolonialisasi Eropa negri-negri Muslim. Dan menghasilkan sebuah
Puisi (syair0 terkenal untuk menghormati Nabi Muhammad SAW,, yang ditulis
seorang sufi Shadhili, Al- Busyiri (d. 695/1296. Dalam hal ini ia mengatakan :
Muhammad, pemimpin dua dunia yaitu Manusia dan jin,
Pemimpin juga dari orang-orang Arab dan non Arab serta kerabat
mereka.
Nabi kita, pemimpin yang selalu benar, yang melarang menggunakan
cara jahat,
Namun perkataannya tidak ada yang lebih lembut bisa dibandingkan.
Aliran Naqshabandiyyah
Dipelopori oleh
Khwaja Baha 'al-Din Muhammad Naqshband (d. 791/1389), golongan ini memiliki
dampak yang luas pada umat Islam di seluruh dunia. Hubungan spiritual aliran ini adalah dengan khalifah
pertama, Abu Bakar. tidak seperti garis keturunan sufi kebanyakan, yang
mencapai kembali ke sepupu Nabi dan anak-anak Ali.
Aliran ini
didirikan di Asia Tengah, namun meskipun, sejarah awal di dunia Persia, alliran
Sunni berfokus Naqshabandiyah kehilangan pengaruh di Persia dengan munculnya
dinasti Syafawi Syiah (908-1149 / 1502-1736). Ssetelaah pendiriannya, aliran
Naqshabandiyah menyebar keseluruh Turkistan, Suriyah, Turki, Afghanistan, Jawa,
Kalimantan, Afrika dan China. Cabang Mujaddidi, yang didirikan oleh Ahmad
Sirhindi (d. 1034/1624), menjadi terkenal di India, tetapi juga menyebar ke
Turki. Pengaruh yang signifikan dari aliran Naqshbandi di India lain datang dalam
bentuk ajaran Shah Wali Allah (d. 1176/1762).
Golongan
Naqshbandi tidak menghindar dari keterlibatan dalam politik. Mereka memiliki
hubungan baik dengan Dinasti Utsmani. Di Turki Syekh Ahmed Ziyauddin
Gumush-Khanewi (d. 1311/1894), adalah seorang tokoh yang berhasil mengembangkan
pengikutnya sampai saat ini, berjuang dalam perang Dinasti Utsmani Rusia pada
tahun 1877. Syeh sufi Turki lainnya bertempur dalam perang dunia pertama dan
perang kemerdekaan Turki. Sementara militant Naqshabandi menentang pembentukan
Negara Turki sekuler. Di India Naqshabandiyah memainkan peran penting dalam
mengembangkan ideology Mughal, khususnya Ahmad Sirhindi berusaha untuk
mereformasi golongan yang berkuasa. Golongan Naqshbandi, bergabung dengan
Qadiris, juga aktif dalam upaya untuk menahan pintu masuk Rusia ke Kaukasia
Pada hari ini
sebuah kelompok Naqshabandiyah terkemuka telah pindah ke Amerika Serikat dan Eropa di bawah arahan sang Syeh
Karismatik Muhammad Nazim Al-Haqoni dan wakilnya Syeh Muhammad Hisyam Kabbani.
Menurut Naqshabandiyah-Haqqaniyah ada
tingkatan latihan spiritual harian tergantung pada satu tahap disepanjang jalan
(toriqot). Seiring dengan praktik wajib bahwa semua muslim melakukan (seperti
shalat lima waktu dan mengikuti persyaratan hukum agama). Inisiatif seseorang
dalam urusan Naqshabandiyah-Haqqaniyah mengulangi hal-hal tertentu, seperti
doa’ membaca nama-nama Illahi dan Al-Qur’an
(Sura) beberapa kali, dan juga berdoa pada Nabi Muhammad. Seorang murid
yang sudah sampai pada tingkat selanjutnya melakukan hal yang sama tetapi
dengan peningkatan pengulangan. Pada tingkat ketiga, murid melakukan latihan
rohani dan meditasi yang lebih ketat. Periode pengasingan diperlukan untuk
meningkatkan kebangkitan spiritual.
Ibn Arabi Dan Sekolahnya
Abu
Abd Allah ibn Arabi (d. 638/1240) adalah mungkin salah satu sufi paling
berpengaruh dalam sejarah Islam. Dikenal sebagai Muhyi al-Din (artinya minuman
keras dari agama) dan al-Syaikh al-Akbar (master terbesar), ia lahir di Murcia,
Spanyol, di 560/1165. Awal dalam hidupnya, ia memiliki pengalaman konversi
berikut penyakit, dan, meskipun ia tidak menemukan jalan sufi tertentu,
pengaruhnya pada pemikiran Sufi di mana-mana. Ibn Arabi memiliki kesempatan
untuk bertemu sejumlah guru dan ulama penting. Ia melakukan perjalanan melalui
Spanyol, Afrika Utara dan dunia Islam timur, dan melakukan Haji ke Mekah, di
mana ia tinggal disana selama dua tahun.
Menurut
dia, pada beberapa arus esoteris yang ada dalam dunia pemikiran Islam, seperti
Pythagoras, alkimia dan astrologi, dan berbagai kecenderungan Sufi, yang
berkembang menjadi sintesis yang luas dibentuk oleh Al-Qur'an dan Sunnah.
Sekitar delapan ratus lima puluh karya telah dikaitkan dengan Ibn Arabi, dari
tujuh ratus yang masih ada, dan ini sekitar empat ratus lima puluh dianggap
otentik. Diantaranya terkenal adalah (Al-Futuhat Al-Makkiyaya), (Fusus
Al-Hikam), dan (Shajarat Al-Kawn). Dua dari doktrin-doktrin Ibn Arabi yang
paling terkenal adalah 'Unity Of Being' (Wahdat Al-Wujud) dan 'Manusia
Sempurna' (Al-Insan Al-Kamil).
Pemikiran Ibn Arabi
Penting untuk
teosofi Ibn Arabi dan metafisika adalah konsep 'Kesatuan Wujud’ (wahdat
al-wujud), istilah yang sering digunakan oleh para pengikutnya, tetapi tidak
oleh Ibn Arabi sendiri. Ungkapan 'penyatuan Wujud' berarti bahwa dari per-prospektif
transendensi Allah (tanzih) hanya ada satu Wujud; tidak ada hal lain yang
memiliki keberadaan yang sejati selain Satu wujud dan tak terbagi-bagi. Dunia
luar diciptakan, bukan sebagai realitas objektif. Walaupun ada pandangan lain,
menyatakan bahwa imanensi (tashbih), adalah segala sesuatu yang diungkapkan
untuk memperlihatkan wujud-Nya.
Menurut Ibnu
Arabi, gambar esensi dari setiap makhluk ada dalam pengetahuan Allah.
Gambar-gambar ini disebut 'dasar-dasar kehidupan' (al-a'yan al-Thabita) karena
mereka bertahan hidup dalam pengetahuan Allah dan tidak pernah meninggalkan
pengetahuan atau pikiran terhadap-Nya. Karena ini 'cita-cita' yang diinginkan
dengan sifat-sifat Allah, yang juga identik dengan Zat-Nya, banyak hal yang
dirasakan terhadap hal-hal yang tidak nyata (mistis); itu hanya tampak ada
obyektif. Perbedaan muncul sebagai wujud untuk menentukan keputusan sendiri;
Oleh karena itu, hasil kesatuann dari sebuah wujud. Kesamaan suatu wujud
menunjukkan bentuk kekurangan tanpa mengalami pembagian sedikitpun atau
kecacatan.Dalam wujud kesempurnaan Manusia (Al-Insan Al-Kamil), termasuk wujud
dari semua sifat-sifat Allah.
Saat adanya
keterbatasan dalam kemantapan hati dan kesempurnaan dalam keyakinan, Ibn Arabi
mengakui bahwa hal tersebut termasuk dalam kesatuan suatu ilmu ontologi yang
ada. Keberagaman rasa manusia yang merasa adanya kedekatan dengan-Nya hanya ada
dalam imajinasi dan kekuatan khayalan. Dibutuhkan rasa spiritual tertentu dan
mata yang tajam untuk dapat menyaksikan ketetapan Allah yang ada didunia tanpa
mengabaikan kehebatan Allah yang sungguh luar biasa.
Perbedaan
antara yang diciptakan dan penciptanya hanya relatif. Dalam Fasusnya, Ibnu
Arabi mengatakan :
“Jika Anda ingin bisa mengatakan bahwa dunia ini adalah Tuhan, atau
Anda dapat mengatakan bahwa itu adalah ciptaann-Nya; Jika anda lebih memilih
dari salah satunya, Anda dapat mengatakan itu adalah Tuhan disuatu sisi dan
Tuhan sebagi penciptaNya, atau memohon salah satu atas kekurangan yang ada.”
Menurut
Ibnu Arabi, pokok esesiensi Allah yang dianggap sebagai zat yang dapat menembus
dunia dan dapat menciptakan hal tersebut. Atas dasar ini, Ibnu Arabi
menambahkan bahwa tidak ada dasarnya Tuhan itu jahat kepada ciptaanNya. Ini
telah menimbulkan tuduhan panteisme dan kontradiksi terhadap nilai-nilai
syariah, menurutnya juga ada kebaikan dan adanya kejahatan.
Hal
ini sering dikatakan oleh Ahmad Sirhindi dari India (d. 1034/1624), dari
golongan Naqsybandi dengan adanya pertentangan terhadap Ibnu Arabi, karena
kritik Sirhindi tentang gagasan “kesatuan wujud”. Sebuah analisis yang lebih
dalam terhadap pandangan tersebut, bagaimanapun hal tersebut menunjukkan bahwa
yang Sirhindi butuhkan hanya untuk berpura-pura terhadap jalan pikiran Ibnu
Arabi, sementara gagal untuk menghargai perbedaan diantara keduanya. Dengan
demikian, kritik Srihindi tentang keprihatinan ‘kesatuan umat’ terhadap
kelompok-kelompok calon sufi dan Ibnu Arabi daripada dirinya sendiri. Namun,
Sirhindi meniru beberapa pemahanan Ibn Arabi. Dia memiliki visi mistik sendiri
dan pengalaman spirituial dan mengambangkan gagasan wahdat al-Shuhud (kesaksian
kesatuan), berbeda bahkan fakta menyatakan
bahwa ajarannya sama dan dianggap untuk mengajarkan kepada muridnya. Di
sisi lain Ibn Arabi itu tidak selalu dibimbing namun juga membimbing orang lain.
Sirhindi tidak melihat dirinya sebagai menjadi pribadi yang unggul dari Ibn
Arabi, dibanyak tempat ia memujinya dan mengakui kekurangannya, melihat
memiliki kekurang terhadap wawasannya.
Tentang
konsepnya, Sirhindi condong kearah posisi ulama menggunakan ekspresi ‘semuanya
oleh-Nya’. Sirhindi tidak mempertahankan bahwa dunia ini memiliki keaslian
eksistensi, itu adalah bayangan Allah, tempat dimana Allah memanifestasikan
diriNya. Keberadaan Allah dapat ditemukan di dalam penciptaannya, dan keberadaan
esendi dari dunia ciptaan Alloh menunjukkan keberadaanNya serta kesempurnaan
terhadap wujud Allah. Namun, bertentangan denganpandangan dari beberapa
pengikut paham ‘kesatuan wujud’, dan mengikuti ajaran Al Qur'an, Sirhindi
melihatnya sebagai penting untuk mempertahankan perbedaan antara Allah dan
ciptaan-Nya. Esensi dari Allah mendukung dunia melalui nama-nama ilahi dan
atribut, yang memiliki realitas mereka sendiri.
Kritik Terhadap Sufi dan Sufisme
Seperti sekolah
lain pemikiran dan praktek pada waktu yang berbeda, sufi telah ditargetkan oleh
ulama bersemangat dan otoritas politik yang telah menolak ajaran mereka.
Seringkali, penganiayaan teologis yang berkaitan dengan politik dan ketidak
stabilan sosial. Misalnya, selama inkuisisi abasiyah mengenai status Al-Qur’an
(apakah itu diciptakan atau tidak). Seorang sufi terkenal Dhu Al-nun
(D.246/806), dianiaya bersama dengan Ahmad ibn Hanbal untuk mempertahankan
hakikat bahwa Al- Qur’an tidak diciptakan. Demikian pula, sufi Al-Qusyairi
menderita karena dianiaya ketika sekolah teologi Asy’ari di khurasan antara
440/1063.
Bukan hanya
sufi yang mengkritik tasawuf sufi lainnya juga mengkritik aspek tasawuf,
diantaranya tokoh-tokoh kunci seperti Al- Sarraj (D.378/1988), Al-hujwiri
(D.sekitar 470/1077) dan Al-Ghozali (D.505/1111). Diantara kritikus terkuat
adalah ibn Al-jauzi (D.597/1200), seorang ahlli hukum hanbali keras dan
penulis. Ibn Al-jauzi memiliki harfiyah hukum, kecemburuannya yang bertujuan
untuk ” memurnikan” syariah. Dia mengkritik apa yang dilihatnya sebagai
kecenderungan sufi menuju libertinism. Ibn Al- jauzi mengemukakan enam bidang
utama libertinism (antara bagian tertentu tasawuf) berdasarkan pada pendapat
Al-Ghozali:
-
Karena
semua tindakan kita sudah ditentukan, kita tidak perlu melakukan apapun tugas
agama.
-
Alloh
tidak membutuhkan doa kita dan karena itu kita tidak perlu melakukan do’a untuk
Alloh.
-
Apapun
yang kita lakukan Alloh adalah murah hati dan akan mengampuni.
-
Karena
hukum tidak menghilangkan kelemahan manusia, tidak ada gunanya sebagai sarana kemajuan
spiritual.
-
Sufi
yang melihat visi surgawi dan mendengar suara-suara surgawi telah mencapai
tujuannya, dan tidak perlu melakukan sholat.
-
Kesucian
dan negara diluar hukum yang dibuktikan dengan kinerja mukjizat.
Ibnu al-Jauzi
juga mengklaim tasawuf dari kecenderungan terhadap ingkarnasi (hulul).
Ingkarnasi adalah fokus pada bentuk manusia yang indah sebagai wujud
manifestasi Ilahi. Keindahan Ilahi sering digambarkan dalam bentuk kelelakian;
sehingga kita menemukan fenomena 'menatap pada pemuda' sebagai fenomena hulul.
Abad kelima/abad kesebelas Hanbali ahli hukum dan heresiographer Abu Ya'la
menulis: 'The incarnationists (al-hululiyya) telah melangkah ke titik yang
mengatakan bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa mengalami bergairah cinta. Sarjana India
al-Thanawi (D 1158/1745) mengatakan bahwa ingkarnasi adalah:
“Sekte yang mengatakan bahwa wujud manifestasi Illah itu diizinkan
untuk menatap pada pria dan wanita muda. Dalam keadaan mereka menari dan
mendengarkan musik dan berkata, 'Ini adalah salah satu atribut Ilahi yang telah
turun di antara kita, yang diizinkan dan halal! "Ini perselingkuhan
murni.”
Kritik lain
dari sufi berhubungan dengan ucapan gembira mereka, yang ditafsirkan sebagai
wakil Allah dan Nabi, terutama dalam hal pemikiran atau doktrin. Mungkin contoh
yang paling terkenal adalah bahwa al-Hallaj (w. 309/922), yang dieksekusi atas
dasar pernyataan gembira nya 'Akulah Kebenaran' (yang berarti 'Akulah Allah').
Tidak ada
prinsip-prinsip hukum yang jelas untuk menangani ucapan gembira dalam hukum
agama. Penafsiran literal mereka sebagai menghujat (penjamin sanksi hukum
agama) melanggar niat para sufi. Demarkasi antara ahli hukum yang berpegang
pada penafsiran literal dari komentar gembira dan ahli hukum yang berpegang
pada penafsiran spiritual mereka adalah sama seperti yang antara ulama yang
menolak dan mereka yang menerima ucapan gembira.
Sufisme Pada
Hari Ini
Sufisme masih
merupakan bagian penting dari pengalaman agama Islam di modern kali, dan bahkan
menyebar ke barat. Didunia muslim, tasawuf telah dikecam oleh kelompok-kelompok
keras seperti wahabi dan salafiy yang melihatnya sebagai sebuah inovasi dapat
diterima namun, sufisme memiliki juga memacu gerakan revivalis dianak benua
india, asia tenggara dan afrika. Di barat, telah dipopulerkan dalam puisi rumi
(w.672/1273) dan telah lama menjadi topik yang menarik orientalis. Salah satu
otoritas terkemuka di dunia pada tasawuf adalah Annemarie sarjana jerman
schimmel (w.2003), yang mengabdikan karir seumur hidup untuk studi akademis
mistik Islam.
Kelompok-kelompok
sufi di barat dapat dibagi tiga kategori, pertama terdiri dari orang-orang yang
menganut Islam dan praktek hukum agama Islam. Contoh dari kategori ini termasuk
cabang dari shidili, naqsanbadi, qadiri, chisthti dan perintah ni’matullohi
yang telah dibentuk diamerika utara, Eropa, dan Australia. Sejumlah tokoh barat
muallaf telah terlibat dengan kelompok-kelompok dalam kategori ini. Termasuk
Syeikh Abdal Qodar As-syafi, Syeikh Nuh
Hah Mim Keller. Dan Abdalhaq dan aisyah beyley. Pada kelompok kedua syeikh
dan mungkin beberapa mungkin melaksanakan praktek hukum Islam dengan cara
tertentu, tapi ini tidak diperlukan untuk masuk kedalam kelompok. Dua contoh
dari kategori ini termasuk fellowship
bawa Muhayiaddeen dan masyarakat thershold (a mevlevi Order). Kelompok
ketiga terdiri dari orang-orang yang telah terinspirasi oleh sufisme sejarah
atau guru sufi tapi yang murid tidak dapat mempertimbangkan diri mereka sebagai
muslim, juga tidak berlatih hukum agama Islam. Contoh kategori ini termasuk
ordo sufi internasional didirikan oleh Hazrat Inayat Khan pusat sufi emas
dipimpin oleh Irina Tweedie dan Llewllyn Vaughan Lee.
Mystical
Tought
(Review)
Tasawuf dan Perkembangannya
Sufisme (atau mistisisme Islam)
adalah salah satu cara untuk mendekatkan diri dan memahami Tuhan (Allah) dalam
agama Islam melalui pemikiran mistik
yang lebih dikenal dengan sufisme atau ajaran tasawuf. Tasawuf atau sufisme
mempunyai tujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan tuhan.
Sehingga disadari dengan benar bahwa seseorang berada dihadirat Tuhan. Intisari dari mistisisme, termasuk didalamnya
sufisme ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia
dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Kesadaran berada dekat dengan tuhan itu dapat mengambil bentuk ij’tihad bersatu
dengan Tuhan.
Tasawuf ini awalnya berkembang atas
dasar asketisme
didalam Islam yaitu takut akan penghakiman Allah, sehingga mengakibatkan
kesadaran mendalam akan dosa dan kelemahan manusia, serta keinginan yang
konsekuen untuk menyerahkan diri sepenuhnya terhadap kehendak Allah. Abad
pertama Islam merupakan masa awal bagi penyebaran asketisme sebagai akibat
ketidak puasan dengan materialisme dan pertikaian agama dan politik, gerakan
pertapa dari dua abad pertama Islam secara bertahap dikombinaasikan dengan
kecenderungan menuju mistisisme, sehingga perkembangan awal dikenali bentuk
sufisme.
Hal yang paling penting dari ide-ide
sufisme adalah penolakan terhadap dunia, yang berarti meninggalkan kesenangan
sementara dari kehidupan ini, dan bahkan dari keinginan untuk kebahagiaan
abadi. Menurut Al-Qusyairi, seorang sufi sejati adalah ‘orang yang harus acuh
tak acuh terhadap dunia ini dan akhirat’. Sufi sejati melibatkan dirinya dalam
kemiskinan dan mengorbankan semua harta benda sebagai latihan kesabaran dan
pasrah akan kehendak Allah dan menerima dengan senang akan penderitaan dalam
hidup ini demi mendekatkan diri kepada Allah di akhirat.
Sufisme mengembangkan cara pemurnian
melalui media perintah agama, terorganisir dari pengalaman religius, didasarkan
pada gagasan dari hubungan guru dan murid. Seorang murid menerima wewenang dan
bimbingan seorag guru yang telah melakukan perjalanan tahapan jalan sufi.
Awalnya, jalan (tarekat) disebut metode praktis dari kontemplatif dan mistisme
dalam ilmu kebatinan, yang mengangkat murid melalui sukesi ‘tahap’ (maqamat) dalam menghadapi
kenyataan tahapan maqam (tingkatan) tersebut diantaranya adalah taubat, sabar,
syukur, khauf, raja’ zuhud, tawakal dan cinta allah.
Pada abad kelima / kesebelas, tren yang lebih
moderat di tasawuf datang untuk diakui sebagai yang sah, sebagian besar karena
kegiatan dihormati sarjana Muslim yang juga seorang sufi, seperti al-Sulami
muridnya al-Qusyairi dan Abu Hamid al-Ghazali. Pada abad ketujuh/ketiga belas,
tarekat dikaitkan dengan pengajaran tunggal, yang ajarannya, latihan mistis dan
aturan hidup yang diwariskan melalui rantai (silsilah) dari panduan spiritual.
Jalan Sufi (untuk
dekat kepada Tuhan)
Untuk dekat dengan Tuhan seorang sufi
harus menempuh jalan panjang yang berisi stasiun-stasiun yang disebut dengan Maqommat. Abu Nashr Al-Sarraj membahas tujuh stasiun
(tahapan pencapaian spiritual) sepanjang jalan sufi yaitu, Tobat, Wara’, Zuhud,
Kefakiran, Sabar, Tawakal, dan Kerelaan hati.
1.
Tobat
Tobat yang
dimaksudkan sufi adalah tobat yang sebenar-benarnya, tobat yang tidak membawa
dosa lagi. Tobat yang sebenarnya dalam paham sufisme ialah lupa pada segala hal
kecuali Tuhan. Orang yang bertobat adalah orang yang cinta pada Allah. Orang
yang cinta kepada Allah senantiasa mengadakan kontemplasi tentang Allah.
2.
Wara’
Wara’ adalah
meninggalkan segala yang didalamnya terdapat syubhat (keragu-raguan)
tentang halalnya sesuatu.
3.
Kefakiran
-
Tidak
meminta lebih daripada apa yang telah ada pada diri kita
-
Tidak
meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban
-
Tidak
meminta, sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak
meminta tapi tidak menolak.
4.
Sabar
-
Sabar
dalam menjalankan perintah-perintah-Nya, dalam menjaihi segala
larangan-larangan-Nya dan dalam menerima segala cobaan yang ditimpakan-Nya pada
diri kita
-
Menunggu
datangnya pertolongan dari Tuhan
-
Sabar
menderita kesabaran.
5.
Tawakal
-
Berserah
pada Qada’ dan putusan dari Tuhan
-
Selama
dalam keadaan tentram, jika tak dapat apa-apa bersikap sabar, dan menyerah
kepada Tuhan, percaya kepada Janji Allah, bersikap sebagai telah mati
6.
Kerelaan
-
Tidak
menentang Qada’ dan Qadar Tuhan
-
Menerima
taqdir dengan senang hati
-
Merasa
senang menerima malapetaka sebagaimana menerima nikmat
-
Tidak
meminta surga dari Allah dan tidak meminta supaya dijauhkan dari neraka
Aliran Sufi
1.
Aliran Qadariyah
Aliran
ini didirikan oleh Abd al-qadir al-Jailani dari Jaelan , Persia yang kemudian
menetap di Baghdad, Irak.sepeninggalan Beliau aliran ini di sebarluaskan oleh
anak-anaknya. Pada perkembangannya aliran ini menyebar keberbagai daerah,
termasuk Syiria, Turki dan beberapa tempat di Afrika, seperti Kamerun, Congo,
Mauritania, serta tempat-tempat lainnya.
Aliran
Qadiriyah dikenal luwes, yaitu apabila sudah mencapai derajat Syekh,
murid tidak mempunyai keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan,
dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal
tersebut tampak pada ungkapan Abdul Qadir jailani, “Bahwa murid yang sudah
mencapai derajat gurunya, dia menjadi mandiri sebagai Syekh dan Allah-lah yang
menjadi walinya untuk seterusnya.”
a.
Perkembangan
Aliran Qadiriyah
Qadiriyah
adalah nama tarekat yang dinisbatkan kepada seorang sufi besar yang sangat legendaris
yaitu Syekh Muhyiddin Abd Qadir al- Jailani. Tarekat ini menempati
posisi yang amat penting dalam sejarah spiritualitas islam karena tidak saja
sebagai pelopor lahirnya organisasi tarekat, tetapi juga cikal bakal munculnya
berbagai cabang tarekat di dunia Islam. Kendati struktur organisasinya baru
muncul beberapa dekade setelah kematiannya, semasa hidup sang syekh telah
memberikan pengaruh yang sangat besar pada pemikiran dan sikap umat islam. Dia
dipandang sebagai sosok ideal dalam keunggulan dan pencerahan spiritual. Namun
generasi selanjutnya mengembangkan sekian banyak legenda yang berkisar pada
aktivitas spiritualnya, sehingga muncul berbagai kisah ajaib tentang dirinya.
Syekh
Abd Qadir al-Jilani memimpin madrasah dan ribathnya di Baghdad. Sepeninggalnya
kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Abd Wahab. Dan setelah
Abd Wahab wafat maka kepemimpinannya dilanjutkan oleh puteranya yang bernama
Abdussalam. Madrasah dan ribat (pemondokan para sufi), secara turun temurun
tetap berada dibawah pengasuhan keturunan Syekh Abd Qadir al-jilani. Hal ini
berlangsung sampai hancurnya kota Baghdad oleh ganasnya serangan tentara Mongol
yang dipimpin oleh Hulagu Khan (1258 M atau 656 H). Serangan Hulagu Khan inilah
yang menghancurkan sebagian besar keluarga Syekh Abd Qadir al-Jilani, serta
mengakhiri eksistensi madrasah dan ribatnya di kota Baghdad.
Perkembangan
tarekat ini sangat meluas, sampai keluar Bagdad karena sejak zaman Syekh Abd
Qadir Jailani, sudah ada beberapa muridnya yang mengajarkan metode dan ajaran
tasawufnya keberbagai negeri islam. Di antaranya ialah: Ali Muhammad al-Haddad
di daerah Yaman, Muhammad Al-Batha ihi didaerah Balbek dan di Syiria, dan
Muhammad ibn Abd Shamad menyebarkan ajarannya di Mesir.
b.
Ajaran aliran Qadiriyyah
Ajaran syekh Abb al-Qadir selalu menekankan
pada pensucian diri dari nafsu dunia. Karena itu memberikan beberapa petunjuk
untuk mencapai kesucian diri yang tertinggi.
Adapun
ajaran-ajaran tersebut adalah:
1. Taubat
Taubat adalah kembali kepada Allah dengan mengurai ikatan dosa yang
terus menerus dari hati kemudian melaksanakan hak Tuhan.
Ibnu ‘abas ra. Berkata: “Taubat al-nasuha adalah penyesalan dalam
hatipermohonan ampun dengan lisan, meninggalkan dengan anggota badan dan
berniat tidak akan mengulangi lagi”.
Menurut
syekh Abd Qadir jailani, taubat ada dua macam, yaitu:
-
Taubat
yang berkaitan dengan hak sesama manusia.Taubat ini tidak terealisasi kecuali
dengan menghindari kezaliman, memberikan hak kepada yang berhak,
dan mengembalikan kepada pemiliknya.
-
Taubat
yang berkaitan dengan hak Allah. Taubat ini dilakukan dengan cara selalu
mengucapkan istighfar dengan lisan, menyesal dalam hati, dan bertekad untuk
tidak mengulanginya lagi di masa mendatang.
2. Zuhud
Zuhud secara bahasa berpaling darinya dan meninggalkannya
karena menganggapnya hina atau menjauhinya karena dosa. Sedangkan menurut
istilah zuhud adalah merupakan gambaran tentang menghindari dari mencintai
sesuatu yang menuju kepada sesuatu yang lebih baik darinya. Atau istilah lain,
menghindari dunia karena tahu kehianaannya bila dibandingkan dengan kemahalan
akhirat. Menurut ‘Abd al-Qadi jailani, zuhud ada dua macam, yaitu:
-
Zuhud hakiki yaitu mengeluarkan dunia dari
hatinya. Hal ini bukan berarti bahwa seseorang menolak rezeki yang
diberikan Allah kepadanya, tetapi di mengambilnya lalu digunakan untuk ketaatan
kepada Allah.
-
Zuhud lahir yaitu mengeluarkan dunia dari
hadapannya. Berarti bahwa harus menahan hawa nafsu (sesuatu yang kita
sayangi) serta menolak semua tuntutannya.
3. Tawakal
Tawakal artinya berserah diri. Hakikat tawakal
adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah dan membersihkan diri dari
gelapnya pilihan, tunduk dan patuh terhadap hukum dan takdir.
Syekh ‘Abd al-Qadir Jailani menekankan pentingnya tawakal dengan mengutip
sebuah sabda Nabi, “Bila seseorang menyerahkan dirinya secara penuh kepada
Allah, maka Allah akan mengaruniakan apa saja yang diminta. Begitu juga
sebaliknya, bila dengan bulat ia mnyerahkan dirinya kepada dunia, maka Allah
akan membiarkan dirinya dikuasai oleh dunia.”
Semakin banyak orang yang mengejar dunia, maka
semakin lupa dia akan akhirat, sebagai mana dinyatakan dalam sabda Nabi,
“Apabila ingatan manusia telah condong kepada dunia, maka ingatannya kepada
akhirat berkurang.”
4. Syukur
Syukur
adalah ungkapan rasa terima kasih atas nikmat yang diterima, baik lisan,
tangan, maupun hati. Menurut syekh ‘Abd al-Qadir Jailani hakikat syukur adalah
mengakui nikmat Allah karena Dialah pemilik karunia dan pemberian sehingga hati
mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah dan patuh pada syari’at-Nya.
Syekh ‘Abd al-Qadir Jailani membagi syukur menjadi tiga macam, yaitu:
-
Syukur
dengan lisan, yaitu dengan mengakui adanya nikmat dan merasa tenang. Dalam hal
ini si penerima nikmat mengucapkan nikmat Tuhan dengan segala kerendahan hati
dan ketundukkan.
-
Syukur
dengan badan atau anggota badan, yaitu dengan cara melaksanakan dan pengabdian
serta melaksanakan ibadah sesuai dengan perintah Allah. Dalam hal ini, si
penerima nikmat selalu berusaha mnjalankan perintah Tuhan dan menjauhi segala
larangan-Nya.
-
Syukur
dengan hati, yaitu beritikaf/berdiam diri atas tikar Allah dengan senantiasa
menjaga hak Allah yang wajib dikerjakan. Dalam hal ini, si penerima nikmat
mengakui dari dalam hatinya bahwa semua nikmat itu berasal dari Allah SWT.
5. Sabar
Sabar
adalah tidak mengeluh karena musibah yang menimpa kita kecuali mengeluh kepada
Allah. Menurut syekh ‘Abd al-Qadir Jailani, sabar ada tiga macam, yaitu:
-
Bersabar
kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
-
Bersabar
bersama Allah, yaitu bersabar terhadap ketetapan Allah dan perbuatan-Nya
terhadapmu dari berbagai macam kesuliatan dan musibah.
-
Bersabar
atas Allah, yaitu bersabar terhadap rezeki, jaln keluar, kecukupan,
pertolongan, dan pahala yang dijanjikan Allah di kampung akhirat.
6. Ridha
Ridha adalah kebahagian hati dalam menerima
ketetapan (takdir). ‘Abd al-Qadir mengutip ayat al-qur’an tentang perlunya
sikap ridha, “Dengan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat
darinya, keridhaan dan syurga. Mereka memperoleh didalamnya kesenangan yang
kekal”.(QS. At-Taubah: 21).
7. Jujur
Jujur menurut bahasa adalah menetapkan hukum
sesuai dengan kenyataan. Menurut syekh ‘Abd al-Qadir Jailani, jujur adalah
mengatakan yang benar dalam kondisi apapun, baik menguntukan maupun yang tidak
menguntungkan.
2.
Aliran Shadiliyyah
Aliran
ini dipelopori oleh Abu Hasan al-Shadhili. Shadhilly mengikuti hukum madzhab
Imam Maliki dan menekankan ajaran tentang keesaan Allah yang mutlak (tauhid).
Tujuan mereka adalah realisasi gnostik
kepada Allah berdasarkan ketaatan agama, hukum dan dogma Asy’ari. Dari awal
sejrah mereka, banyak cabang dari aliran Shadhili bermunculan. Mereka
menghindari pakaian mewah atau menunjukkan sesuatu yang luar biasa kehadapan
khalayak ramai. Shadalis Juga memainkan peran dalam menolak kolonialisasi Eropa
negri-negri Muslim.
Aliran
ini pada masa sekarang dapat dijumpai di Afrika, Mesir, Kenya, Tanzania, Timur
Tengah, Srilangka, dan tempat-tempat lain termasuk Amerika Barat dan Utara.
a.
Sejarah dan perkembangan aliran Shadiliyyah
Aliran Syadziliyyah tak dapat dilepaskan hubungannya
dengan pendirinya, yaitu Abu al-Hasan al-Syadzili. Selanjutnya nama tarekat ini
dinisbatkan kepada namanya Syadziliyah yang mempunyai ciri khusus yang berbeda
dengan tarekat-tarekat yang lain. Secara lengkap nama pendirinya adalah ‘Ali
bin Abdullah bin Abd. Al Jabbar Abu al-Hasan al-Syadzili. Silsilah keturunannya
mempunyai hubungan dengan orang-orang garis keturunan Hasan bin Ali bin Abi
Thalib, dan bearti keturunan siti Fatimah, anak perempuan dari Rasulullah SAW.
Beliau dilahirkan di desa Ghumara,
dekat Ceuta saat ini, di utara Maroko pada tahun 573 H, pada saat dinasti
al-muwahiddin mencapai titik nadinya. Adapun mengenai tahun kelahiran
al-Syadzili sebenarnya masih belum ada kesepakatan. Beberapa penulis berbeda
pendapat, antara lain sebagai berikut: Siraj al-Din al-Hafsh menyebut tahun
kelahirannya 591 H./1069 M., Ibn Sabbah menyebutnya 583 H./1187 M.,dan
J.Spencer Trimingham mencatat tahun kelahirannya al-Syadzili 593 H./1196 M.
Aliran Syadziliyah muncul di belahan
dunia Islam barat menuju Mesir, dan dari Mesir menyebar keberbagai macam
penjuru kawasan Islam. Berdasarkan sumber yang ada, tarekat ini mucul pada
kurun ke 7 Hijriah tepatnya sekitar tahun 642 H. dan cenderung beraliran Suni.
Dalam buku Tasawuf Islam karya Abu Wafa al-Ghanimi al-taftazani, bahwa tasawuf
syadzili, Mursi dan Abu Athoillah merupakan pondasi-pondasi madrasah
Syadziliyah yang jauh dari pemikiran madrasah Ibnu Arabi dan aliran tasawuf
wahdatul wujud-nya. Tak satupun dari ketiga orang tersebut yang mengatakan
tentang pemikiran wahdatul wujud itu. Di saat mereka jauh dengan Ibnu
Arabi, ternyata mereka sangat dekat dengan tasawuf al-Ghazali yang berpegangan
pada al-kitab dan al-sunnah.
b.
Ajaran aliran Shadzilliyah
Ajaran-ajaran aliran ini diantaranya adalah:
1.
Tidak
menganjurkan kepada murid-muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka.
Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak
dalam kehidupan sederhana yang akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah SWT.
Dan mengenal rahmat ilahi. Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan
hilangnya rasa syukur, dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan
membawa kepada kezaliman.
2.
Tidak
mengabaikan dalam menjalankan syariat Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi
yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan al-Ghazali, yaitu suatu
tasawuf yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, mengarah
pada asketisme,pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs), dan pembinaan
moral (akhlaq),suatu tasawuf yang di nilai cukup moderat.
3.
Zuhud tidak
berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah
mengosongkan hati dari selain Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia
yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku
syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak
kenal puas. Semua itu hanyalah permainan (al-la’b),dan senda gurau
(al-lahw) yang akan melupakan Allah.
4.
Tidak
ada larangan bagi salik untuk menjadi miliuner yang
kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya.
Seorang salik boleh tetap mencari harta kekayaan,namun jangan
sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia, tiada kesedihan ketika
harta hilang dan tiada kesenangan berlebihan ketika harta datang.
5.
Berusaha
merespon apa yang sedang mengancam kehidupan ummat, berusaha menjembatani
antara kekeringan sepiritual yang dialami oleh banyak orang yang hanya sibuk
dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.
Al-syadzili menawarkan tasawuf positif yang ideal dalam arti bahwa disamping
berupaya mencari “langit”, juga harus beraktifitas dalam realitas sosial di
“bumi’’ ini. Beraktifitas sosial demi kemaslahatan umat adalah
bagian integral dari hasil kontemlasi.
6.
Tasawuf
adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai
dengan ketentuan Allah SWT. Tasawuf memiliki empat aspek penting yaitu,
berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-perintah-Nya,
dapat menguasai hawa nafsu serta berupaya selalu bersama dan berkenalan
dengan-Nya secara sungguh-sungguh.
7.
Dalam
kaitannya dengan al-ma’rifah (gnosis), al-Syadzili berpendapat bahwa
ma’rifat adalah salah satu tujuan ahli tarekat atau tasawuf yang dapat
diperoleh dengan dua jalan. Pertama adalah mawahib atau ‘ain
al-jud (sumber kemurahan Tuhan) yaitu tuhan memberikannya dengan tanpa usaha
dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberikan anugerah tersebut.
Kedua, adalah imakasib atau badzi al-majhud yaitu ma’rifat akan
dapat diperoleh melalui usaha keras, melalui ar-riyadhah, mulazamah
al-dzikir, mulazamah al-wudlu’, puasa, shalat sunnah dan amal shaleh
lainnya.
Pada aliran Shadzilliyah ini juga terdapat 5 prinsip atau landasan
dalam ajarannya, diantaranya:
a.
Ketaqwaan terhadap Allah subhanahu wata’ala
lahir bathin, yang diwujudkan dengan jalan bersikap wara’ dan Istiqamah dalam
menjalankan perintah Allah subhanahu wata’ala.
b.
Konsisten mengikuti Sunnah Rasululkah
shallallahu ‘alaihi wasallam, baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang
direalisasikan dengan selalu bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur.
c.
Berpaling (hatinya) dari makhluk, baik dalam
penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada
Allah subhanahu wata’ala (Tawakkal).
d.
Ridha kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun
kekurangan, yang diwujudkan dengan apa adanya [qana’ah/tidak rakus] dan
menyerah.
e.
Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang
maupun dalam keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersykur dalam keadaan
senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.
3.
Aliran Naqsabandiyah
Aliran ini dipelopori oleh Khwaja
Baha 'al-Din Muhammad Naqshband. Hubungan
spiritual aliran ini adalah dengan khalifah pertama, Abu Bakar. tidak
seperti garis keturunan sufi kebanyakan, yang mencapai kembali ke sepupu Nabi
dan anak-anak Ali.
Menurut Naqshabandiyah ada tingkatan latihan
spiritual harian tergantung pada satu tahap disepanjang jalan (toriqot).
Seiring dengan praktik wajib bahwa semua muslim melakukan (seperti shalat lima
waktu dan mengikuti persyaratan hukum agama). Inisiatif seseorang dalam urusan
Naqshabandiyah mengulangi fase-fase tertentu, seperti doa’ membaca nama-nama
Illahi dan Al-Qur’an (Sura) beberapa
kali, dan juga berdoa pada Nabi Muhammad. Seorang murid yang sudah sampai pada
tingkat selanjutnya melakukan hal yang sama tetapi dengan peningkatan
pengulangan. Pada tingkat ketiga, murid melakukan latihan rohani dan meditasi
yang lebih ketat. Periode pengasingan diperlukan untuk meningkatkan kebangkitan
spiritual.
a.
Perkembangan aliran Naqsabandiyah
Tarekat ini didirikan oleh muhammad Bahauddin An-Naqsabandi
Al-Awisi Al-Bukhari di Turkistan. Kata Naqsabandiyah / Naqsyabandi / Naqhbandi نَقْشَبَنْدِى
berasal dari Bahasa Persia, diambil dari nam pendirinya, yaitu Baha Uddin
Naqshband Bukhari . Sebagian orang menerjemahkan kata tersebut sebagai “pembuat
gambar”, “pembuat hiasan”. Sebagian lagi menerjemahkannya sebagai “Jalan
Rantai” atau “Rantai Emas”. Tarekat Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat
sufi yang paling luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim
serta Turki., Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural.
Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar
ke daerah-daerah tetangga dunia muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya
mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamakan menurut
nama Syeh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alfi Tsani (Pembaru Milenium kedua). Pada
akhir abad ke-18 nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh
Asia selatan, wilayah Ustmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang
menonjol dari tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syariat secara ketat,
keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, seta
lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke
arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten). Dalam
perkembangannya, tarekat ini menyebar ke Anatolia (Turki) kemudian meluas ke
India dan Indonesia dengan berbagai nama baru yang disesuaikan dengan
pendirinya di daerah tersebut, seperti tarekat Khalidiyah, Muradiyah,
Mujadidiyah, dan Ahsaniyah.
b.
Ajaran aliran
Naqsabandiyah
Ajaran-ajaran aliran ini diantaranya adalah:
1.
Husy
Dar dam,
Yaitu
pemeliharaan keluar masuknya nafas, supaya hati tidak lupa kepada Allah SWT
atau tetap hadirnya Allah SWT pada waktu masuk dan keluarnya nafas. Setiap
murid atau salik menarikkan dan menghembuskan nafasnya, hendaklah selalu ingat
atau hadir bersama Allah di dalam hati sanubarinya. Ingat kepada Allah setiap
keluar masuknya nafas, berarti memudahkan jalan untuk dekat kepada Allah SWT,
dan sebaliknya lalai atau lupa mengingat Allah, berarti menghambat jalan menuju
kepada- Nya.
2.
Nazhar
Bar qadam
Yaitu
setiap murid atau salik dalam iktikaf/suluk bila berjalan harus menundukkan
kepala, melihat ke arah kaki dan apabila dia duduk dia melihat pada kedua
tangannya. Dia tidak boleh memperluas pandangannya ke kiri atau ke kanan,
karena dikhawatirkan dapat membuat hatinya bimbang atau terhambat untuk
berzikir atau mengingat Allah SWT. Nazhar Barqadlam ini lebih ditekankan lagi
bagi pengamal tarikat yang baru suluk, karena yang bersangkutan belum mampu
memelihara hatinya.
3.
Safar
Dar wathan
Yaitu
perpindahan dari sifat kemanusiaan yang kotor dan rendah, kepada sifat-sifat
kemalaikatan yang bersih dan suci lagi utama. Karena itu wajiblah bagi si murid
atau salik mengontrol hatinya, agar dalam hatinya tidak ada rasa cinta kepada
makhluk.
4.
Khalwat
Dar anjuman
Yaitu
setiap murid atau salik harus selalu menghadirkan hati kepada Allah SWT dalam
segala keadaan, baik waktu sunyi maupun di tempat orang banyak. Dalam Tarikat
Naqsyabandiyah ada dua bentuk khalwat :
-
Berkhalwat
lahir, yaitu orang yang melaksanakan suluk dengan mengasingkan diri di tempat
yang sunyi dari masyarakat ramai.
-
Khalwat
batin, yaitu hati sanubari si murid atau salik senantiasa musyahadah,
menyaksikan rahasia- rahasia kebesaran Allah walaupun berada
di tengah- tengah orang ramai.
5.
Yad
Krad
Yaitu
selalu berkekalan zikir kepada Allah SWT, baik zikir ismus zat (menyebut Allah,
Allah,.), zikir nafi isbat (menyebut la ilaha ilallah), sampai yang disebut
dalam zikir itu hadir.
6.
Baz
Gasht
Yaitu
orang yang berzikir nafi isbat setelah melepaskan nafasnya, kembali munajat
kepada Allah dengan mengucapkan kalimat yang mullia “Wahai Tuhan Allah,
Engkaulah yang aku maksud (dalam perjalanan rohaniku ini) dan keridlaan-Mulah
yang aku tuntut”. Sehingga terasa dalam kalbunya rahasia tauhid yang hakiki,
dan semua makhluk ini lenyap dari pemandangannya.
7.
Nigah
Dasyt
Yaitu
setiap murid atau salik harus memelihara hatinya dari kemasukan sesuatu yang
dapat menggoda dan mengganggunya, walaupun hanya sebentar. Karena godaan yang
mengganggu itu adalah masalah yang besar, yang tidak boleh terjadi dalam ajaran
dasar tarikat ini. Syekh Abu Bakar Al Kattani berkata, “Saya menjaga pintu
hatiku selama 40 (empat puluh) tahun, aku tiada membukakannya selain kepada
Allah SWT, sehingga menjadilah hatiku itu tidak mengenal seseorang pun selain
daripada Allah SWT.” Sebagian ulama tasawuf berkata “Aku menjaga hatiku 10
(sepuluh) malam, maka dengan itu hatiku menjaga aku selama 20 (dua puluh)
tahun.”
8.
Yad
Dasyt
Yaitu tawajuh
atau pemusatan perhatian sepenuhnya pada musyahadah, menyaksikan keindahan,
kebesaran, dan kemuliaan Allah SWT terhadap Nur Zat Ahadiyah (Cahaya Yang Maha
Esa) tanpa disertai dengan kata- kata. Keadaan “Yad Dasyt” ini baru dapat
dicapai oleh seorang murid atau salik, setelah dia mengalami fana dan baka yang
sempurna
Ibnu Arabi dan Pemikirannya
Abu
Abd Allah ibn Arabi adalah salah satu sufi paling berpengaruh dalam sejarah
Islam, ia lahir di Murcia, Spanyol, pada tahun 560/1165. Menurut dia, pada
beberapa arus esoteris
yang ada dalam dunia pemikiran Islam, seperti Pythagoras, alkimia dan
astrologi, dan berbagai kecenderungan Sufi, yang berkembang menjadi sintesis
yang luas dibentuk oleh Al-Qur'an dan Sunnah.
Pemikiran
Ibn Arabi adalah konsep 'Kesatuan Wujud’ (wahdat al-wujud), Ungkapan 'penyatuan
Wujud' berarti bahwa dari per-prospektif transendensi Allah (tanzih) hanya ada
satu Wujud; tidak ada hal lain yang memiliki keberadaan yang sejati selain Satu
wujud dan tak terbagi-bagi. Dunia luar diciptakan, bukan sebagai realitas
objektif. Walaupun ada pandangan lain, menyatakan bahwa imanensi (tashbih),
adalah segala sesuatu yang diungkapkan untuk memperlihatkan wujud-Nya.
Menurut
Ibnu Arabi, gambar esensi dari setiap makhluk ada dalam pengetahuan Allah.
Gambar-gambar ini disebut 'dasar-dasar kehidupan' (al-a'yan al-Thabita) karena
mereka bertahan hidup dalam pengetahuan Allah dan tidak pernah meninggalkan
pengetahuan atau pikiran terhadap-Nya. Karena ini 'cita-cita' yang diinginkan
dengan sifat-sifat Allah, yang juga identik dengan Zat-Nya, banyak hal yang
dirasakan terhadap hal-hal yang tidak nyata (mistis); itu hanya tampak ada
obyektif. Perbedaan muncul sebagai wujud untuk menentukan keputusan sendiri;
Oleh karena itu, hasil kesatuann dari sebuah wujud. Kesamaan suatu wujud
menunjukkan bentuk kekurangan tanpa mengalami pembagian sedikitpun atau
kecacatan.Dalam wujud kesempurnaan Manusia (Al-Insan Al-Kamil), termasuk wujud
dari semua sifat-sifat Allah.
a.
Biografi singkat Ibn Arabi
Ibnu
‘Arabi nama lengkap Ibnu ‘Arabi adalah Abu Bakar Ibnu Ali Muhyiddin al-Hatimi
al-tha’I al Andalusia. Ada pula yang menyebutkan bahwa nama aslinya ialah
Muhamad Bin Ali Ahmad Bin Abdullah. sedangkan nama Abu Bakar Abnu Ali Muhyidin
atau al-Hatimi hanyalah nama gelar baginya, selanjutnya, ia populer dengan nama
Ibnu ‘Arabi dan ada yang menulisnya Ibnu al-Arabi.
Muhammad Ibn ‘Ali Muhammad Ibnu ‘Arabi At-Tai Al-Hatimi, lahir di Murcia
Spanyol bagian Utara lahir pada tanggal 27 Ramadhan 560 H (17 Agustus 1165 M)
pada pemerintahan Muhammad Ibn Said Ibn’ Mardanisy.
Ibnu
‘Arabi berasal dari keturunan Arab berasal dari keluarga yang soleh. ayahnya,
menteri utama Ibn’ Mardanisy, jelas seorang tokoh terkenal dan berpengaruh di
bidang politik dan pendidikan, keluarganya juga sangat religius, karena ketiga
pamannya menjadi pengikut jalan sufi yang masyhur, dan ia sendiri digelari
Muhyi al-Din (penghidup agama) dan al Syaikh al-Akbar (doktor maximus) karena
gagasan-gagasannya yang besar terutama dalam bidang mistik.
b.
Pendidikan Ibn Arabi
Pada
usia delapan tahun yaitu tahun 568 H / 1172 M Ibnu ‘Arabi meninggalkan kota
kelahirannya dan berangkat menuju kota Lisabon. Di kota ini ia menerima
pendidikan agama Islam pertamanya, yang berupa membaca al-Qur’an dan
mempelajari hukum-hukum Islam dari gurunya, Syekh Abu Bakr Ibnu Khallaf.
Kemudian
ia pindah kekota Sevilla yang waktu itu merupakan pusat para sufi Spanyol, ia
tinggal dan menetap disana selama 30 tahun. Di kota di Sevilla inilah
Pendidikan Ibnu ‘Arabi dimulai ketika ayahnya menjabat di istana dengan pelajaran
yang umum pada saat itu al-Qur’an dan Hadits, Fiqh, Theologi, dan Filsafat
Skolastik, Ilmu Kalam. keberhasilan pendidikan dan kecerdasan otaknya juga
kedudukan ayahnya mengantarkanya sebagai sekretaris Gubenur sevilla diusia
belasan.
Selama menetap di Sevilla Ibnu ‘Arabi muda
sering melakukan kunjungan berbagai kota di Spanyol, untuk berguru dan bertukar
pikiran dengan para tokoh sufi maupun sarjana terkemuka. salah satu kunjungan
yang paling mengesankan adalah ketika bertemu Ibn Rusyd (1126-1198 M) dimana
saat itu Ibnu ‘Arabi mengalahkan tokoh filosuf
peripatetik
ini dalam perdebatan dan tukar pikiran, sesuatu yang menunjukkan kecerdasan
yang luar biasa dan luasnya wawasan spiritual sufi muda ini.
Ibnu ‘Arabi disamping terus belajar ia adalah
seorang yang sangat haus akan ilmu. ia tidak merasa puas dengan ulama’ yang ada
di daerahnya. oleh sebab itu, dalam rangka memperluas ilmu pengetahuanya,
tatkala menginjak usia 30 tahun ia mulai melakukan pengembaraan ke berbagai
negeri Islam, selain Andalusia ia juga ke Maroko dan Aljazair. Tahun 598H/1202M
Ibnu ‘Arabi tiba di Mesir bersama murid dan pembantunya, Abdullah al-Habasyi.
di negeri ini ia tidak tinggal lama. kemudian dari Mesir ia terus berkelana ke
Timur, mengunjungi al-Quds dan Mekkah al- Mukarramah di mana ia juga mengajar
untuk waktu tertentu. Selain Hijaz yang dikunjunginya dua kali, ia juga ke
Aleppo dan asia kecil. di setiap tempat yang di kunjungi, ia selalu menerima
penghargaan besar dan diberi banyak hadiah.
Ibnu ‘Arabi banyak berbicara tentang ajaran
Al-Qur’an dan Al-Hadist secara rinci berbagai peristiwa dalam kehidupan Nabi,
peran Syari’at prinsip-prinsip hukum Islam, nama-nama dan sifat Tuhan, hubungan
antara Tuhan dengan alam semesta, tata kosmos, takdir yang harus diterima oleh
Manusia, berbagai golongan Manusia, jalan yang harus ditempuh untuk mencapai
kesempurnaan, tahap-tahap pendakian menuju Tuhan, berbagai tingkatan serta
golongan Malaikat, hakekat Jin, ruang dan waktu, peran intuisi-intuisi politis,
simbolisme tulisan, kehidupan di alam barzah (antara alam kubur dan hari
kebangkitan), status ontologis Surga dan Neraka dan sebagainya.
Ibnu Arabi meninggal dengan tenang di Damaskus
pada tanggal 28 Rabi’ulakhir 638 H. (16 November 1240) pada usia 78 tahun dikelilingi oleh keluarga,
para sahabat, dan murid-murid sufinya. Ia dimakamkan di Utara Damaskus
dipinggiran kota Salihiyah, di kaki Gunung Qasiyun.
c.
Ajaran Ibn
Arabi
1.
Wahdat al –wujud
Bahwa
manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud Menurut faham ini
bahwa setiap sesuatu yang ada memiliki dua aspek, yaitu aspek luar dan aspek
dalam. aspek yang sebenarnya ada hanyalah aspek dalam (Tuhan) sedangkan aspek
luar hanyalah bayangan dari aspek dalam tersebut. Esensi Ke-Tuhanan
bagi ibnu Arabi adalah segala yang ada yang bisa dipandang dari dua aspek: (1)
sebagai esensi murni,tunggal dan tanpa atribut (sifat); dan (2) sebagai esensi
yang dikaruniai atribut.Tuhan,karena dipandang tidak beratribut,berada di luar
relasi dan karenanya juga di luar pengetahuan. Dalam esensi - Nya Tuhan
terbebas dari penciptaan,tetapi dalam keTuhanan-Nya,Tuhan membutuhkannya.
Manusia
dan alam sebagai cermin yang memperlihatkan Tuhan dan berkata bahwa sang
penerima berasal dari nol sebab ia berasal dari emanasi-Nya yang paling suci
karena seluruh kejadian (eksistensi) berawal dan berakhir bersama-Nya:
kepada-Nya ia akan kembali dan dari-Nya ia berawal. Wujud semua yang
ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikatnya adalah wujud khaliq pula.
Tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi hakikat.makhluk adalah bayang
bayang atau pencerminan Tuhan di mana Tuhan dapat melihat dirinya sendiri tanpa
kehilangan sesuatupun.Artinya tetap dalam kemutlakannya.
Kejadian
proses penciptaan alam Pertama, Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu dzat yang
mandiri dan tidak berhajat kepada suatu apapun.Kedua, wujud haqiqah
Muhammadiyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan dan dari
sini muncul segala wujud dengan proses tahapan tahapannya.
2.
Haqiqah Muhammadiyah
Konsep
haqiqah Muhammadiyah ini lanjutan dari konsep Wahdat al -Wujud.Ibnu arabi
menjelaskan bahwa terjadinya alam ini tidak dapat dipisahkan dari ajaran
haqiqah Muhammadiyah atau Nur Muhammad. Menurutnya tahapan tahapan kejadian
proses penciptaan alam dan hubungannya dengan kedua ajaran itu adalah sebagai
berikut:
Pertama, Wujud Tuhan
sebagai wujud mutlak, yaitu dzat yang mandiri dan tidak berhajat kepada
suatu apapun. Kedua, wujud haqiqah Muhammadiyah sebagai emanasi
(pelimpahan ) pertama dari wujud Tuhan dan dari sini muncul segala wujud dengan
proses tahapan tahapannya.Selanjutnya beliau mengatakan bahwa Nur Muhammad itu
qadim dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai macam kesempurnaan ilmiah
dan amaliah yang terealisasikan pada diri para nabi semenjak Adam sampai
Muhammad dan merealisasikan dari Muhammad pada diri pengikutnya dari kalangan
para wali dan person person insan kamil.
Dalam
teori penciptaan ini Ibnu Arabi menganut faham tajalli atau tanazul
(menampakkan diri). Dalam pandangan ibnu arabi bahwa Nur Muhammad (haqiqah
muhammadiyah) adalah tahapan pertama dari tahapan tahapan tanazul zat Tuhan
dalam bentuk bentuk wujud. Dari haqiqah muhammadiayah segala yang maujud
dijadikan. Dengan demikian penciptaan alam semesta ini termasuk manusia dalam
teori ibnu Arabi berasal dari zat Tuhan sendiri kemudian bertanazul kepada
haqiqah muhammadiyah sebagai tanazul tingkat pertama yang dari padanya melimpah
wujud wujud yang lain.
3.
Wahdat al - adyan (kesamaan agama)
Konsep
Wahdat al- adyan juga merupakan lanjutan tentang konsep Wahdat al-Wujud. Ibnu
arabi memandang bahwa sumber agama adalah satu, yaitu hakikat Muhammadiyyah.
Konsekuensinya semua agama adalah tunggal dan semua itu kepunyaan Allah.
Seorang yang benar benar arif adalah orang yang menyembah Allah dalam setiap
bidang kehidupannya. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa ibadah yang benar
hendaknya seorang abid memandang semua apa saja sebagai bagian dari ruang
lingkup realitas dzat Tuhan yang Tunggal.
Kritik Terhadap
Sufi dan Sufisme
Bukan hanya
sufi yang mengkritik tasawuf sufi lainnya juga mengkritik aspek tasawuf,
diantaranya tokoh-tokoh kunci seperti Al- Sarraj, Al-hujwiri dan Al-Ghozali.
Diantara kritikus terkuat adalah ibn Al-jauzi seorang ahlli hukum hanbali keras
dan penulis. Ibn Al-jauzi memiliki harfiyah hukum, kecemburuannya yang
bertujuan untuk ” memurnikan” syariah. Dia mengkritik apa yang dilihatnya
sebagai kecenderungan sufi menuju liberalisme.
Ibn Al- jauzi mengemukakan enam bidang utama libertinism (antara bagian
tertentu tasawuf) berdasarkan pada pendapat Al-Ghozali:
-
Karena
semua tindakan kita sudah ditentukan, kita tidak perlu melakukan apapun tugas
agama.
-
Alloh
tidak membutuhkan doa kita dan karena itu kita tidak perlu melakukan do’a untuk
Alloh.
-
Apapun
yang kita lakukan Alloh adalah murah hati dan akan mengampuni.
-
Karena
hukum tidak menghilangkan kelemahan manusia, tidak ada gunanya sebagai sarana
kemajuan spiritual.
-
Sufi
yang melihat visi surgawi dan mendengar suara-suara surgawi telah mencapai
tujuannya, dan tidak perlu melakukan sholat.
-
Kesucian
dan negara diluar hukum yang dibuktikan dengan kinerja mukjizat.
Ibnu al-Jauzi juga mengklaim tasawuf
dari kecenderungan terhadap ingkarnasi (hulul). Ingkarnasi adalah fokus pada
bentuk manusia yang indah sebagai wujud manifestasi Ilahi. Keindahan Ilahi
sering digambarkan dalam bentuk kelelakian; sehingga kita menemukan fenomena
'menatap pada pemuda' sebagai fenomena hulul. Abad kelima/abad kesebelas
Hanbali ahli hukum dan heresiographer Abu Ya'la menulis: 'The incarnationists
(al-hululiyya) telah melangkah ke titik yang mengatakan bahwa Tuhan Yang Maha
Kuasa mempunyai gairah cinta. Sarjana India al-Thanawi mengatakan bahwa
ingkarnasi adalah:
“Sekte yang mengatakan bahwa wujud manifestasi Illah itu diizinkan
untuk menatap pada pria dan wanita muda. Dalam keadaan mereka menari dan
mendengarkan musik dan berkata, 'Ini adalah salah satu atribut Ilahi yang telah
turun di antara kita, yang diizinkan dan halal! "Ini perselingkuhan
murni.”
Kritik lain
dari sufi berhubungan dengan ucapan gembira mereka, yang ditafsirkan sebagai
wakil Allah dan Nabi, terutama dalam hal pemikiran atau doktrin. Mungkin contoh
yang paling terkenal adalah bahwa al-Hallaj yang dieksekusi atas dasar
pernyataan gembira nya 'Akulah Kebenaran' (yang berarti 'Akulah Allah').
Tidak ada
prinsip-prinsip hukum yang jelas untuk menangani ucapan gembira dalam hukum
agama. Penafsiran literal mereka sebagai menghujat (penjamin sanksi hukum
agama) melanggar niat para sufi. Demarkasi antara ahli hukum yang berpegang
pada penafsiran literal dari komentar gembira dan ahli hukum yang berpegang
pada penafsiran spiritual mereka adalah sama seperti yang antara ulama yang
menolak dan mereka yang menerima ucapan gembira.
Sufisme Pada Hari Ini
Sufisme masih merupakan bagian
penting dari pengalaman agama Islam di modern kali, dan bahkan menyebar ke
barat. Didunia muslim, tasawuf telah dikecam oleh kelompok-kelompok keras
seperti wahabi dan salafiy yang melihatnya sebagai sebuah inovasi dapat
diterima namun, sufisme memiliki juga memacu gerakan revivalis
dianak benua india, asia tenggara dan afrika. Di barat, telah dipopulerkan
dalam puisi rumi dan telah lama menjadi topik yang menarik orientalis. Salah
satu otoritas terkemuka di dunia pada tasawuf adalah Annemarie sarjana jerman
schimmel yang mengabdikan karir seumur hidup untuk studi akademis mistik Islam.
Kelompok-kelompok
sufi di barat dapat dibagi tiga kategori, pertama terdiri dari orang-orang yang
menganut Islam dan praktek hukum agama Islam. Contoh dari kategori ini termasuk
cabang dari shidili, naqsanbadi, qadiri, chisthti dan perintah ni’matullohi
yang telah dibentuk diamerika utara, Eropa, dan Australia. Sejumlah tokoh barat
muallaf telah terlibat dengan kelompok-kelompok dalam kategori ini. Termasuk
Syeikh Abdal Qodar As-syafi, Syeikh Nuh
Hah Mim Keller. Dan Abdalhaq dan aisyah beyley. Pada kelompok kedua
syeikh dan sufi mungkin melaksanakan benerapa praktek hukum Islam dengan cara
tertentu, tapi ini tidak diperlukan untuk masuk kedalam kelompok. Kelompok
ketiga terdiri dari orang-orang yang telah terinspirasi oleh sufisme sejarah
atau guru sufi tapi yang murid tidak dapat mempertimbangkan diri mereka sebagai
muslim, juga tidak berlatih hukum agama Islam. Contoh kategori ini termasuk
ordo sufi internasional didirikan oleh Hazrat Inayat Khan pusat sufi emas dipimpin
oleh Irina Tweedie dan Llewllyn Vaughan Lee.
Daftar Pustaka
Al-Barsani ,
Noer Iskandar, 2001, Tasawuf , Tarekat & Para Sufi, Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada
Nasution,
Harun. 2010. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: PT Bulan
Bintang.
Saeed,
Abdullah. 2006. Islamic Tought An Introduction. New York: Medison ave
Soleh ,
A.Khudori, 2004, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Haeri , Syaikh
Fadhlalla, Jenjang-jenjang Sufisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000) hal,. 40
http://uchamsimgl2011.blogspot.co.id/2012/03/inti-ajaran-tasawuf-ibnu-arabi.html
https://putrifikriati.wordpress.com/2014/04/29/tarekat-qadiriyah-syadziliyah-dan-naqsyabandiyah/
Abdullah Saeed,. Islamic Tought An Introduction. (New York:
Medison ave, 2006), hal 74
Noer
Iskandar Al-Barsani, Tasawuf , Tarekat & Para Sufi, (Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2001) hal,.153