SHALAT JAMA’ DAN
QASHAR
Tugas ini disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih 1
dengan Dosen Pengampu :
M. Julijanto, S.Pd, M.Ag
Disusun oleh :
Irwanto (143111305)
Retno Wiyanti F (143111
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2015
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat, hidayah, dan inayah-Nya
yang tiada terkira, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
“SHALAT JAMA’ DAN
QASHAR”
Tak lupa kami juga
mengucapkan ribuan terimakasih kepada segenap keluarga yang telah banyak
memberikan dukungan, kasih, kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah
kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan
dan menuntun kepada langkah yang lebih baik lagi.
Meskipun penulis
berharap makalah ini terbebas dari kesalahan dan kekurangan namun, masih saja
banyak kuranganya, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
Akhir kata penulis
berharap, mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surakarta,
31 Oktober 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I
A. Latar belakang 1
B. Rumusan masalah 2
C. Tujuan masalah 2
BAB II
A.
Shalat Jama’ 3
1.
Pengertian
2.
Alasan
diperbolehkannya salat jama’ 4
3.
Dasar hukum
shalat jama’ 7
B.
Shalat Qashar 7
1.
Pengertian 7
2.
Dasar hukum 7
3.
Syarat sah
shalat qashar 8
4.
Batasan jarak mulai diperbolehkan mengqashar shalat 8
5.
Tempat mulai diperbolehkannya mengqashar shalat 9
6.
Batasan waktu diperbolehkannya mengqashar
shalat bagi
musafir 10
BAB III
Kesimpulan 11
Daftar pustaka
BAB
I
A. Latar Belakang
Tujuan
manusia diciptakan oleh Allah adalah hanya untuk beribadah kepada Allah, salah
satu bentuk beribadah kepada Allah adalah dengan cara mendirikan shalat. Dalam
mendirikan shalat setiap muslim diwajibkan untuk memenuhi rukun shalat dan melakukannya
sesuai dengan waktunya yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Berbeda halnya
jika kita sedang berpergian jauh dan mengalami kesulitan untuk mendirikan
sholat fardhu tepat pada waktunya maka Allah telah meringankan kewajiban kita
(memberikan rukhsah/kelonggaran) dengan cara menjama’ dan menqashar sholat
fardhu. Karena Islam adalah agama yang tidak memberatkan bagi para umatnya.
Disinilah
muncul permasalahan-permasalahan diantaranya adalah tentang hukum dari jama’
dan qashar, sebab-sebab diperbolehkannya melakukan jama’ dan qashar, dan juga
cara melakukan sholat jama’ qashar itu sendiri baik di kalangan para ulama fiqh
dan para masyarakat. Ada yang memandanganya lebih baik menyempurnakan shalat
walaupun sedang berpergian. Dan masih banyak lagi pendapat-pendapat tentang
shalat jama’ dan qashar.
Jika
melihat kenyataan bahwa banyak sekali perbedaan-perbedaan yang muncul baik di
kalangan masyarakat ataupun di kalangan ulama’-ulama’ fiqh, maka kami akan
menguraikan perbedaan-perbedaan tersebut dalam makalah kami berikut ini.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa Pengertian Shalat Jama’ Dan Qashar
?
2. Apa Saja Dasar - Dasar Hukum Shalat
Jama’ Dan Qashar ?
3. Apa Saja Syarat Sah Shalat Jama’ Dan
Qashar ?
4. Bagaimana Tata Cara Pelaksanaan
Shalat Jama’ Dan Qashar ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Memahami Dan Mengetahui Pengertian
Shalat Jama’ Dan Qashar.
2. Memahami Dan Mengetahui Dasar-Dasar
Hukum Shalat Jama’dan Qashar.
3. Memahami Dan Mengetahui Syarat Sah
Shalat Jama’ Dan Qashar.
4. Mengetahui Dan Memahami, Tata Cara
Pelaksanaan Shalat Jama’ Dan Qashar.
BAB
II
A. Shalat Jama’
1.
Pengertian
jama’
Jama’
berarti mengumpulkan. Shalat jama’ yaitu mengumpulkan dua shalat pada satu
waktu. Shalat jama’ ada dua macam , yaitu jama’ taqdim dan takhir. Shalat jama’
taqdim adalah mengumpulkan dua shalat yang dikerjakan sekaligus di waktu shalat
yang lebih awal, seperti mengumpulkan shalat Dzuhur dan Ashar dan dikerjakan
pada waktu Dzuhur atau mengumpulkan shalat Maghrib dan Isya’ dan dikerjakan
pada waktu Maghrib. Sedangkan shalat jama’ takhir adalah mengumpulkan dua
shalat yang dikerjakan sekaligus di waktu shalat yang terakhir, seperti
mengumpulkan shalat Dzuhur dan Ashar dan dikerjakan pada waktu Ashar atau
mengumpulkan shalat Maghrib dan Isya’ dan dikerjakan pada waktu Isya’. Adapun
shalat subuh tetap wajib dikerjakan pada waktunya sendiri.
Ada
dua syarat jama’ diantaranya adalah:
a. Syarat jama’ taqdim
Syarat
jama’ taqdim ada tiga menurut pendapat setengah ulama, diantaranya:
-
Dikerjakan
dengan tertib. Hendaklah dimulai dengan shalat yang pertama (Dzuhur sebelum
Ashar atau Maghrib sebelum Isya’). Karena waktunya adalah waktu yang pertama.
-
Niat jama’
dilakukan pada shalat pertama. Niat ini dapat diucapkan ataupun tidak.[1] Berniat
jama’ agar berbeda dari shalat yang terdahulu karena lupa.
-
Berturut-turut
karena keduanaya seolah-olah satu shalat.[2]
b. Syarat Jama’ Takhir
Hendaklah
berniat diwaktu yang pertama bahwa ia
akan melakukan shalat pertama itu di waktu yang kedua, supaya ada waktu yang
keras akan mengerjakan shalat petama itu
dan tiada ditinggalkan begitu saja.
Diperbolehkan
bagi orang yang tetap (tidak dalam perjalanan) shalat jama’ taqdim karena hujan
dengan beberapa syarat yang telah lalu pada jama’ taqdim. Disyaratkan pula
bahwa shalat yang kedua itu berjamaah di tempat yang jauh dari rumahnya, serta
ia mendapatkan kesukaran pergi karena hujan.[3]
2. Alasan diperbolehkannya shalat jama’
a.
Menjama’
shalat ketika berada di Arafah dan Muzdhalifah.
b.
Menjama’
dalam perjalanan (safar/bepergian).
Bagi orang yang sedang atau akan bepergian, baik masih di rumah (tempat
tinggal) atau dalam perjalanan, dan atau sudah sampai di tujuan, dibolehkan
menjama’ shalat, baik dilakukan secara jama’ taqdim maupun jama’ ta’khir sama
saja, dan selama berada ditempat yang dituju tetap boleh menjama’ shalat dengan
syarat tidak berniat untuk menetap di tempat itu. seperti yang dilakukan oleh
Rasul Saw.
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ يَجْمَعُ بَيْنَ صَلَاةِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ إِذَا كَانَ عَلَى
ظَهْرِ سَيْرٍ وَيَجْمَعُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ
Artinya: ”Rasulullah menjamak antara shalat
Dhuhur dan Ashar bilamana beliau berada di tengah perjalanan dan menjamak
antara Maghrib dan Isya’. (HR. Bukhari).
c.
Menjama’
shalat ketika turun hujan.
Jika seseorang berada di suatu masjid atau mushalla, tiba-tiba turun hujan
sangat lebat, maka dibolehkan menjama’ shalat maghrib dengan ‘isya’, dzuhur dan
‘ashar.
“Nabi saw pernah
menjama’ antara sholat maghrib dan isya pada suatu malam yang diguyur hujan
lebat”. (HR. Bukhari)
d.
Menjama’
shalat karena sakit atau ada halangan.
Sakit merupakan cobaan dan ujian bagi manusia, dan apabila seseorang sabar
dalam menghadapi cobaan dan ujian sakit ini, dan tetap menjalankan perintah
Allah dan Rasul-Nya, khususnya perintah shalat, maka akan mengurangi dosa-dosanya,
sekalipun shalat itu dikerjakan dengan cara dijama’.
“ Jika engkau mampu mengakhirkan shalat dzuhur
dan menyegerakan shalat ashar, kemudian engkau mandi setelah bersuci, dan
engkau menggabungkan shalat dzuhur dan shalat ashar, kemudian engkau mengakhirkan
shalat maghrib dan menyegerakan shalat isya, kemudian engkau mandi dan
menggabungkan diantara dua shalat, maka lakukanlah“.
e.
Takut
Takut dalam masalah ini bukan takut seperti yang biasa dialami oleh setiap
orang, akan tetapi yang dimaksud takut disini yaitu takut secara bathin.
عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ
قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنْ
الصَّلاَةِ إِنْخِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمْ الَّذِينَ كَفَرُوا فَقَدْ أَمِنَ
النَّاسُ فَقَالَ عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ
بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ. رواه مسلم
Artinya : “Diriwayatkan dari Ya’la Ibn
Umayyah, ia berkata: Saya bertanya kepada ‘Umar Ibnul Khaththab tentang (firman
Allah): "Laisa ‘alaikum
junaahun an taqshuru minashalah in khiftum an yaftinakumu-lladzina kafaru". Padahal sesungguhnya orang-orang dalam keadaan aman. Kemudian Umar
berkata: Saya juga heran sebagaimana anda heran terhadap hal itu. Kemudian saya
menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw. Beliau bersabda: Itu adalah pemberian
Allah yang diberikan kepada kamu sekalian, maka terimalah pemberian-Nya.”(HR. Muslim).
f.
Keperluan (kepentingan) Mendesak
Dalam banyak kejadian di masyarakat, kadang kalanya karena sibuk dengan
beberapa keperluan, kepentingan, mereka melupakan shalat yang telah menjadi
kewajiban bagi setiap muslim beriman. Maka boleh menjama’ shalat bagi orang
yang tidak dalam safar (bepergian/perjalanan), jika ada kepentingan yang
mendesak, asal hal itu tidak dijadikan kebiasaan dalam hidupnya.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ صَلَّى
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا
بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ قَالَ أَبُو الزُّبَيْرِ
فَسَأَلْتُ سَعِيدًا لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَالَ سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ كَمَا
سَأَ لْتَنِي فَقَالَ أَرَادَ أَنْ لاَ يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ.
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia
berkata: Rasulullah saw shalat dhuhur dan ‘ashar di Madinah secara jama‘, bukan
karena takut dan juga bukan dalam perjalanan. Berkata Abu Zubair: saya bertanya
kepada Sa’id; Mengapa beliau berbuat demikian? Kemudian ia berkata; Saya bertanya
kepada Ibnu’ Abbas sebagaimana engkau bertanya kepadaku: Kemudian Ibnu ‘Abbas
berkata: Beliau menghendaki agar tidak mernyulitkan seorangpun dari umatnya. (HR. Bukhari – Muslim).
3.
Dasar hukum shalat jama’
Hukum melaksanakan shalat jama’
adalah boleh, menurut Jumhur Ulama. Hal ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW,
sebagaimana sabdanya:
… ثُمَّ
نَزَلَ بِجَمْعٍ بَيْنَهُمَا ….
“… kemudian Beliau turun, lalu menjama’
kedua salat tersebut….” (H.R. Bukhari dan Muslim).
B. Shalat
Qasar
1.
Pengertian shalat qosor
Shalat
qasar adalah shalat yang diringkas, yaitu diantara shalat - shalat fardhu yang
lima, yang harusnya empat rakaat dijadikan dua rakaat saja. Shalat yang boleh
diqasar hanyalah shalat Dzuhur, Ashar, dan Isya’ (shalat-shalat yang terdiri
dari empat rakaat). Adapun Maghrib dan Subuh tetap sebagaimana biasanya, karena
tidak boleh diqashar. Shalat qashar dimaksudkan untuk menghindari kesulitan
umat islam ketika melakukan perjalanan.
2. Dasar hukum shalat qashar
Hukum shalat qashar dalam Madzhab
Syafi’I boleh bahkan lebih baik bagi orang yang dalam perjalanan serta cukup
syarat-syaratnya. Dasar-dasar hukum
seseorang boleh mengqashar sholat adalah sebagai berikut :
#sÎ)ur ÷Läêö/uÑ Îû ÇÚöF{$# }§øn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ br& (#rçÝÇø)s? z`ÏB Ío4qn=¢Á9$# ÷bÎ) ÷LäêøÿÅz br& ãNä3uZÏFøÿt tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. 4
¨bÎ) tûïÍÏÿ»s3ø9$# (#qçR%x. ö/ä3s9 #xrßtã $YZÎ7B ÇÊÉÊÈ
Artinya:“Dan apabila
kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar
sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya
orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Qs An Nisa : 101).
Nabi saw
bersabda:
“Shalat qashar itu sedekah yang diberikan Allah kepadamu, maka terimalah olehmu
sedekah-Nya”. (HR.Muslim).
3. Syarat sah
shalat Qashar
Syarat sahnya shalat qashar,
diantaranya:
a. Jarak perjalanan sekurang-kurangnya
dua hari perjalanan kaki atau dua murhalah (yaitu sama dengan 16 farsah = 138
km).
b. Bepergian bukan untuk maksiat.
c. Shalat yang boleh di qashar hanya
shalat yang empat rakaat saja dan bukan qadha (shalat tunai).
d. Niat mengqashar pada waktu takbiratul ikhram.
Niat ini dapat diucapkan ataupun tidak.
e. Tidak makmum kepada orang yang bukan
mufassir. Menurut Abd. Rahman Al-Jazairi dalam kitabul Fiqih ‘Alal Madzahibil
Arba’ah, dinyatakan (16 farsah = 81 km) atau perjalanan sehari semalam.[4]
4. Batasan
jarak mulai diperbolehkan mengqashar shalat
Para
ulama’ berbeda pendapat mengenai jarak yang memperbolehkan mengqashar shalat. Pendapat yang paling kuat adalah bahwa
mengqashar shalat boleh dilakukan pada setiap perjalanan yang disebut sebagai
safar (bepergian jauh) menurut ‘ urf (kebiasaan), dimana seorang musafir
membutuhkan bekal dan kendaraan. Al-Allamah Ibnu Qayim berkata:
“Nabi
SAW tidak membatasi bagi umatnya pada jarak tertentu untuk mengqashar shalat
dan berbuka. Bahkan hal itu mutlak saja bagi mereka mengenai jarak perjalanan
itu. Sebagaimana Nabi mempersilahkan kepada mereka untuk bertayamum dalam setiap
bepergian”.
Syaikhul islam Ibnu Taimiyah juga
m,enjelaskan:
“Setiap nama dimana tidak ada batas
tertentu baginya dalam bahasa maupun agama, maka dalam hal itu dikembalikan
kepada pengertian umum saja, sebagaimana
bepergian dalam pengertian kebanyakan orang, yaitu Allah mengaitkannya dalam
suatu hukum”.
5. Tempat
mulai diperbolehkannya mengqashar shalat
Mayoritas
Ulama’ berpendapat bahwa mulai diperbolehkannya mengqashar shalat adalah
seseorang keluar dari batas negri (daerah tempat tinggalnya). Diatara dalilnya
adalah hadis dari Anas bin Malik, Ia berkata:
صَلَيْتُ
الظُهْرَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَمْ بِالمَدِيْنَتِ
اَرْبَعًا وَالْعَصْرَ بِدِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ
Artinya: “Aku
shalat Zhuhur bersama Nabni SAW di Madinah empat rakaat, dan shalat Asar di
Dzul Hulaifah dua raka’at”
Hal ini
menunjukkan bahwa Rasulullah mulai mengqashar shalatnya setelah keluar dari
Madinah. Ibnu Mundzir berkata:
“Aku tidak
mengetahui bahwa Nabi melakukan qashar dalam beberapa safar, kecuali beliau
telah keluar dari Madinah”
Dalam
Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 101 Allah SWT mengaitkan antara shalat dan
bepergian di muka bumi. Dan tidak dianggap bepergian dimuka bumi hingga
seseorang menuinggalkan bangunan terahir daerah tempat tinggalnya.
6.
Batasan waktu
diperbolehkannya mengqashar shalat bagi musafir
Apabila
seorang musafir tinggal di suatu daerah untuk menunaikan kepentingannya, dan ia
tidak berminat mukim, maka diperbolehkan baginya untuk melakukan qashar hingga
meninggalkan daerah tersebut, meskipun ia safar dalam waktu yang lama.[5]
Dalam hal ini para Ulama’ berbeda pendapat, diantaranya:
a.
Imam
Malik dan Imam As-Syafi`i
Berpendapat bahwa masa
berlakunya jama` dan qashar bila menetap disuatu tempat selama 4 hari, maka
selesailah masa jama` dan qasharnya. Dasarnya adalah praktek jama' qahar di
dalam hajimulai tanggal 10, 11, 12, 13 bulan Dzulhijjah.[6]
b.
Imam Abu Hanifah dan At-Tsauri
Mereka berpendapat bahwa masa berlakunya jama` dan
qashar bila menetap disuatu tempat selama 15 hari, maka selesailah masa jama`
dan qasharnya.[7]
c.
Dan Imam Ahmad bin Hanbal dan Daud
Mereka berpendapat bahwa masa berlakunya jama` dan
qashar bila menetap disuatu tempat lebih dari 4 hari, maka selesailah masa
jama` dan qasharnya.[8]
Adapun
musafir yang tidak akan menetap maka ia senantiasa mengqashar shalat selagi
masih dalam keadaan safar. Ibnul Qoyyim berkata bahwa Rasulullah SAW tinggal di
Tabuk 20 hari mengqashar shalat”.[9]
Disebutkan Ibnu
Abbas:” Rasulullah SAW melaksanakan shalat di sebagian safarnya 19 hari, shalat
dua rakaat. Dan kami jika safar 19 hari, shalat dua rakaat, tetapi jika lebih
dari 19 hari, maka kami shalat dengan sempurna”. (HR. Bukhari).
BAB III
Kesimpulan
Menjamak
dan mengqasar shalat adalah Rukhshah atau keringanan yang diberikan Allah
kepada hambanya karena adanya kondisi yang menyulitkan. Rukhshah ini merupakan
shadakah dari Allah SWT yang dianjurkan untuk diterima dengan penuh
ketawadlu’an, namun jika tidak ada musyafir yang mengqasar shalatnya tetap sah.
Hanya saja kurang sesuai dengan sunah Nabi SAW, karena Nabi Saw selalu menjama’
dan mengqashar shalatnya ketika bebergian.
Shalat
Jama’ ialah shalat yang dikumpulkan. Artinya dua shalat fardhu dikerjakan pada
satu waktu, misal shalat zhuhur dan Ashar dikerjakan pada waktu zhuhur atau
pada waktu ashar.
Shalat
Qashar ialah shalat yang diringkas. Artinya, shalat fardhu yang empat raka’at
diringkas menjadi dua raka’at. Shalat yang dapat diqashar ialah shalat Zhuhur,
Ashar, dan Isya. Shalat Maghrib dan Shalat Shubuh tidak boleh di qashar.
DAFTAR
PUSTAKA
Abas, Zainul dan Fauzi Muharom,
dkk. Modul Standar Kompetensi Lulusan
(SKL) Al-Qur’an dan Ibadah.Surakarta: LPM IAIN Surakarta, 2014.
Mardian,
Andi, Buku Daras Fiqih Ibadah.
Surakarta: Fakultas Syariah IAIN Surakarta, 2014.
Sarwat, Ahmad, Fiqih Minoritas
(panduan menjadi muslim yang baik di negri minoritas), Du Center Press:
2010
………, Buku
Panduan Praktik Ibadah. Surakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan IAIN
Surakarta, 2013.
[1]
Buku
Panduan Praktik Ibadah
(Surakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan IAIN Surakarta, 2013). Hlm. 86.
[2]
Andi Mardian, Buku
Daras Fiqih Ibadah (Surakarta: Fakultas Syariah IAIN Surakarta,2014). Hlm.
48.
[3] Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru
Bandung, 1998). Hlm. 120. Sebagaimana dalam Andi Mardian, Buku Daras Fiqih Ibadah (Surakarta:
Fakultas Syariah IAIN Surakarta,2014). Hlm.48.
[4]
Buku
Panduan Praktik Ibadah
(Surakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan IAIN Surakarta, 2013). Hlm. 85.
[5] Ahmad
Sarwat, Fiqih Minoritas (Du
Center Press: 2010) hal, 112
[6] Ibid, hal 113
[7] Ibid,.
[8] Ibid,.
[9] Ibid,.
No comments:
Post a Comment