Thursday, 3 December 2015

SHALAT JAMA’ DAN QASHAR




Tugas ini disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih 1
dengan Dosen Pengampu :
M. Julijanto, S.Pd, M.Ag
Disusun oleh :
Irwanto                          (143111305)
Retno Wiyanti F                        (143111





FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2015


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat, hidayah, dan inayah-Nya yang tiada terkira, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “SHALAT JAMA’ DAN QASHAR”
            Tak lupa kami juga mengucapkan ribuan terimakasih kepada segenap keluarga yang telah banyak memberikan dukungan, kasih, kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun kepada langkah yang lebih baik lagi.
            Meskipun penulis berharap makalah ini terbebas dari kesalahan dan kekurangan namun, masih saja banyak kuranganya, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
            Akhir kata penulis berharap, mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Surakarta,   31 Oktober  2015
Penyusun


DAFTAR ISI
Kata pengantar                                                                                             i
Daftar Isi                                                                                                        ii
BAB I
A.  Latar belakang                                                                                         1
B.  Rumusan masalah                                                                                    2
C.  Tujuan masalah                                                                                        2
BAB II
A.    Shalat Jama’                                                                                           3
1.   Pengertian                                                                                                     
2.   Alasan diperbolehkannya salat jama’                                                4
3.   Dasar hukum shalat jama’                                                                 7
B.     Shalat Qashar                                                                                         7
1.      Pengertian                                                                                        7
2.      Dasar hukum                                                                                    7
3.      Syarat sah shalat qashar                                                                   8
4.      Batasan jarak mulai diperbolehkan mengqashar shalat                    8
5.      Tempat mulai diperbolehkannya mengqashar shalat                        9
6.      Batasan waktu diperbolehkannya mengqashar
shalat bagi musafir                                                                           10
BAB III
Kesimpulan                                                                                               11
Daftar pustaka







BAB I
A.    Latar Belakang
Tujuan manusia diciptakan oleh Allah adalah hanya untuk beribadah kepada Allah, salah satu bentuk beribadah kepada Allah adalah dengan cara mendirikan shalat. Dalam mendirikan shalat setiap muslim diwajibkan untuk memenuhi rukun shalat dan melakukannya sesuai dengan waktunya yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Berbeda halnya jika kita sedang berpergian jauh dan mengalami kesulitan untuk mendirikan sholat fardhu tepat pada waktunya maka Allah telah meringankan kewajiban kita (memberikan rukhsah/kelonggaran) dengan cara menjama’ dan menqashar sholat fardhu. Karena Islam adalah agama yang tidak memberatkan bagi para umatnya.
Disinilah muncul permasalahan-permasalahan diantaranya adalah tentang hukum dari jama’ dan qashar, sebab-sebab diperbolehkannya melakukan jama’ dan qashar, dan juga cara melakukan sholat jama’ qashar itu sendiri baik di kalangan para ulama fiqh dan para masyarakat. Ada yang memandanganya lebih baik menyempurnakan shalat walaupun sedang berpergian. Dan masih banyak lagi pendapat-pendapat tentang shalat jama’ dan qashar.
Jika melihat kenyataan bahwa banyak sekali perbedaan-perbedaan yang muncul baik di kalangan masyarakat ataupun di kalangan ulama’-ulama’ fiqh, maka kami akan menguraikan perbedaan-perbedaan tersebut dalam makalah kami berikut ini.





B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Shalat Jama’ Dan Qashar ?
2.      Apa Saja Dasar - Dasar Hukum Shalat Jama’ Dan Qashar ?
3.   Apa Saja Syarat Sah Shalat Jama’ Dan Qashar ?
4.      Bagaimana Tata Cara Pelaksanaan Shalat Jama’ Dan Qashar ?

C.    Tujuan Pembahasan
1.      Memahami Dan Mengetahui Pengertian Shalat Jama’ Dan Qashar.
2.      Memahami Dan Mengetahui Dasar-Dasar Hukum Shalat Jama’dan Qashar.
3.      Memahami Dan Mengetahui Syarat Sah Shalat Jama’ Dan Qashar.
4.      Mengetahui Dan Memahami, Tata Cara Pelaksanaan Shalat Jama’ Dan Qashar. 















BAB II
A.   Shalat Jama’

1.      Pengertian jama’
Jama’ berarti mengumpulkan. Shalat jama’ yaitu mengumpulkan dua shalat pada satu waktu. Shalat jama’ ada dua macam , yaitu jama’ taqdim dan takhir. Shalat jama’ taqdim adalah mengumpulkan dua shalat yang dikerjakan sekaligus di waktu shalat yang lebih awal, seperti mengumpulkan shalat Dzuhur dan Ashar dan dikerjakan pada waktu Dzuhur atau mengumpulkan shalat Maghrib dan Isya’ dan dikerjakan pada waktu Maghrib. Sedangkan shalat jama’ takhir adalah mengumpulkan dua shalat yang dikerjakan sekaligus di waktu shalat yang terakhir, seperti mengumpulkan shalat Dzuhur dan Ashar dan dikerjakan pada waktu Ashar atau mengumpulkan shalat Maghrib dan Isya’ dan dikerjakan pada waktu Isya’. Adapun shalat subuh tetap wajib dikerjakan pada waktunya sendiri.

Ada dua syarat jama’ diantaranya adalah:
a.      Syarat jama’ taqdim
Syarat jama’ taqdim ada tiga menurut pendapat setengah ulama, diantaranya:
-          Dikerjakan dengan tertib. Hendaklah dimulai dengan shalat yang pertama (Dzuhur sebelum Ashar atau Maghrib sebelum Isya’). Karena waktunya adalah waktu yang pertama.
-          Niat jama’ dilakukan pada shalat pertama. Niat ini dapat diucapkan ataupun tidak.[1] Berniat jama’ agar berbeda dari shalat yang terdahulu karena lupa.
-          Berturut-turut karena keduanaya seolah-olah satu shalat.[2]


b.      Syarat Jama’ Takhir
Hendaklah berniat diwaktu  yang pertama bahwa ia akan melakukan shalat pertama itu di waktu yang kedua, supaya ada waktu yang keras akan mengerjakan  shalat petama itu dan tiada ditinggalkan begitu saja.
Diperbolehkan bagi orang yang tetap (tidak dalam perjalanan) shalat jama’ taqdim karena hujan dengan beberapa syarat yang telah lalu pada jama’ taqdim. Disyaratkan pula bahwa shalat yang kedua itu berjamaah di tempat yang jauh dari rumahnya, serta ia mendapatkan kesukaran pergi karena hujan.[3]

2.      Alasan diperbolehkannya shalat jama’
a.       Menjama’ shalat ketika berada di Arafah dan Muzdhalifah.
b.      Menjama’ dalam perjalanan (safar/bepergian).
Bagi orang yang sedang atau akan bepergian, baik masih di rumah (tempat tinggal) atau dalam perjalanan, dan atau sudah sampai di tujuan, dibolehkan menjama’ shalat, baik dilakukan secara jama’ taqdim maupun jama’ ta’khir sama saja, dan selama berada ditempat yang dituju tetap boleh menjama’ shalat dengan syarat tidak berniat untuk menetap di tempat itu. seperti yang dilakukan oleh Rasul Saw.

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يَجْمَعُ بَيْنَ صَلَاةِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ إِذَا كَانَ عَلَى ظَهْرِ سَيْرٍ وَيَجْمَعُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ

Artinya: ”Rasulullah menjamak antara shalat Dhuhur dan Ashar bilamana beliau berada di tengah perjalanan dan menjamak antara Maghrib dan Isya’. (HR. Bukhari).


c.       Menjama’ shalat ketika turun hujan.
Jika seseorang berada di suatu masjid atau mushalla, tiba-tiba turun hujan sangat lebat, maka dibolehkan menjama’ shalat maghrib dengan ‘isya’, dzuhur dan ‘ashar.

“Nabi saw pernah menjama’ antara sholat maghrib dan isya pada suatu malam yang diguyur hujan lebat”. (HR. Bukhari)

d.      Menjama’ shalat karena sakit atau ada halangan.
Sakit merupakan cobaan dan ujian bagi manusia, dan apabila seseorang sabar dalam menghadapi cobaan dan ujian sakit ini, dan tetap menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya, khususnya perintah shalat, maka akan mengurangi dosa-dosanya, sekalipun shalat itu dikerjakan dengan cara dijama’.

 “ Jika engkau mampu mengakhirkan shalat dzuhur dan menyegerakan shalat ashar, kemudian engkau mandi setelah bersuci, dan engkau menggabungkan shalat dzuhur dan shalat ashar, kemudian engkau mengakhirkan shalat maghrib dan menyegerakan shalat isya, kemudian engkau mandi dan menggabungkan diantara dua shalat, maka lakukanlah“.

e.       Takut
Takut dalam masalah ini bukan takut seperti yang biasa dialami oleh setiap orang, akan tetapi yang dimaksud takut disini yaitu takut secara bathin.

عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنْ الصَّلاَةِ إِنْخِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمْ الَّذِينَ كَفَرُوا فَقَدْ أَمِنَ النَّاسُ فَقَالَ عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ. رواه مسلم
Artinya : “Diriwayatkan dari Ya’la Ibn Umayyah, ia berkata: Saya bertanya kepada ‘Umar Ibnul Khaththab tentang (firman Allah): "Laisa ‘alaikum junaahun an taqshuru minashalah in khiftum an yaftinakumu-lladzina kafaru". Padahal sesungguhnya orang-orang dalam keadaan aman. Kemudian Umar berkata: Saya juga heran sebagaimana anda heran terhadap hal itu. Kemudian saya menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw. Beliau bersabda: Itu adalah pemberian Allah yang diberikan kepada kamu sekalian, maka terimalah pemberian-Nya.”(HR. Muslim).

f.       Keperluan (kepentingan) Mendesak
Dalam banyak kejadian di masyarakat, kadang kalanya karena sibuk dengan beberapa keperluan, kepentingan, mereka melupakan shalat yang telah menjadi kewajiban bagi setiap muslim beriman. Maka boleh menjama’ shalat bagi orang yang tidak dalam safar (bepergian/perjalanan), jika ada kepentingan yang mendesak, asal hal itu tidak dijadikan kebiasaan dalam hidupnya.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ قَالَ أَبُو الزُّبَيْرِ فَسَأَلْتُ سَعِيدًا لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَالَ سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ كَمَا سَأَ لْتَنِي فَقَالَ أَرَادَ أَنْ لاَ يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ.

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Rasulullah saw shalat dhuhur dan ‘ashar di Madinah secara jama‘, bukan karena takut dan juga bukan dalam perjalanan. Berkata Abu Zubair: saya bertanya kepada Sa’id; Mengapa beliau berbuat demikian? Kemudian ia berkata; Saya bertanya kepada Ibnu’ Abbas sebagaimana engkau bertanya kepadaku: Kemudian Ibnu ‘Abbas berkata: Beliau menghendaki agar tidak mernyulitkan seorangpun dari umatnya. (HR. Bukhari – Muslim).

3.      Dasar hukum shalat jama’
Hukum melaksanakan shalat jama’ adalah boleh, menurut Jumhur Ulama. Hal ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana sabdanya:
ثُمَّ نَزَلَ بِجَمْعٍ بَيْنَهُمَا ….
 “… kemudian Beliau turun, lalu menjama’ kedua salat tersebut….” (H.R. Bukhari dan Muslim).
B.     Shalat Qasar
1.      Pengertian shalat qosor
Shalat qasar adalah shalat yang diringkas, yaitu diantara shalat - shalat fardhu yang lima, yang harusnya empat rakaat dijadikan dua rakaat saja. Shalat yang boleh diqasar hanyalah shalat Dzuhur, Ashar, dan Isya’ (shalat-shalat yang terdiri dari empat rakaat). Adapun Maghrib dan Subuh tetap sebagaimana biasanya, karena tidak boleh diqashar. Shalat qashar dimaksudkan untuk menghindari kesulitan umat islam ketika melakukan perjalanan.

2.      Dasar hukum shalat qashar
Hukum shalat qashar dalam Madzhab Syafi’I boleh bahkan lebih baik bagi orang yang dalam perjalanan serta cukup syarat-syaratnya. Dasar-dasar hukum seseorang boleh mengqashar sholat adalah sebagai berikut :
#sŒÎ)ur ÷Läêö/uŽŸÑ Îû ÇÚöF{$# }§øŠn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ br& (#rçŽÝÇø)s? z`ÏB Ío4qn=¢Á9$# ÷bÎ) ÷LäêøÿÅz br& ãNä3uZÏFøÿtƒ tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. 4 ¨bÎ) tûï͍Ïÿ»s3ø9$# (#qçR%x. ö/ä3s9 #xrßtã $YZÎ7B ÇÊÉÊÈ  
Artinya:“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Qs An Nisa : 101).
Nabi saw bersabda:
“Shalat qashar itu sedekah yang diberikan  Allah kepadamu, maka terimalah olehmu sedekah-Nya”. (HR.Muslim).
3.      Syarat sah shalat Qashar
Syarat sahnya shalat qashar, diantaranya:
a.       Jarak perjalanan sekurang-kurangnya dua hari perjalanan kaki atau dua murhalah (yaitu sama dengan 16 farsah = 138 km).
b.      Bepergian bukan untuk maksiat.
c.       Shalat yang boleh di qashar hanya shalat yang empat rakaat saja dan bukan qadha (shalat tunai).
d.       Niat mengqashar pada waktu takbiratul ikhram. Niat ini dapat diucapkan ataupun tidak.
e.       Tidak makmum kepada orang yang bukan mufassir. Menurut Abd. Rahman Al-Jazairi dalam kitabul Fiqih ‘Alal Madzahibil Arba’ah, dinyatakan (16 farsah = 81 km) atau perjalanan sehari semalam.[4]

4.      Batasan jarak mulai diperbolehkan mengqashar shalat
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai jarak yang memperbolehkan mengqashar shalat.  Pendapat yang paling kuat adalah bahwa mengqashar shalat boleh dilakukan pada setiap perjalanan yang disebut sebagai safar (bepergian jauh) menurut ‘ urf (kebiasaan), dimana seorang musafir membutuhkan bekal dan kendaraan. Al-Allamah Ibnu Qayim berkata:
“Nabi SAW tidak membatasi bagi umatnya pada jarak tertentu untuk mengqashar shalat dan berbuka. Bahkan hal itu mutlak saja bagi mereka mengenai jarak perjalanan itu. Sebagaimana Nabi mempersilahkan kepada mereka untuk bertayamum dalam setiap bepergian”.
Syaikhul islam Ibnu Taimiyah juga m,enjelaskan:
“Setiap nama dimana tidak ada batas tertentu baginya dalam bahasa maupun agama, maka dalam hal itu dikembalikan kepada  pengertian umum saja, sebagaimana bepergian dalam pengertian kebanyakan orang, yaitu Allah mengaitkannya dalam suatu hukum”.
5.      Tempat mulai diperbolehkannya mengqashar shalat
Mayoritas Ulama’ berpendapat bahwa mulai diperbolehkannya mengqashar shalat adalah seseorang keluar dari batas negri (daerah tempat tinggalnya). Diatara dalilnya adalah hadis dari Anas bin Malik, Ia berkata:

صَلَيْتُ الظُهْرَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَمْ بِالمَدِيْنَتِ اَرْبَعًا وَالْعَصْرَ بِدِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ
Artinya: “Aku shalat Zhuhur bersama Nabni SAW di Madinah empat rakaat, dan shalat Asar di Dzul Hulaifah dua raka’at”

Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah mulai mengqashar shalatnya setelah keluar dari Madinah. Ibnu Mundzir berkata:
“Aku tidak mengetahui bahwa Nabi melakukan qashar dalam beberapa safar, kecuali beliau telah keluar dari Madinah”
Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 101 Allah SWT mengaitkan antara shalat dan bepergian di muka bumi. Dan tidak dianggap bepergian dimuka bumi hingga seseorang menuinggalkan bangunan terahir daerah tempat tinggalnya.
6.      Batasan waktu diperbolehkannya mengqashar shalat bagi musafir
Apabila seorang musafir tinggal di suatu daerah untuk menunaikan kepentingannya, dan ia tidak berminat mukim, maka diperbolehkan baginya untuk melakukan qashar hingga meninggalkan daerah tersebut, meskipun ia safar dalam waktu yang lama.[5] Dalam hal ini para Ulama’ berbeda pendapat, diantaranya:
a.       Imam Malik dan Imam As-Syafi`i
Berpendapat bahwa masa berlakunya jama` dan qashar bila menetap disuatu tempat selama 4 hari, maka selesailah masa jama` dan qasharnya. Dasarnya adalah praktek jama' qahar di dalam hajimulai tanggal 10, 11, 12, 13 bulan Dzulhijjah.[6]
b.      Imam Abu Hanifah dan At-Tsauri
Mereka berpendapat bahwa masa berlakunya jama` dan qashar bila menetap disuatu tempat selama 15 hari, maka selesailah masa jama` dan qasharnya.[7]
c.       Dan Imam Ahmad bin Hanbal dan Daud
Mereka berpendapat bahwa masa berlakunya jama` dan qashar bila menetap disuatu tempat lebih dari 4 hari, maka selesailah masa jama` dan qasharnya.[8]
Adapun musafir yang tidak akan menetap maka ia senantiasa mengqashar shalat selagi masih dalam keadaan safar. Ibnul Qoyyim berkata bahwa Rasulullah SAW tinggal di Tabuk 20 hari mengqashar shalat”.[9]
Disebutkan Ibnu Abbas:” Rasulullah SAW melaksanakan shalat di sebagian safarnya 19 hari, shalat dua rakaat. Dan kami jika safar 19 hari, shalat dua rakaat, tetapi jika lebih dari 19 hari, maka kami shalat dengan sempurna”. (HR. Bukhari).


BAB III
Kesimpulan
Menjamak dan mengqasar shalat adalah Rukhshah atau keringanan yang diberikan Allah kepada hambanya karena adanya kondisi yang menyulitkan. Rukhshah ini merupakan shadakah dari Allah SWT yang dianjurkan untuk diterima dengan penuh ketawadlu’an, namun jika tidak ada musyafir yang mengqasar shalatnya tetap sah. Hanya saja kurang sesuai dengan sunah Nabi SAW, karena Nabi Saw selalu menjama’ dan mengqashar shalatnya ketika bebergian.
Shalat Jama’ ialah shalat yang dikumpulkan. Artinya dua shalat fardhu dikerjakan pada satu waktu, misal shalat zhuhur dan Ashar dikerjakan pada waktu zhuhur atau pada waktu ashar.
Shalat Qashar ialah shalat yang diringkas. Artinya, shalat fardhu yang empat raka’at diringkas menjadi dua raka’at. Shalat yang dapat diqashar ialah shalat Zhuhur, Ashar, dan Isya. Shalat Maghrib dan Shalat Shubuh tidak boleh di qashar.












DAFTAR PUSTAKA

Abas, Zainul dan Fauzi Muharom, dkk. Modul Standar Kompetensi Lulusan (SKL) Al-Qur’an dan Ibadah.Surakarta: LPM IAIN Surakarta, 2014.
Mardian, Andi, Buku Daras Fiqih Ibadah. Surakarta: Fakultas Syariah IAIN Surakarta, 2014.
Sarwat, Ahmad, Fiqih Minoritas (panduan menjadi muslim yang baik di negri minoritas), Du Center Press: 2010
………,  Buku Panduan Praktik Ibadah. Surakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan IAIN Surakarta, 2013.




[1] Buku Panduan Praktik Ibadah (Surakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan IAIN Surakarta, 2013). Hlm. 86.
[2] Andi  Mardian, Buku Daras Fiqih Ibadah (Surakarta: Fakultas Syariah IAIN Surakarta,2014). Hlm. 48.
[3] Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Bandung, 1998). Hlm. 120. Sebagaimana dalam Andi  Mardian, Buku Daras Fiqih Ibadah (Surakarta: Fakultas Syariah IAIN Surakarta,2014). Hlm.48.
[4] Buku Panduan Praktik Ibadah (Surakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan IAIN Surakarta, 2013). Hlm. 85.
[5] Ahmad Sarwat,  Fiqih Minoritas (Du Center  Press: 2010) hal, 112
[6] Ibid, hal 113
[7] Ibid,.
[8] Ibid,.
[9] Ibid,.

No comments:

Post a Comment

MAKALAH HADIS TARBAWI ASPEK KEJIWAAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR

MAKALAH HADIS TARBAWI ASPEK KEJIWAAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR Dosen Pengampu :                         Muchlis Anshori, S. ...