HADIS
TENTANG IMAN
(Hubungan
Iman, Islam Dan Ihsan; Berkurangnya Iman Karena Maksiat Dan
Rasa
Malu Sebagian Dari Iman)
Dosen pengampu
Ali Mashar S.Pd.I,
M.Hum

Disusun
oleh:
Akhmad Syefudin 143111123
Irwanto 143111305
Ruslan Abdul
Jamil 143111050
Tsania Elza S . 143111040
FAKULTAS ILMU
TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA

KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat, hidayah, dan inayah-Nya
yang tiada terkira, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
“HADIS TENTANG IMAN “.
Tak lupa kami juga
mengucapkan ribuan terimakasih kepada segenap keluarga yang telah banyak
memberikan dukungan, kasih, kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah
kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan
dan menuntun kepada langkah yang lebih baik lagi.
Meskipun penulis
berharap makalah ini terbebas dari kesalahan dan kekurangan namun, masih saja
banyak kuranganya, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
Akhir kata penulis
berharap, mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surakarta, 23 September 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I 1
a.
Pendahuluan 1
b.
Rumusan
Masalah 2
c.
Tujuan
Masalah 2
BAB II 3
a.
Iman,
Islam, Ihsan 3
1.
Iman 4
2.
Islam 6
3.
Ihsan 7
b.
Hubungan
Antara Iman, Islam, Ihsan 8
c.
Berkurangnya
Iman Karena Maksiat 10
d.
Malu
Sebagian Dari Iman 12
BAB III 15
Kesimpulan 15
Daftar Pustaka
BAB
I
A.
Latar
Belakang
Dalam agama Islam
memiliki tiga tingkatan yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Tiap-tiap tingkatan
mempunyai rukun-rukun yang membangunnya. Yang ketiganya ini saling berhubungan
antara satu dengan yang lainnya.
Jika Islam dan
Iman disebut secara bersamaan, maka yang dimaksud Iman adalah amal-amal batin
yang mempunyai enam rukun. Sedangkan
yang dimaksud dengan Islam adalah amalan-amalan yang tampak dan mempunyai lima
rukun. Dan jika keduanya berdiri sendiri-sendiri maka masing-masing menyandang
makna dan hukumnya tersendiri. Sedangkan Ihsan adalah berbuat baik, orang yang
berbuat Ihsan disebut Dengan muhsin berarti orang yang berbuat baik. Setiap
perbuatan yang baik yang Nampak pada sikap jiwa dan perilaku yang sesuai atau
berlandaskan dengan syari’at Islam disebut dengan Ihsan.
Berbicara
masalah iman tentunya kita tau bahwa iman adalah pernyataan dalam hati diucapkan
dengan lisan dan diamalkan dengan anggota badan. Jadi iman tersebut mencangkup
tiga hal yaitu, diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan dan pengamalan
dengan anggota badan.
Ketiga hal tersebut
saling berkaitan antara. Dan tak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Iman
adalah pondasi dari segalanya, tanpa adanya Iman, Islampun akan runtuh begitu
juga dengan Ihsan.
Iman dalam diri
manusia tidak selamanya akan tetap atau stagnan, akan tetapi Iman ini bisa naik
dan bisa turun tergantung kadar ibadah seseorang. Iman bisa meningkat karena
amal atau ketaatan, sedangkan Iman bisa turun karena maksiat.
Iman juga
terdiri dari berbagai cabang yaitu enam puluh tiga lebih atau tujuh puluh. Dan
salah satunya adalah “malu”.
Dalam makalah
ini akan di bahas mengenai hadis-hadis tentang hubungan antara Iman, Islam dan
Ihsan; berkurangnya Iman karena maksiat; dan malu sebagian dari Iman.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
Yang Dimaksud Dengan Iman, Islam Dan Ihsan?
2.
Bagaimana
Hubungan Antara Iman, Islam Dan Ihsan?
3.
Bagaiman
Hadis Tentang Iman Bisa Berkurang Karena Maksiat?
4.
Bagaimana
Hadis Tentang Rasa Malu Sebagian Dari Iman?
C.
Tujuan Masalah
1.
Memahami
Apa Yang Dimaksud Dengan Iman, Islam Dan Ihsan
2.
Memahami
Hubungan Antara Iman, Islam Dan Ihsan
3.
Mengetahui
Hadis Tentang Iman Bisa Berkurang Karena Maksiat
4.
Mengetahui
Hadis Tentang Rasa Malu Sebagian Dari Iman
BAB
II
A.
Iman, Islam dan Ihsan
Dalam sebuah hadis diriwayatkan:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَارِزًا
يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ: مَا الإِيمَانُ قَالَ الإِيمَانُ
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ
وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ، قَالَ: مَا الإِسْلاَمُ قَالَ: الإِسْلاَمُ أَنْ تَعْبُدَ
اللَّهَ وَلاَ تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ
الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ، قَالَ: مَا الإِحْسَانُ، قَالَ: أَنْ
تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ
يَرَاكَ، قَالَ: مَتَى السَّاعَةُ، قَالَ: مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ
مِنْ السَّائِلِ وَسَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا: إِذَا وَلَدَتْ الأَمَةُ
رَبَّهَا وَإِذَا تَطَاوَلَ رُعَاةُ الإِبِلِ الْبُهْمُ فِي الْبُنْيَانِ، فِي
خَمْسٍ لاَ يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ اللَّهُ ثُمَّ تَلاَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ الآيَةَ ثُمَّ
أَدْبَرَ فَقَالَ رُدُّوهُ فَلَمْ يَرَوْا شَيْئًا فَقَالَ هَذَا جِبْرِيلُ جَاءَ
يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a, Ia menuturkan bahwa nabi SAW.
keluar pada suatu hari untuk pergi bersama dengan orang-orang, maka datanglah
seorang laki-laki. Ia bertanya, “Apakah Iman itu?” nabi SAW. bersabda, “Engkau
beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, hari pertemuan dengan-Nya, rasul-rasul-Nya,
dan engkau beriman akan aadanya Hari Kebangkitan”.
Laki-laki itu bertanya “ Apakah itu Islam?”, Nabi SAW. bersabda, “Islam
adalah engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya, mendirikan
shalat, menunaikan zakat yang wajib dan berpuasa pada bulan Ramadhan.” Ia
bertanya “Apakah itu Ihsan?”, Nabi SAW bersabda, “Engkau beribadah kepada Allah
seakan-akan engkau melihat-Nya dan jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya
Ia melihatmu.”
Lalu laki-laki itu bertanya lagi: “apakah hari kiamat itu? “Nabi SAW.
menjawab: “orang yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang bertanya,
tetapi saya memberitahukan kepadamu beberapa syarat (tanda-tanda) akan tibanya
hari kiamat, yaitu jika budak sahaya telah melahirkan majikannya, dan jika
penggembala onta dan ternak lainnya telah berlomba-lomba membangun
gedung-gedung megah. Termasuk lima perkara yang tidak dapat diketahui kecuali
oleh Allah, selanjutnya Nabi SAW. membaca ayat: “Sesungguhnya Allah hanya pada
sisi-Nya sajalah yang mengetahui hari kiamat”.
Kemudian orang itu pergi. Lalu Nabi SAW. bersabda kepada para
sahabat: “antarkanlah orang itu. Akan tetapi para sahabat tidak melihat
sedikitpun bekas orang itu. Lalu Nabi SAW.bersabda: “Itu adalah Malaikat Jibril
a.s. yang datang untuk mengajarkan agama kepada manusia.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Turmudzi, Ibnu Majah dan Ahmad
bin Hambal).[1]
1.
Iman
Kata iman
berasal dari bahasa arab, yang merupakan masdar dari madli Amana, Yu’minu,
Imanan, yang artinya percaya. . Sedangkan secara istilah syar’i, iman adalah "Keyakinan
dalam hati, Perkataan di lisan, amalan dengan anggota badan, bertambah dengan
melakukan ketaatan dan berkurang dengan maksiat".
Sedangkan
menurut hadis diatas, iman adalah percaya (adanya) Allah SWT. para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan
pertemuannya dengan Allah, para Rasul-Nya serta percaya pada hari berbangkit
dari kubur.
Dalam hadis
lain Rasulullah SAW juga bersabda:
قَالَ رَسُولُوللهِ صَلَّي
الله عَلَيْهِ وَسَلَمْ : الإِيْمَانُ تَصْدِيْقٌ
بِاْلقَلْبِ وَإِقْرَارٌ بِالِّلسَانِ وَعَمَلٌ بِاْلأَرْكاَنِ
Artinya: “Rasulullah SAW.
bersabda: “Iman itu membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan
dengan anggota badan” (HR. Bukhori)
Pada hadis tersebut dijelaskan bahwa Iman adalah membenarkan dengan
hati, mengucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan.
Jadi bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Iman adalah
Membenarkan segala sesuatu baik berupa perkataan,hati, maupun perbuatan. Dan
dalam hadis sudah dijelaskan bahwasanya ada enam rukun iman yang harus diyakini
untk menjadi seorang Islam yang sempurna dan menjadi seorang hamba Allah yang
ihsan nantinya.
Keenam Rukun Iman tersebut adalah:
a.
Beriman
kepada Allah SWT
Yakni beriman kepada Rububiyyah Allah SWT, Uluhiyyah Allah
SWT,dan beriman kepada Asma wa shifat Allah SWT yang sempurna serta
agung sesuai yang ada dalam Al-quran dan Sunnah Rasul-Nya.[2]
b.
Beriman
kepada Malaikat
Malaikat adalah hamba Allah yang mulia, mereka diciptakan oleh
Allah untuk beribadah kepada-Nya, serta tunduk dan patuh menta’ati-Nya, Allah
telah membebankan kepada mereka berbagai tugas.Jadi kita dituntut untuk beriman
dan mempercayai adanya Malaikat Allah SWT.[3]
c.
Beriman
kepada Kitab-kitab
Allah yang Maha Agung dan Mulia telah menurunkan kepada para
Rasul-Nya kitab-kitab, mengandung petunjuk dan kebaikan. Diantaranya: kitab
taurat diturunkan kepada Nabi Musa, Injil diturunkan kepada Nabi Isa, Zabur
diturunkan kepada Nabi Daud, Shuhuf Nabi Ibrahim dan Nabi Musa, Al-quran
diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.[4]
d.
Beriman
kepada para Rasul
Allah telah mengutus kepada maakhluk-Nya para rasul, rasul pertama
adalah Nuh dan yang terakhir adalah Muhammad SAW, dan semua itu adalah manusia
biasa, tidak memiliki sedikitpun sifat ketuhanan, mereka adalah hamba-hamba
Allah yang dimuliakan dengan kerasulan. Dan Allah telah mengakhiri semua
syari’at dengan syari’at yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW,yang diutus
untuk seluruh manusia , maka tidak ada nabi sesudahnya.[5]
e.
Beriman
kepada Hari Akhirat
Yaitu hari kiamat, tidak ada hari lagi setelahnya, ketika Allah
membangkitkan manusia dalam keadaan hidup untuk kekal ditempat yang penuh
kenikmatan atau ditempat siksaan yang amat pedih. Beriman kepada hari akhir
meliputi beriman kepada semua yang akan terjadi setelah itu, seperti
kebangkitan dan hisab, kemudian surga atau neraka.[6]
f.
Beriman
kepada (Taqdir) Ketentuan Allah
Beriman kepada taqdir artinya beriman bahwasanya Allah telah
mentaqdirkan semua yang ada dan menciptakan seluruh mahluk sesuai dengan
ilmu-Nya yang terdahalu, dan menurut kebijaksanaan-Nya, Maka segala sesuatu
telah diketahui oleh Allah, serta telah pula tertulis disisi-Nya, dan Dialah
yang telah menghendaki dan menciptakannya.[7]
2.
Islam
Kata Islam
berasal dari bahasa Arab yaitu bentuk masdar dari kata kerja “Aslama-Yuslimu-Islaman”,
yang secara etimologi mengandung makna “sejahtera, tidak cacat, selamat”. Sedangkan
secara istilah Islam adalah agama yang
diturunkan oleh Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW. untuk mengatur hubungan
manusia dengan Allah, dengan dirinya dan dengan sesamanya, serta sebagai jalan
untuk menuju keselamatan dunia dan ahirat.
Dalam
hadis pokok diatas dijelaskan bahwa Islam adalah beribadah
kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat
yang wajib dan berpuasa pada bulan Ramadhan.
Dalam hadis
lain juga dijelaskan:
قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وِسَلَّمَ يَقُوْلُ بُنِيَ اْلاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةُ اَنْ
لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهَ وَاَنَّ مُحَمَّدً الرَّسُوْلُ اللهِ وَاِقَامُ
الصَّلاَةِ وَاِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ.
Artinya:
“Rasulullah SAW. Bersabda: Islam dibangun atas lima perkara: persaksian
sesungguhnya tidak ada tuhan selain Allah dan sesungguhnya nabi Muhammad adalah
utusannya, mendirikan sholat, memberikan zakat, hajji dan puasa ramadlan”. (HR.
Bukhori-Muslim)[8]
Dalam hadis
tersebut dijelaskan bahwa Islam dibangun atas lima perkara yang menjadi dasar
tegaknya Islam. Dan kelima perkara itu adalah rukun Islam diantaranya:
1.
Syahadat
2.
Shalat
3.
Zakat
4.
Puasa
5.
Haji
3.
Ihsan
Ihsan secara bahasa adalah "kesempurnaan"
atau "terbaik", sedangkan secara istilah adalah seseorang yang
menyembah Allah seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak mampu
membayangkan melihat-Nya, maka orang tersebut membayangkan bahwa sesungguhnya
Allah melihat perbuatannya.
Dalam
hadis dijelaskan:
........ مَا
الإِحْسَانُ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ
تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ...........
Artinya:
“…..Apa itu Ihsan?”, Nabi SAW bersabda, “Engkau beribadah kepada Allah
seakan-akan engkau melihat-Nya dan jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya
Ia melihatmu,,,,,,(HR. Bukhori-Muslim).[9]
Ihsan mempunyai
dua tingkatan, yaitu:
1. Beribadah Kepada
Allah Seakan-Akan Melihat-Nya
Ini adalah ibadah dari seseorang yang mengharapkan
rahmat dan ampunan-Nya. Nama lain dari perbuatan ini disebut Maqam al-Musyahadah. Dan keadaan ini merupakan tingkatan
ihsan yang paling tinggi, karena dia berangkat dari sikap membutuhkan, harapan
dan kerinduan. Dia menuju dan berupaya mendekatkan diri kepada-Nya. Sikap
seperti ini membuat hatinya terang-benderang dengan cahaya iman dan
merefleksikan pengetahuan hati menjadi ilmu pengetahuan, sehingga yang abstrak
menjadi nyata.[10]
2. Jika Kamu Tidak
Mampu Beribadah Seakan-Akan Kamu Melihat-Nya, Maka Sesungguhnya Dia Melihatmu,
Ini ibadah dari seseorang yang lari dari adzab dan siksanya.
Dan hal ini lebih rendah tingkatannya daripada tingkatan yang pertama, karena
sikap ihsannya didorong dari rasa diawasi, takut akan hukuman. Sehingga, dari
sini, ulama salaf berpendapat bahwa, "Barangsiaa yang beramal atas dasar melihat
Allah SWT. maka dia seorang yang arif,
sedang siapapun yang bermal karena merasa diawasi Allah SWT, maka dia seorang
yang ikhlas (mukhlis).[11]
B.
Hubungan Iman, Islam, dan Ihsan
Iman, Islam dan Ihsan satu
sama lainya memiliki hubungan karena merupakan unsur-unsur agama (Ad-Din).
Iman, Islam dan Ihsan adalah
satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Iman adalah
keyakinan yang menjadi dasar akidah. Keyakinan tersebut kemudian diwujudkan
melalui pelaksanaan kelima rukun Islam. Sedangkan pelaksanaan rukun Islam
dilakukan dengan cara Ihsan, sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah.
Selain itu Iman, Islam, dan
Ihsan sering juga diibaratkan hubungan diantara ketiganya adalah seperti
segitiga sama sisi yang sisi satu dan sisi lainya berkaitan erat. Segitiga
tersebut tidak akan terbentuk kalau ketiga sisinya tidak saling mengait. Jadi
manusia yang bertaqwa harus bisa meraih dan menyeimbangkan antara iman, Islam
dan ihsan.
Pada hadis yang telah disebutkan di
atas dijelaskan bahwa ada 4 (empat) masalah pokok yang saling berkaitan satu
sama lain, yaitu iman, Islam, ihsan, dan hari kiamat. Pernyataan Nabi SAW. di
penghujung hadis di atas bahwa “itu adalah Malaikat Jibril datang mengajarkan
agama kepada manusia” mengisyaratkan bahwa keempat masalah yang disampaikan
oleh malaikat Jibril dalam hadis di atas terangkum dalam istilah ad-din (baca:
agama Islam). Hal ini menunjukkan bahwa keberagamaan seseorang baru dikatakan
benar jika dibangun di atas pondasi Islam dengan segala kriterianya,
disemangati oleh iman, segala aktifitas dijalankan atas dasar ihsan, dan
orientasi akhir segala aktifitas adalah ukhrawi.[12]
Atas dasar tersebut di atas, maka
seseorang yang hanya menganut Islam sebagai agama belumlah cukup tanpa
dibarengi dengan iman. Sebaliknya, iman tidaklah berarti apa-apa jika tidak didasari
dengan Islam. Selanjutnya, kebermaknaan Islam dan iman akan mencapai
kesempurnaan jika dibarengi dengan ihsan, sebab ihsan mengandung konsep
keikhlasan tanpa pamrih dalam ibadah. Keterkaitan antara ketiga konsep di atas
(Islam, iman, dan ihsan) dengan hari kiamat karena karena hari kiamat merupakan
terminal tujuan dari segala perjalanan manusia tempat menerima ganjaran dari
segala aktifitas manusia yang kepastaian kedatangannya menjadi rahasia Allah SWT.[13]
Ketiga hal di atas merupakan suatu
cerminan dari tingkatan kemuliaan kaum muslim. Bahwa tidaklah seorang manusia
mencapai tingkatan Iman sebelum melalui tingkatan Islam sebagai bentuk aksi
dari dasar beragama. Begitu juga selanjutnya, Ihsan sebagai perwujudan dari
keImanan dan keIslaman yang akan memberi penilaian atas kadar Islam dan Iman
seseorang.
C.
Berkurangnya Iman Karena Maksiat
Iman bagi seseorang hamba mempunyai kedudukan yang luhur dan
tinggi. Dia adalah kewajiban yang paling wajib dan kepentingn yang paling
penting. Setiap kebaikan dunia dan akhirat tergantung dalam kebaikan dan
keselamatan iman.
Iman
bisa bertambah karena ketaatan dan iman bisa berkurang karena maksiat, dalam
suatu riwayat dijelaskan:
قال
أبو عمر ابن عبد البر في [التمهيد]: أجمع أهل الفقه والحديث على أن الإيمان
قول وعمل، ولا عمل إلا بنية، والإيمان عندهم يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية،
والطاعات كلها عندهم إيمان
Artinya: “Telah
berkata Abu ‘Umar Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid : ‘Para ahli fiqh
dan ahli hadis telah bersepakat bahwa iman adalah perkataan dan
perbuatan. Tidak amal kecuali dengan niat. Iman di sisi mereka dapat bertambah
dengan ketaatan, dan berkurang dengan kemaksiatan. Seluruh amal ketaatan
di sisi mereka termasuk iman”.[14]
Dalam suatu hadis juga dijelaskan:
حَدَّثَنَا
آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ ذَكْوَانَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَزْنِي الزَّانِي
حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ
وَلَا يَشْرَبُ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَالتَّوْبَةُ مَعْرُوضَةٌ
بَعْدُ
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu'bah
dari Al A'masy dari Dzakwan dari Abu Hurairah mengatakan, Nabi
Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: Tidaklah berzina orang yang berzina ketika
ia berzina dalam keadaan beriman, dan tidaklah mencuri orang yang mencuri
ketika ia mencuri dalam keadaan beriman, tidaklah ia meminum khamr ketika
meminumnya dan ia dalam keadaan beriman, dan taubat terhampar setelah
itu." (HR. Bukhari)[15]
Bertambah ataupun
berkurangnya keimanan dipengaruhi banyak faktor. Salah satunya adalah
lingkungan keimanan itu sendiri. Sudahkah keluarga, institusi pendidikan, dan
masyarakat sekitar kita bisa menjadi tempat yang menyemaikan keimanan seluruh
keluarga kita? Iman adalah nikmat Allah SWT. yang wajib disyukuri dan
dijaga. Iman seseorang bisa bertambah dan berkurang. Hal ini berdasarkan banyak
dalil dari Al-Qur’an dan As-sunnah.
Ada beberapa
sebab-sebab bertambah dan turunnya sebuah iman.
Sebab
Bertambahnya Iman:
1.
Mengenal
Allah SWT dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Karena, semakin seorang
mengenal Allah SWT, nama-nama, serta sifat-sifat-Nya akan semakin bertambah
keimanannya.
2.
Melihat
ayat-ayat Allah SWT yang kauniyah maupun syar’iyah.
3.
Banyak
berbuat taat dan kebaikan. Karena amalan termasuk dalam iman, sehingga banyak
melakukan amal baik akan memperbanyak/ meningkatkan keimanan.
4.
Meninggalkan
maksiat (perbuatan buruk) dengan niat taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT.[16]
Sebab Melemahnya Iman:
1.
Berpaling
dari mengenal Allah SWT, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya.
2.
Berpaling
dari melihat ayat-ayat Allah kauniyah dan syar’iyah, karena hal itu akan
menyebabkan kelalaian dan kerasnya hati.
3.
Kurang
beramal shalih.
4.
Berbuat
maksiat. Semakin banyak maksiat dilakukannya, akan semakin mengurangi keimanannya.[17]
Jadi apabila
orang mukmin melakukan perbuatan maksiat maka imannya akan sedikit berkurang
karena seorang mukmin tidak akan melakukan maksiat dalam keadaan mukmin. Untuk
itu kita harus bisa menghindari dari perbuatan maksiat karena maksiat itu
termasuk perbuatan setan yang itu bisa menyesatkan orang-orang yang beriman.
D.
Rasa Malu Sebagian Dari Iman
Rasulullah SAW.
bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم : الامان بضع وستون اوسبعون بابا ادناها اماطة الادي عن الطريق وارفعهاقول(لاله
الاالله) والحياءمن الاامان
Artinya: “Rasulullah
SAW. bersabda, “Iman itu terdiri dari enam puluh lebih atau tuju puluhcabang.
Yang paling rendah adalah menyingkirkan bahaya dari jalan, dan yang paling
tinggi adalah kalimat (tiada Tuhan selain Allah). Dan malu adalah cabang dari
Iman”. (HR.Ibnu Majah).[18]
Dalam hadis
lain juga dijelaskan:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ ابْنِ
شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ وَهُوَ
يَعِظُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ
Artinya: ” Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf
berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik bin Anas dari Ibnu Syihab dari
Salim bin Abdullah dari bapaknya, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
berjalan melewati seorang sahabat Anshar yang saat itu sedang memberi
pengarahan saudaranya tentang malu. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Tinggalkanlah dia, karena sesungguhnya malu adalah
bagian dari iman". (HR. Bukhori)[19]
Malu
adalah akhlak yang menghiasi perilaku manusia dengan cahaya dan keanggunan yang
ada padanya. Inilah akhlak yang terpuji yang ada pada diri seseorang lelaki dan
fitrah yang mengkarakter pada diri setiap wanita. Sehingga, sangat tidak masuk
akal jika ada wanita yang tidak ada rasa malu sedikitpun dalam dirinya. Rasa
manis seorang wanita salah satunya adalah buah dari adanya sifat malu dalam
dirinya.
Ada
pula yang berpendapat bahwa malu tersebut adalah menahan diri, karena takut
melakukan sesuatu yang dibenci oleh syariat, akal maupun adat kebiasaan. Orang
yang melakukan sesuatu yang dibenci oleh syariat, maka ia termasuk orang yang
fasik. Jika ia melakukan hal yang dibenci oleh akal, maka ia termasuk dalam
kategori orang gila. Sedangkan jika ia melakukan hal yang dibenci oleh adat,
maka dia termasuk orang bodoh.
rasa
malu dalam diri manusia bisa dibagi dari pertumbuhannya kepada dua, pertama,
rasa malu yang ada secara fitrah. Rasa ini timbul secara otomatis dalam diri
manusia. Malu untuk melakukan keburukan sebenarnya adalah fitrah manusia.
Karena memang setiap anak manusia itu lahir dalam keadaan fitrah.
Kedua, rasa malu yang
ditimbulkan. Rasa malu ini bisa ditumbuh kembangkan dalam jiwa seseorang.
Karena rasa malu merupakan bagian dari akhlak, dan akhlak adalah sesuatu yang
bisa diupayakan dalam diri manusia.
Ada
satu langkah yang utama dan pertama untuk menumbuhkan rasa malu yang terpuji,
yaitu mengenal Allah SWT, untuk selanjutnya akan menumbuhkan rasa
pengawasan-Nya. Mengenal Allah SWT kita bisa membaca dan merenungi Al-Qur’an
untuk mengenal Allah SWT.
Sifat
malu termasuk kunci segala kebaikan, bila sifat malunya kuat, maka kebaikan
menjadi dominan dan keburukan menjadi melemah. Bila sifat malunya lemah, maka
kebaikan melemah dan perilaku buruk dominan, Karena malu adalah penghalang
antara seseorang dengan hal-hal yang dilarang.
Oleh
karena itu, kewajiban setiap Muslim adalah menjaga diri dan keimanannya agar
selamat dari ancaman azab dunia sebelum akhirat. Ada dua hal yang harus
dilakukan, sebagaimana yang dinyatakan Syaikh as-Sa’di rahimahullâh:
1.
Pertama,
merealisasikan keimanan dan menyempurnakan seluruh cabangnya dengan mempelajari
dan mengamalkannya.
2.
Kedua,
memelihara iman dari unsur-unsur yang merusak dan mengurangi kesempurnaannya,
dan segera mengobati kelemahan iman yang terjadi dengan taubat.[20]
BAB III
Kesimpulan
Iman menurut bahasa adalah
membenarkan. Adapun menurut istilah Syariát adalah meyakini dengan hati,
mengucapkan dengan lisan, dan membuktikannya dengan anggota badan. Iman adalah
keyakinan yang menghunjam dalam hati, kokoh penuh keyakinan tanpa dicampuri
keraguan sedikit pun. Sedangkan keimanan dalam Islam itu sendiri adalah percaya
kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya, hari akhir
dan beriman kepada takdir baik dan buruk. Iman mencakup perbuatan, ucapan hati
dan lisan, amal hati dan amal lisan serta amal anggota tubuh. Iman bertambah
dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.
Seseorang yang hanya menganut Islam
sebagai agama belumlah cukup tanpa dibarengi dengan iman. Sebaliknya, iman tidaklah
berarti apa-apa jika tidak didasari dengan Islam. Selanjutnya, kebermaknaan
Islam dan iman akan mencapai kesempurnaan jika dibarengi dengan ihsan, sebab
ihsan mengandung konsep keikhlasan tanpa pamrih dalam ibadah. Keterkaitan
antara ketiga konsep di atas (Islam, iman, dan ihsan) dengan hari kiamat karena
karena hari kiamat merupakan terminal tujuan dari segala perjalanan manusia
tempat menerima ganjaran dari segala aktifitas manusia yang kepastaian
kedatangannya menjadi rahasia Allah SWT.
Ada beberapa sebab-sebab bertambah
dan turunnya sebuah iman. Sebab Bertambahnya Iman: Mengenal Allah SWT dengan
nama-nama dan sifat-sifat-Nya; melihat ayat-ayat Allah SWT yang kauniyah maupun
syar’iyah; banyak berbuat taat dan kebaikan. Meninggalkan maksiat (perbuatan
buruk) dengan niat taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT.
Sebab melemahnya iman: berpaling dari mengenal Allah SWT, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya; berpaling dari melihat ayat-ayat Allah kauniyah dan syar’iyah; kurang beramal shalih; dan berbuat maksiat.
Sebab melemahnya iman: berpaling dari mengenal Allah SWT, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya; berpaling dari melihat ayat-ayat Allah kauniyah dan syar’iyah; kurang beramal shalih; dan berbuat maksiat.
Sifat malu termasuk kunci segala
kebaikan, bila sifat malunya kuat, maka kebaikan menjadi dominan dan keburukan
menjadi melemah. Bila sifat malunya lemah, maka kebaikan melemah dan perilaku
buruk dominan, Karena malu adalah penghalang antara seseorang dengan hal-hal
yang dilarang.
DAFTAR PUSTAKA
Alex,
Kurniawan, 2014, “Iman, Islam, Ihsan”, (online) (http://kurniawaalex.blogspot.co.id/2014/10/makalah-imanislamihsan.html), di akses pada tanggal 22 September 2015
Al-Jauzaa,
Abu, 2010, “Amal dan Iman”, (online), (http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2010/08/amal-dan-iman.html), di akses pada tanggal 22
September 2015
Anshar,
2013, “Iman, Islam, Ihsan dan Hari Kiamat”, (online), (http://anshar-mtk.blogspot.co.id/2013/05/keimanan-iman-islam-ihsan-dan-hari.html), di akses pada tanggal 22
September 2015
Baqi,
Muhammad Fuad Abdul. 2011. Kumpulan Hadis Sahih Bukhori Muslim. Solo:
Insan kamil
Shonhaji,
Abdullah dkk. Tarjamah Sunan Ibnu Majah. Semarang: CV. Asy-Syifa’

[1] M. Fu’ad Abdul
Baki, Kumpulan Hadis Sahih Bukhari Muslim, (Solo: Insan Kamil, 2011), hal: 8
[2] Kurniawan Alex,
http://kurniawaalex.blogspot.co.id/2014/10/makalah-imanislamihsan.html
[3] Ibid,
[4] Ibid,
[5] Ibid,
[6] Ibid,
[7] Ibid,
[8]
M. Fu’ad Abdul
Baki, Kumpulan Hadis Sahih Bukhari Muslim, (Solo: Insan Kamil, 2011), hal,
11-12
[9] Ibid, hal, 8
[10]
https://id.wikipedia.org/wiki/Ihsan
[11] Ibid,
[12]
http://anshar-mtk.blogspot.co.id/2013/05/keimanan-iman-islam-ihsan-dan-hari.html
[13] Ibid,
[14]
http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2010/08/amal-dan-iman.html
[15]
M. Fu’ad Abdul
Baki, Kumpulan Hadis Sahih Bukhari Muslim, (Solo: Insan Kamil, 2011), hal, 21
[16]
http://anshar-mtk.blogspot.co.id/2013/05/keimanan-iman-islam-ihsan-dan-hari.html
[17] Ibid,.
[18] Abdullah
Shonhaji, dkk. Tarjamah Sunan Ibnu Majah, (Semarang: cv Asy-Syifa’) hal, 45
[19]
M. Fu’ad Abdul
Baki, Kumpulan Hadis Sahih Bukhari Muslim, (Solo: Insan Kamil, 2011), hal, 18
[20]
http://anshar-mtk.blogspot.co.id/2013/05/keimanan-iman-islam-ihsan-dan-hari.html
No comments:
Post a Comment