Thursday, 3 December 2015

HADIS TENTANG IMAN
(Hubungan Iman, Islam Dan Ihsan; Berkurangnya Iman Karena Maksiat Dan
Rasa Malu Sebagian Dari Iman)

Dosen pengampu
Ali Mashar S.Pd.I, M.Hum




Disusun oleh:
Akhmad Syefudin                              143111123
Irwanto                                               143111305
Ruslan Abdul Jamil                             143111050
Tsania Elza S   .                                   143111040

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2015


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat, hidayah, dan inayah-Nya yang tiada terkira, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “HADIS TENTANG IMAN “.
            Tak lupa kami juga mengucapkan ribuan terimakasih kepada segenap keluarga yang telah banyak memberikan dukungan, kasih, kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun kepada langkah yang lebih baik lagi.
            Meskipun penulis berharap makalah ini terbebas dari kesalahan dan kekurangan namun, masih saja banyak kuranganya, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
            Akhir kata penulis berharap, mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Surakarta,  23 September 2015
Penyusun



DAFTAR ISI

Kata Pengantar                                                                                 i
Daftar Isi                                                                                            ii
BAB I                                                                                                 1
a.       Pendahuluan                                                                           1
b.      Rumusan Masalah                                                                   2
c.       Tujuan Masalah                                                                       2
BAB II                                                                                                3
a.       Iman, Islam, Ihsan                                                                  3
1.      Iman                                                                                  4
2.      Islam                                                                                 6
3.      Ihsan                                                                                 7
b.      Hubungan Antara Iman, Islam, Ihsan                                     8
c.       Berkurangnya Iman Karena Maksiat                                      10
d.      Malu Sebagian Dari Iman                                                       12
BAB III                                                                                              15
Kesimpulan                                                                                   15
Daftar Pustaka










BAB I
A.    Latar Belakang
Dalam agama Islam memiliki tiga tingkatan yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Tiap-tiap tingkatan mempunyai rukun-rukun yang membangunnya. Yang ketiganya ini saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya.
Jika Islam dan Iman disebut secara bersamaan, maka yang dimaksud Iman adalah amal-amal batin yang mempunyai  enam rukun. Sedangkan yang dimaksud dengan Islam adalah amalan-amalan yang tampak dan mempunyai lima rukun. Dan jika keduanya berdiri sendiri-sendiri maka masing-masing menyandang makna dan hukumnya tersendiri. Sedangkan Ihsan adalah berbuat baik, orang yang berbuat Ihsan disebut Dengan muhsin berarti orang yang berbuat baik. Setiap perbuatan yang baik yang Nampak pada sikap jiwa dan perilaku yang sesuai atau berlandaskan dengan syari’at Islam disebut dengan Ihsan.
Berbicara masalah iman tentunya kita tau bahwa iman adalah pernyataan dalam hati diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota badan. Jadi iman tersebut mencangkup tiga hal yaitu, diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan dan pengamalan dengan anggota badan.
Ketiga hal tersebut saling berkaitan antara. Dan tak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Iman adalah pondasi dari segalanya, tanpa adanya Iman, Islampun akan runtuh begitu juga dengan Ihsan.
Iman dalam diri manusia tidak selamanya akan tetap atau stagnan, akan tetapi Iman ini bisa naik dan bisa turun tergantung kadar ibadah seseorang. Iman bisa meningkat karena amal atau ketaatan, sedangkan Iman bisa turun karena maksiat.
Iman juga terdiri dari berbagai cabang yaitu enam puluh tiga lebih atau tujuh puluh. Dan salah satunya adalah “malu”.
Dalam makalah ini akan di bahas mengenai hadis-hadis tentang hubungan antara Iman, Islam dan Ihsan; berkurangnya Iman karena maksiat; dan malu sebagian dari Iman.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Yang Dimaksud Dengan Iman, Islam Dan Ihsan?
2.      Bagaimana Hubungan Antara Iman, Islam Dan Ihsan?
3.      Bagaiman Hadis Tentang Iman Bisa Berkurang Karena Maksiat?
4.      Bagaimana Hadis Tentang Rasa Malu Sebagian Dari Iman?

C.     Tujuan  Masalah
1.      Memahami Apa Yang Dimaksud Dengan Iman, Islam Dan Ihsan
2.      Memahami Hubungan Antara Iman, Islam Dan Ihsan
3.      Mengetahui Hadis Tentang Iman Bisa Berkurang Karena Maksiat
4.      Mengetahui Hadis Tentang Rasa Malu Sebagian Dari Iman





BAB II
A.    Iman, Islam dan Ihsan
Dalam sebuah hadis diriwayatkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ: مَا الإِيمَانُ قَالَ الإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ، قَالَ: مَا الإِسْلاَمُ قَالَ: الإِسْلاَمُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ وَلاَ تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ، قَالَ: مَا الإِحْسَانُ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ، قَالَ: مَتَى السَّاعَةُ، قَالَ: مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنْ السَّائِلِ وَسَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا: إِذَا وَلَدَتْ الأَمَةُ رَبَّهَا وَإِذَا تَطَاوَلَ رُعَاةُ الإِبِلِ الْبُهْمُ فِي الْبُنْيَانِ، فِي خَمْسٍ لاَ يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ اللَّهُ ثُمَّ تَلاَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ الآيَةَ ثُمَّ أَدْبَرَ فَقَالَ رُدُّوهُ فَلَمْ يَرَوْا شَيْئًا فَقَالَ هَذَا جِبْرِيلُ جَاءَ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a, Ia menuturkan bahwa nabi SAW. keluar pada suatu hari untuk pergi bersama dengan orang-orang, maka datanglah seorang laki-laki. Ia bertanya, “Apakah Iman itu?” nabi SAW. bersabda, “Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, hari pertemuan dengan-Nya, rasul-rasul-Nya, dan engkau beriman akan aadanya Hari Kebangkitan”.
Laki-laki itu bertanya “ Apakah itu Islam?”, Nabi SAW. bersabda, “Islam adalah engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang wajib dan berpuasa pada bulan Ramadhan.” Ia bertanya “Apakah itu Ihsan?”, Nabi SAW bersabda, “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya dan jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu.”
Lalu laki-laki itu bertanya lagi: “apakah hari kiamat itu? “Nabi SAW. menjawab: “orang yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang bertanya, tetapi saya memberitahukan kepadamu beberapa syarat (tanda-tanda) akan tibanya hari kiamat, yaitu jika budak sahaya telah melahirkan majikannya, dan jika penggembala onta dan ternak lainnya telah berlomba-lomba membangun gedung-gedung megah. Termasuk lima perkara yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah, selanjutnya Nabi SAW. membaca ayat: “Sesungguhnya Allah hanya pada sisi-Nya sajalah yang mengetahui hari kiamat”.
Kemudian orang itu pergi. Lalu Nabi SAW. bersabda kepada para sahabat: “antarkanlah orang itu. Akan tetapi para sahabat tidak melihat sedikitpun bekas orang itu. Lalu Nabi SAW.bersabda: “Itu adalah Malaikat Jibril a.s. yang datang untuk mengajarkan agama kepada manusia.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Turmudzi, Ibnu Majah dan Ahmad bin Hambal).[1]


1.      Iman
Kata iman berasal dari bahasa arab, yang merupakan masdar dari madli Amana, Yu’minu, Imanan, yang artinya percaya. . Sedangkan secara istilah syar’i, iman adalah "Keyakinan dalam hati, Perkataan di lisan, amalan dengan anggota badan, bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan maksiat".
Sedangkan menurut hadis diatas, iman adalah percaya (adanya) Allah  SWT. para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan pertemuannya dengan Allah, para Rasul-Nya serta percaya pada hari berbangkit dari kubur.

Dalam hadis lain Rasulullah SAW juga bersabda:
قَالَ رَسُولُوللهِ صَلَّي الله عَلَيْهِ وَسَلَمْ : الإِيْمَانُ تَصْدِيْقٌ بِاْلقَلْبِ وَإِقْرَارٌ بِالِّلسَانِ وَعَمَلٌ بِاْلأَرْكاَنِ
Artinya: “Rasulullah SAW. bersabda: “Iman itu membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan” (HR. Bukhori)
Pada hadis tersebut dijelaskan bahwa Iman adalah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan.
Jadi bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Iman adalah Membenarkan segala sesuatu baik berupa perkataan,hati, maupun perbuatan. Dan dalam hadis sudah dijelaskan bahwasanya ada enam rukun iman yang harus diyakini untk menjadi seorang Islam yang sempurna dan menjadi seorang hamba Allah yang ihsan nantinya.
Keenam Rukun Iman tersebut adalah:
a.       Beriman kepada Allah SWT
Yakni beriman kepada Rububiyyah Allah SWT, Uluhiyyah Allah SWT,dan beriman kepada Asma wa shifat Allah SWT yang sempurna serta agung sesuai yang ada dalam Al-quran dan Sunnah Rasul-Nya.[2]
b.      Beriman kepada Malaikat
Malaikat adalah hamba Allah yang mulia, mereka diciptakan oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya, serta tunduk dan patuh menta’ati-Nya, Allah telah membebankan kepada mereka berbagai tugas.Jadi kita dituntut untuk beriman dan mempercayai adanya Malaikat Allah SWT.[3]
c.       Beriman kepada Kitab-kitab
Allah yang Maha Agung dan Mulia telah menurunkan kepada para Rasul-Nya kitab-kitab, mengandung petunjuk dan kebaikan. Diantaranya: kitab taurat diturunkan kepada Nabi Musa, Injil diturunkan kepada Nabi Isa, Zabur diturunkan kepada Nabi Daud, Shuhuf Nabi Ibrahim dan Nabi Musa, Al-quran diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.[4]
d.      Beriman kepada para Rasul
Allah telah mengutus kepada maakhluk-Nya para rasul, rasul pertama adalah Nuh dan yang terakhir adalah Muhammad SAW, dan semua itu adalah manusia biasa, tidak memiliki sedikitpun sifat ketuhanan, mereka adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan dengan kerasulan. Dan Allah telah mengakhiri semua syari’at dengan syari’at yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW,yang diutus untuk seluruh manusia , maka tidak ada nabi sesudahnya.[5]


e.       Beriman kepada Hari Akhirat
Yaitu hari kiamat, tidak ada hari lagi setelahnya, ketika Allah membangkitkan manusia dalam keadaan hidup untuk kekal ditempat yang penuh kenikmatan atau ditempat siksaan yang amat pedih. Beriman kepada hari akhir meliputi beriman kepada semua yang akan terjadi setelah itu, seperti kebangkitan dan hisab, kemudian surga atau neraka.[6]
f.       Beriman kepada (Taqdir) Ketentuan Allah
Beriman kepada taqdir artinya beriman bahwasanya Allah telah mentaqdirkan semua yang ada dan menciptakan seluruh mahluk sesuai dengan ilmu-Nya yang terdahalu, dan menurut kebijaksanaan-Nya, Maka segala sesuatu telah diketahui oleh Allah, serta telah pula tertulis disisi-Nya, dan Dialah yang telah menghendaki dan menciptakannya.[7]

2.      Islam
Kata Islam berasal dari bahasa Arab yaitu bentuk masdar dari kata kerja “Aslama-Yuslimu-Islaman”, yang secara etimologi mengandung makna “sejahtera, tidak cacat, selamat”. Sedangkan secara istilah Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW. untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya dan dengan sesamanya, serta sebagai jalan untuk menuju keselamatan dunia dan ahirat.
Dalam hadis pokok diatas dijelaskan bahwa Islam adalah beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang wajib dan berpuasa pada bulan Ramadhan.

Dalam hadis lain juga dijelaskan:
قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وِسَلَّمَ يَقُوْلُ بُنِيَ اْلاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهَ وَاَنَّ مُحَمَّدً الرَّسُوْلُ اللهِ وَاِقَامُ الصَّلاَةِ وَاِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ.
Artinya: “Rasulullah SAW. Bersabda: Islam dibangun atas lima perkara: persaksian sesungguhnya tidak ada tuhan selain Allah dan sesungguhnya nabi Muhammad adalah utusannya, mendirikan sholat, memberikan zakat, hajji dan puasa ramadlan”. (HR. Bukhori-Muslim)[8]

Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa Islam dibangun atas lima perkara yang menjadi dasar tegaknya Islam. Dan kelima perkara itu adalah rukun Islam diantaranya:
1.      Syahadat
2.      Shalat
3.      Zakat
4.      Puasa
5.      Haji

3.      Ihsan
Ihsan secara bahasa adalah  "kesempurnaan" atau "terbaik", sedangkan secara istilah adalah seseorang yang menyembah Allah seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak mampu membayangkan melihat-Nya, maka orang tersebut membayangkan bahwa sesungguhnya Allah melihat perbuatannya.
Dalam hadis dijelaskan:

........ مَا الإِحْسَانُ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ...........
Artinya: “…..Apa itu Ihsan?”, Nabi SAW bersabda, “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya dan jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu,,,,,,(HR. Bukhori-Muslim).[9]
Ihsan mempunyai dua tingkatan, yaitu:
1.    Beribadah Kepada Allah Seakan-Akan Melihat-Nya
Ini adalah ibadah dari seseorang yang mengharapkan rahmat dan ampunan-Nya. Nama lain dari perbuatan ini disebut Maqam al-MusyahadahDan keadaan ini merupakan tingkatan ihsan yang paling tinggi, karena dia berangkat dari sikap membutuhkan, harapan dan kerinduan. Dia menuju dan berupaya mendekatkan diri kepada-Nya. Sikap seperti ini membuat hatinya terang-benderang dengan cahaya iman dan merefleksikan pengetahuan hati menjadi ilmu pengetahuan, sehingga yang abstrak menjadi nyata.[10]
2.    Jika Kamu Tidak Mampu Beribadah Seakan-Akan Kamu Melihat-Nya, Maka Sesungguhnya Dia Melihatmu,
Ini ibadah dari seseorang yang lari dari adzab dan siksanya. Dan hal ini lebih rendah tingkatannya daripada tingkatan yang pertama, karena sikap ihsannya didorong dari rasa diawasi, takut akan hukuman. Sehingga, dari sini, ulama salaf berpendapat bahwa, "Barangsiaa yang beramal atas dasar melihat Allah SWT. maka dia seorang yang arif, sedang siapapun yang bermal karena merasa diawasi Allah SWT, maka dia seorang yang ikhlas (mukhlis).[11]

B.     Hubungan Iman, Islam, dan Ihsan
Iman, Islam dan Ihsan satu sama lainya memiliki hubungan karena merupakan unsur-unsur agama (Ad-Din).
Iman, Islam dan Ihsan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Iman adalah keyakinan yang menjadi dasar akidah. Keyakinan tersebut kemudian diwujudkan melalui pelaksanaan kelima rukun Islam. Sedangkan pelaksanaan rukun Islam dilakukan dengan cara Ihsan, sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah.
Selain itu Iman, Islam, dan Ihsan sering juga diibaratkan hubungan diantara ketiganya adalah seperti segitiga sama sisi yang sisi satu dan sisi lainya berkaitan erat. Segitiga tersebut tidak akan terbentuk kalau ketiga sisinya tidak saling mengait. Jadi manusia yang bertaqwa harus bisa meraih dan menyeimbangkan antara iman, Islam dan ihsan.
Pada hadis yang telah disebutkan di atas dijelaskan bahwa ada 4 (empat) masalah pokok yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu iman, Islam, ihsan, dan hari kiamat. Pernyataan Nabi SAW. di penghujung hadis di atas bahwa “itu adalah Malaikat Jibril datang mengajarkan agama kepada manusia” mengisyaratkan bahwa keempat masalah yang disampaikan oleh malaikat Jibril dalam hadis di atas terangkum dalam istilah ad-din (baca: agama Islam). Hal ini menunjukkan bahwa keberagamaan seseorang baru dikatakan benar jika dibangun di atas pondasi Islam dengan segala kriterianya, disemangati oleh iman, segala aktifitas dijalankan atas dasar ihsan, dan orientasi akhir segala aktifitas adalah ukhrawi.[12]
Atas dasar tersebut di atas, maka seseorang yang hanya menganut Islam sebagai agama belumlah cukup tanpa dibarengi dengan iman. Sebaliknya, iman tidaklah berarti apa-apa jika tidak didasari dengan Islam. Selanjutnya, kebermaknaan Islam dan iman akan mencapai kesempurnaan jika dibarengi dengan ihsan, sebab ihsan mengandung konsep keikhlasan tanpa pamrih dalam ibadah. Keterkaitan antara ketiga konsep di atas (Islam, iman, dan ihsan) dengan hari kiamat karena karena hari kiamat merupakan terminal tujuan dari segala perjalanan manusia tempat menerima ganjaran dari segala aktifitas manusia yang kepastaian kedatangannya menjadi rahasia Allah SWT.[13]
Ketiga hal di atas merupakan suatu cerminan dari tingkatan kemuliaan kaum muslim. Bahwa tidaklah seorang manusia mencapai tingkatan Iman sebelum melalui tingkatan Islam sebagai bentuk aksi dari dasar beragama. Begitu juga selanjutnya, Ihsan sebagai perwujudan dari keImanan dan keIslaman yang akan memberi penilaian atas kadar Islam dan Iman seseorang.

C.    Berkurangnya Iman Karena Maksiat
Iman bagi seseorang hamba mempunyai kedudukan yang luhur dan tinggi. Dia adalah kewajiban yang paling wajib dan kepentingn yang paling penting. Setiap kebaikan dunia dan akhirat tergantung dalam kebaikan dan keselamatan iman.
Iman bisa bertambah karena ketaatan dan iman bisa berkurang karena maksiat, dalam suatu riwayat dijelaskan:

قال أبو عمر ابن عبد البر في ‏[‏التمهيد‏]‏‏:‏ أجمع أهل الفقه والحديث على أن الإيمان قول وعمل، ولا عمل إلا بنية، والإيمان عندهم يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية، والطاعات كلها عندهم إيمان
Artinya: “Telah berkata Abu ‘Umar Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid : ‘Para ahli fiqh dan ahli hadis telah bersepakat bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan. Tidak amal kecuali dengan niat. Iman di sisi mereka dapat bertambah dengan ketaatan, dan berkurang dengan kemaksiatan. Seluruh amal ketaatan  di sisi mereka termasuk iman”.[14]
Dalam suatu hadis juga dijelaskan:
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ ذَكْوَانَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَالتَّوْبَةُ مَعْرُوضَةٌ بَعْدُ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Al A'masy dari Dzakwan dari Abu Hurairah mengatakan, Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: Tidaklah berzina orang yang berzina ketika ia berzina dalam keadaan beriman, dan tidaklah mencuri orang yang mencuri ketika ia mencuri dalam keadaan beriman, tidaklah ia meminum khamr ketika meminumnya dan ia dalam keadaan beriman, dan taubat terhampar setelah itu." (HR. Bukhari)[15]
Bertambah ataupun berkurangnya keimanan dipengaruhi banyak faktor. Salah satunya adalah lingkungan keimanan itu sendiri. Sudahkah keluarga, institusi pendidikan, dan masyarakat sekitar kita bisa menjadi tempat yang menyemaikan keimanan seluruh keluarga kita?  Iman adalah nikmat Allah SWT. yang wajib disyukuri dan dijaga. Iman seseorang bisa bertambah dan berkurang. Hal ini berdasarkan banyak dalil dari Al-Qur’an dan As-sunnah.
Ada beberapa sebab-sebab bertambah dan turunnya sebuah iman.
Sebab Bertambahnya Iman:
1.      Mengenal Allah SWT dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Karena, semakin seorang mengenal Allah SWT, nama-nama, serta sifat-sifat-Nya akan semakin bertambah keimanannya.
2.      Melihat ayat-ayat Allah SWT yang kauniyah maupun syar’iyah.
3.      Banyak berbuat taat dan kebaikan. Karena amalan termasuk dalam iman, sehingga banyak melakukan amal baik akan memperbanyak/ meningkatkan keimanan.
4.      Meninggalkan maksiat (perbuatan buruk) dengan niat taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT.[16]
Sebab Melemahnya Iman:
1.      Berpaling dari mengenal Allah SWT, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya.
2.      Berpaling dari melihat ayat-ayat Allah kauniyah dan syar’iyah, karena hal itu akan menyebabkan kelalaian dan kerasnya hati.
3.      Kurang beramal shalih.
4.      Berbuat maksiat. Semakin banyak maksiat dilakukannya, akan semakin mengurangi keimanannya.[17]
Jadi apabila orang mukmin melakukan perbuatan maksiat maka imannya akan sedikit berkurang karena seorang mukmin tidak akan melakukan maksiat dalam keadaan mukmin. Untuk itu kita harus bisa menghindari dari perbuatan maksiat karena maksiat itu termasuk perbuatan setan yang itu bisa menyesatkan orang-orang yang beriman.

D.    Rasa Malu Sebagian Dari Iman
Rasulullah SAW. bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : الامان بضع وستون اوسبعون بابا ادناها اماطة الادي عن الطريق وارفعهاقول(لاله الاالله) والحياءمن الاامان
Artinya: “Rasulullah SAW. bersabda, “Iman itu terdiri dari enam puluh lebih atau tuju puluhcabang. Yang paling rendah adalah menyingkirkan bahaya dari jalan, dan yang paling tinggi adalah kalimat (tiada Tuhan selain Allah). Dan malu adalah cabang dari Iman”. (HR.Ibnu Majah).[18]

Dalam hadis lain juga dijelaskan:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ
Artinya: ” Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik bin Anas dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdullah dari bapaknya, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berjalan melewati seorang sahabat Anshar yang saat itu sedang memberi pengarahan saudaranya tentang malu. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tinggalkanlah dia, karena sesungguhnya malu adalah bagian dari iman". (HR. Bukhori)[19]

Malu adalah akhlak yang menghiasi perilaku manusia dengan cahaya dan keanggunan yang ada padanya. Inilah akhlak yang terpuji yang ada pada diri seseorang lelaki dan fitrah yang mengkarakter pada diri setiap wanita. Sehingga, sangat tidak masuk akal jika ada wanita yang tidak ada rasa malu sedikitpun dalam dirinya. Rasa manis seorang wanita salah satunya adalah buah dari adanya sifat malu dalam dirinya.
Ada pula yang berpendapat bahwa malu tersebut adalah menahan diri, karena takut melakukan sesuatu yang dibenci oleh syariat, akal maupun adat kebiasaan. Orang yang melakukan sesuatu yang dibenci oleh syariat, maka ia termasuk orang yang fasik. Jika ia melakukan hal yang dibenci oleh akal, maka ia termasuk dalam kategori orang gila. Sedangkan jika ia melakukan hal yang dibenci oleh adat, maka dia termasuk orang bodoh.
rasa malu dalam diri manusia bisa dibagi dari pertumbuhannya kepada dua, pertama, rasa malu yang ada secara fitrah. Rasa ini timbul secara otomatis dalam diri manusia. Malu untuk melakukan keburukan sebenarnya adalah fitrah manusia. Karena memang setiap anak manusia itu lahir dalam keadaan fitrah.
Kedua, rasa malu yang ditimbulkan. Rasa malu ini bisa ditumbuh kembangkan dalam jiwa seseorang. Karena rasa malu merupakan bagian dari akhlak, dan akhlak adalah sesuatu yang bisa diupayakan dalam diri manusia.
Ada satu langkah yang utama dan pertama untuk menumbuhkan rasa malu yang terpuji, yaitu mengenal Allah SWT, untuk selanjutnya akan menumbuhkan rasa pengawasan-Nya. Mengenal Allah SWT kita bisa membaca dan merenungi Al-Qur’an untuk mengenal Allah SWT.
Sifat malu termasuk kunci segala kebaikan, bila sifat malunya kuat, maka kebaikan menjadi dominan dan keburukan menjadi melemah. Bila sifat malunya lemah, maka kebaikan melemah dan perilaku buruk dominan, Karena malu adalah penghalang antara seseorang dengan hal-hal yang dilarang.
Oleh karena itu, kewajiban setiap Muslim adalah menjaga diri dan keimanannya agar selamat dari ancaman azab dunia sebelum akhirat. Ada dua hal yang harus dilakukan, sebagaimana yang dinyatakan Syaikh as-Sa’di rahimahullâh:
1.      Pertama, merealisasikan keimanan dan menyempurnakan seluruh cabangnya dengan mempelajari dan mengamalkannya.
2.      Kedua, memelihara iman dari unsur-unsur yang merusak dan mengurangi kesempurnaannya, dan segera mengobati kelemahan iman yang terjadi dengan taubat.[20]


















BAB III
Kesimpulan
Iman menurut bahasa adalah membenarkan. Adapun menurut istilah Syariát adalah meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan membuktikannya dengan anggota badan. Iman adalah keyakinan yang menghunjam dalam hati, kokoh penuh keyakinan tanpa dicampuri keraguan sedikit pun. Sedangkan keimanan dalam Islam itu sendiri adalah percaya kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya, hari akhir dan beriman kepada takdir baik dan buruk. Iman mencakup perbuatan, ucapan hati dan lisan, amal hati dan amal lisan serta amal anggota tubuh. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.
Seseorang yang hanya menganut Islam sebagai agama belumlah cukup tanpa dibarengi dengan iman. Sebaliknya, iman tidaklah berarti apa-apa jika tidak didasari dengan Islam. Selanjutnya, kebermaknaan Islam dan iman akan mencapai kesempurnaan jika dibarengi dengan ihsan, sebab ihsan mengandung konsep keikhlasan tanpa pamrih dalam ibadah. Keterkaitan antara ketiga konsep di atas (Islam, iman, dan ihsan) dengan hari kiamat karena karena hari kiamat merupakan terminal tujuan dari segala perjalanan manusia tempat menerima ganjaran dari segala aktifitas manusia yang kepastaian kedatangannya menjadi rahasia Allah SWT.
Ada beberapa sebab-sebab bertambah dan turunnya sebuah iman. Sebab Bertambahnya Iman: Mengenal Allah SWT dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya; melihat ayat-ayat Allah SWT yang kauniyah maupun syar’iyah; banyak berbuat taat dan kebaikan. Meninggalkan maksiat (perbuatan buruk) dengan niat taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT.
Sebab melemahnya iman: berpaling dari mengenal Allah SWT, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya; berpaling dari melihat ayat-ayat Allah kauniyah dan syar’iyah; kurang beramal shalih; dan berbuat maksiat.
Sifat malu termasuk kunci segala kebaikan, bila sifat malunya kuat, maka kebaikan menjadi dominan dan keburukan menjadi melemah. Bila sifat malunya lemah, maka kebaikan melemah dan perilaku buruk dominan, Karena malu adalah penghalang antara seseorang dengan hal-hal yang dilarang.
DAFTAR PUSTAKA
Alex, Kurniawan, 2014, “Iman, Islam, Ihsan”, (online) (http://kurniawaalex.blogspot.co.id/2014/10/makalah-imanislamihsan.html), di akses pada tanggal 22 September 2015
Al-Jauzaa, Abu, 2010, “Amal dan Iman”, (online),  (http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2010/08/amal-dan-iman.html), di akses pada tanggal  22 September 2015
Anshar, 2013, “Iman, Islam, Ihsan dan Hari Kiamat”, (online),  (http://anshar-mtk.blogspot.co.id/2013/05/keimanan-iman-islam-ihsan-dan-hari.html), di akses pada tanggal  22 September 2015
Baqi, Muhammad Fuad Abdul. 2011. Kumpulan Hadis Sahih Bukhori Muslim. Solo: Insan kamil
Shonhaji, Abdullah dkk. Tarjamah Sunan Ibnu Majah. Semarang: CV. Asy-Syifa’
………. https://id.wikipedia.org/wiki/Ihsan



[1] M. Fu’ad Abdul Baki, Kumpulan Hadis Sahih Bukhari Muslim, (Solo: Insan Kamil, 2011), hal: 8
[2] Kurniawan Alex, http://kurniawaalex.blogspot.co.id/2014/10/makalah-imanislamihsan.html
[3] Ibid,
[4] Ibid,
[5] Ibid,
[6] Ibid,
[7] Ibid,
[8] M. Fu’ad Abdul Baki, Kumpulan Hadis Sahih Bukhari Muslim, (Solo: Insan Kamil, 2011), hal, 11-12
[9] Ibid, hal, 8
[10] https://id.wikipedia.org/wiki/Ihsan
[11] Ibid,
[12] http://anshar-mtk.blogspot.co.id/2013/05/keimanan-iman-islam-ihsan-dan-hari.html
[13] Ibid,
[14] http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2010/08/amal-dan-iman.html
[15] M. Fu’ad Abdul Baki, Kumpulan Hadis Sahih Bukhari Muslim, (Solo: Insan Kamil, 2011), hal, 21
[16] http://anshar-mtk.blogspot.co.id/2013/05/keimanan-iman-islam-ihsan-dan-hari.html
[17] Ibid,.
[18] Abdullah Shonhaji, dkk. Tarjamah Sunan Ibnu Majah, (Semarang: cv Asy-Syifa’) hal, 45
[19] M. Fu’ad Abdul Baki, Kumpulan Hadis Sahih Bukhari Muslim, (Solo: Insan Kamil, 2011), hal, 18
[20] http://anshar-mtk.blogspot.co.id/2013/05/keimanan-iman-islam-ihsan-dan-hari.html

No comments:

Post a Comment

MAKALAH HADIS TARBAWI ASPEK KEJIWAAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR

MAKALAH HADIS TARBAWI ASPEK KEJIWAAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR Dosen Pengampu :                         Muchlis Anshori, S. ...