Tuesday, 28 July 2015

istihsan dan istishab

ISTIHSAN DAN ISTISHHAB
Dosen pengampu
H. Fathol Hedi, M.Ag.





Disusun oleh:
Irwanto                                               143111305
Faizatussofia Toatin Rachmah            143111306
Irma Setyawati                                    143111307





FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2015


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat, hidayah, dan inayah-Nya yang tiada terkira, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “ISTIHSAN DAN ISTISHHAB “.
            Tak lupa kami juga mengucapkan ribuan terimakasih kepada segenap keluarga yang telah banyak memberikan dukungan, kasih, kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun kepada langkah yang lebih baik lagi.
            Meskipun penulis berharap makalah ini terbebas dari kesalahan dan kekurangan namun, masih saja banyak kuranganya, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
            Akhir kata penulis berharap, mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.



Surakarta,  25 Mei 2015
Penyusun



DAFTAR ISI
Kata pengantar                                                                                             i
Daftar isi                                                                                                        ii

BAB I                                                                                                             1
A.  Latar belakang                                                                                         1
B.  Rumusan masalah                                                                                    2
C.  Tujuan masalah                                                                                        2

BAB II                                                                                                            3
ISTIHSAN                                                                                                   3
A.  Pengertian                                                                                              3
B.  Istihsan Menurut Ulama’ Empat Madzhab                                           4
C.  Kehujjahan Istihsan                                                                               5
D.  Macam-Macam Istihsan                                                                        7
ISTISHHAB                                                                                                11
A.  Pengertian                                                                                              11
B.  Macam-Macam Istishhab                                                                      13
C.  Kehujjahan Istishhab                                                                             14
D.  Pendapat Ulama’ Tentang Istishhab                                                     15

BAB III                                                                                                          17
Kesimpulan                                                                                                   17

Daftar Pustaka


















BAB I
A.  Latar Belakang

Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath  tetap berada pada koridor yang semestinya. Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf fiha,atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya dan ada Mashadir Thabi’iyah (sumber yang dipautkan kepada sumber-sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma dan qiyas. Adapula yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri yaitu:Istihsan, istishab, Maslahah mursalah, Urf, Saddudzari’ah, dan madzhab sahabi.
Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat Istihsan,dan  Istishab  yang mencakup pengertian, macam-macamnya, kehujjahannya, dan pendapat para Ulama’.



B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Pengertian, Kehujjahan Dan Macam-Macam Istihsan?
2.       Bagaimana Pengertian, Macam-Macam, Dan Kehujjahan Ihtishhab?

C.    Tujuan Masalah
1.      Memahami Dan Mengetahui Pengertian, Kehujjahan Dan Macam-Macam Istihsan.
2.      Memahami Dan Mengetahui Pengertian, Macam-Macam, Dan Kehujjahan Ihtishhab.















BAB II
ISTIHSAN
A.  PENGERTIAN ISTIHSAN
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Secara istilah Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut.
Para ulama’ushul, mengartikan istihsan sebagai berikut:
1.    Menurut Al-Ghazali istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh muj’tahid menurut akalnya.
2.    Al-Muwafiq ibnu Qudamah Al-Hambali menyatakan istihsan adalah suatu keadilan terhadap hukum dan pandanganya karena adanya dalil tertentu dari Al-Qur’an dan Sunnah.
3.    Abu Ishaq asy-Syatibi dalam madzhab Maliki berkata “istihsan adalah pengambilan suatu kemaslahatan yang bersifat juz’i dalam menanggapi dalil-dalil yang masih global”.
4.    Menurut Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi istihsan adalah perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat membutuhkan keadilan.
5.    Sebagaian ulama’ lain mengatakan bahwa istihsan adalah perbuatan adil dalam hukum yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia.[1]
6.    Menurut Ibnu Al-Arabi, istihsan adalah meninggalkan kehendak dalil dengan cara pengecualian atau memberikan rukhsah karena berbeda hukumnya dalam beberapa hal. Dalam kitab Ahkam Al-Qur’an Ibn Al-Arabi menulis, istihsan menurut madzhab maliki dan hambali adalah beramal dengan salah satu dari dua dalil yang paling kuat, berpegang pada dalil umum apa bila dalil itu bisa terus berlaku dan berpegang pada kias apabila kias itu berlaku umum.[2]
7.    Menurut Ibnu Rusyd, istihsan adalah meninggalkan kias dalam menetapkan suatu hukum, karena kias itu menimbulkan keadaan yang berlebih-lebihan dalam hukum. Pada beberapa masalah, penetapan hukum tidak dilakukan dengan kias, akan tetapi dialihkan daripadanya karena ada pengertian yang mempengaruhi dalam penetapan hukum yang mengkhususkan masalah tersebut.[3]
Dari beberapa pendapat Ulama’ diatas dapat disimpulkan bahwa istihsan adalah keterkaitan dengan penerapan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara umum baik dari nashh, ijma atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan harus dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik.
B.  ISTIHSAN MENURUT ULAMA’ EMPAT MADZHAB
1.    Ulama’ Hanafi
Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan istihsan. Begitu pula dalam keterangan yang ditulis dalam beberapa kitab Ushul yang menyebutkan bahwa Hanafiyah mengakui adanya Istihsan, bahkan dalam beberapa kitab Fiqihnya banyak sekali permasalahan yag menyangkut istihsan.[4]
2.    Ulama’ Maliki
Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapai Imam Maliki dan Imam Abu Hanifah. Begitu pula Abu Zahrah, bahwa Imam Maliki sering berfatwa dengan menggunakan istihsan.[5]


3.    Ulama’ Hanabilah
Dalam beberapa kitab Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui adanya istihsan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Amudi dan Ibnu Hazib. Akan tetapi, Al-Jalal al-Mahadi dalam kitab Syarh Al-Jam’ Al-Jawami’ mengatakan bahwa istihsan tidak diakui oleh Abu Hanifah, namun ulama’ yang lain mengingkarinya termasuk didalam golongan Hanabillah[6]
4.    Ulama’ Syafi’iyah
Ulama’ Syafi’i secara masyhur tidak mengakui adanya istihsan, dan betul-betul mereka menjauhi untuk menggunakannya dalam istinbath hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil. Bahkan Imam Syafi’i berkata “Barang siapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah membuat syari’at”. Beliau juga berkata “Segala urusan itu telah diatur oleh Allah SWT., setidaknya ada yang menyerupainya sehingga dibolehkan menggunakan kias, namun tidak boleh menggunakan istihsan”.[7]
C. KEHUJJAHAN ISTIHSAN
para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan). seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar ayat 18:
tûïÏ%©!$# tbqãèÏJtFó¡o tAöqs)ø9$# tbqãèÎ6­Fusù ÿ¼çmuZ|¡ômr& 4 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# ãNßg1yyd ª!$# ( y7Í´¯»s9'ré&ur öNèd (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÊÑÈ  
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18)
Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
Pada ayat lain allah berfirman:
(#þqãèÎ7¨?$#ur z`|¡ômr& !$tB tAÌRé& Nä3øs9Î) `ÏiB Nà6În/§ `ÏiB È@ö6s% br& ãNà6uÏ?ù'tƒ Ü>#xyèø9$# ZptGøót/ óOçFRr&ur Ÿw šcrããèô±n@ ÇÎÎÈ  
Artinya:Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya” (Qs. Al-Zumar: 55)
Pada ayat inipun memerintahkan untuk mengikuti apa yang paling baik dari apa yang diturunkan Allah. Adapun hadis yang dijadikan hujjah adalah sebagai berikut.
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
Artinya:Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”.
Adapun ijmak yang dijaddikan hujjah adalah ijmak ulama’ terhadap masalah pemakaian kamar mandi umum tanpa disebutkan lamanya masa pemakaian dan banyaknya air yang digunakan.[8]
Sandaran istihsan sebenarnya adalah memelihara kemaslahatan-kemaslahatan yang didukung oleh nashh-nashh syari’at, baik dengan nashh tertentu maupun dengan pengertian suatu nashh atau dengan pengertian kelompok nash yang memberikan satu pengertian yang sama.[9]



D.  MACAM-MACAM ISTIHSAN
Menurut Al-Taftazani, istihsan dalam fiqih hanafi dibagi menjadi empat macam, yaitu istihsan dengan nash, istihsan dengan ijmak, istihsan dengan darurat, dan istihsan dengan kias khafi.
1.    Istihsan dengan Nash
Istihsan dengan nash seperti berpalingnya mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh kaidah umum kepada hukum yang dikehendaki oleh nash. Karena memang ada masalah-masalah peristiwa-peristiwa yang termasuk atau tercakup dalam salah satu kaidah dari kaidah-kaidah umum (al-qowaid al-kulliyat). Namun, terhadap masalah atau peristiwa itu ditemui dalil khusus yang menghendaki pengecualian terhadap masalah tersebut dan menetapkan hukum yang lain dari pada hukum yang dapat ditarik dari kaidah umum[10].
Contoh:
Makan siang dibulan Ramadhan, menurut kias dalam arti kaidah umum, merusak atau membatalkan puasa karena telah cacat rukunnya yaitu rukun menahan diri. Sebab menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa termasuk rukun puasa.
Makan menghilangkan rukun puasa, yaitu rukun imsak. Dan sesuatu yang telah hilang rukunnya berarti batal. Akan tetapi juka makan siang hari pada bulan Ramadhan karena lupa, dilakukan pengecualian. Pengecualian itu adalah pengecualian dari hukum batalnya puasa yang dikehendaki oleh kaidah umum kepada hukum yang dikehendaki oleh nash. Nash disini adalah sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang artinya:
“Orang berpuasa yang makan atau minum karena lupa, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Karena Allahlah yang telah memberinya makan dan minum” (HR. Jamaah kecuali An-Nasha’i).
Hadis ini menjelaskan bahwa orang yang makan atau minum karena lupa, tidak membatalkan puasanya. Dan hukum yang dikehendaki oleh hadist ini lah yang ditetapkan terhadap masalah tersebut, bukan hukum yang dikehendaki oleh kaidah umum. Dalam hal ini Abu Hanifah mengatakan, “Sekiranya tidak ada hadist, saya akan menetapkan hukum terhadap masalah itu dengan kias”.[11]

2.    Istihsan dengan Ijmak
Istihsan dengan ijmak berarti meninggalkan kias, baik kias asal  (kias ushuli) maupun kaidah umum yang diistinbathkan (qoidah ammat mustanbathat), apabila ijmak menetapkan hukum yang berbeda dengan hukum yang ditetapkan dengan kias.[12]
Contoh:
Perjanjian untuk membuatkan suatu barang (istishna’, bukan bai’ salm). Perjanjian semacam itu tidak dibolehkan menurut kias, demikian juga menurut kaidah asal atau kaidah umum, karena merupakan jual beli tanpa barang (bai’ Al-ma’dum). Akan tetapi ijmak umat dan ‘Urf kaum muslimin pada setiap masa dan tempat membolehkan. Ijmak dan ‘Urf itu lebih diutamakan daripada kehendak kaidah-kaidah umum.[13]
Golongan Hanafiyah juga memberikan contoh istihsan macam ini dengan istihsan umat dalam hal pemakaian kamar mandi umum tanpa kejelaasan sewa dan lamanya masa pemakaian. Menurut kias perjanjian itu batal., karena masuk atau memakai kamar mandi umum adalah perjanjian sewa-menyewa. Akan tetapi orang yang masuk itu tidak mengetahui baik jumlah air yang diperjanjikan maupun lamanya tinggal dikamar mandi sebagai masa sewa. Padahal dalam aturan sewa-menyewa segala sesuatu seperti jumlah pembayaran, lamanya masa pemakaian dan lain-lain harus disebutkan dengan jelas. Tidak di sebutkan dengan jelas jumlah sewa, lamanya masa pemakaian kamar mandi, dan jumlah air yang digunakan, menurut kaidah umum sewa-menyewa tersebut tidak sah. Akan tetapi secara istihsan hal itu telah diperbolehkan karena sudah ijmak umat. Dasar istihsan semacam ini adalah kemaslahatan yang sesuai dengan kehendak syara’ (al-maslahat al-mula’imat).[14]
3.    Istihsan Dengan Kias Kahfi
Istihsan dengan Kias Kahfi dilakukan kiarena adanya pertentangan antara dua kias, bila terjadi pertentangan itu maka yang diutamakan dari keduanya adalah kias yang mempunyai pengaruh yang lebih kuat dan lebih sesuai dengan jenis ‘Illat yang ditetapkam syara’ yang merupakan dasar kias. Apabila fukoha menghadapi masalah yang dapat dikembalikan kedua dasar itu, maka mereka memilih kias yang mempunya pengaruh hukum yang lebih kuat.[15]
Contoh:
Menurut golongan Hanafiyah, sisa minum burung buas adalah tidak najis, seperti burung elang, burung garuda, dan burung gagak. Kias menetapkan najis terhadap sisa minum burung tersebut. Hukum itu ditetapkan dengan mengkiaskan kepada binatang buas, dengan ‘Illat bahwa daging keduanya najis, tidak boleh dimakan.[16]
Akan tetapi apabila direnungkan betul-betul didapati bahwa bukan hanya keadaan daging itu najis, tidak boleh dimakan, yang membuatnya najis sisa minumannya, karena masuknya sesuatu yang lain (dari tubuh burung) masuk kedalam sisa minuman tersebut. Najisnya sisa minuman tersebut karena masuknya air liur yang  berhubugan dengan daging yang najis kedalam air. Selama najisnyaa daging tidak berhubungan langsung dengan air melalui air liur, maka sisa minuman itu tetap tidak najis.[17]
‘Illat tersebut tidak terdapat pada burung buas, karena daging burung itu meskipun najis, akan tetapi najisnya tidak berhubungan dengan air. Sebab burung tidak minum dangan mulut. Burung minim dengan paruhnya yang tidak terdapat air liur padanya. Dengan demikian kias tidak diperlakukan terhadap burung itu. Maka dikembalikan dengan asal yang halal. Artinya sisa air minum burung tersebut tetap dihukumi halal.[18]



4.    Istihsan dengan Darurat
Bila kias menghendaki suatu hukum terhadap suatu peristiwa, akan tetapi disana fukaha menemukan darurat yang menghendaki ditetapkannya hukum lain yang berbeda dengan hukum kias.[19]
Contoh:
Masalah membersihkan sumur. Golongan Hanafiyah mengatakan apa bila jatuh suatu najis kedalam sumur itu tidak mungkin dibersihkan, karena tiap air yang dituangkan kesumur (untuk mencucinya) akan menjadi najis dengan najis yang ada dalam sumur.
Pendapat yang mengatakan sumur tidak mungkin dibersihkan dari najis menjerumuskan manusia dalam kesukaran dan menghalanginya dari kebutuhan yang sangat pokok, yaitu kebutuhan untuk menggunakan air dalam kehidupan dan dalam ibadahnya. Karena itu para fukaha menetapkan bahwa sumur dapat dibersihkan dengan menuangkan beberapa timba air kedalamnya. Para fukaha mengatakan bahwa sesungguhnya fatwa terhadap masalah ini, sandaran atau dasarnya adalah istihsan bukan kias.[20]
Golongan Hanafiyah dengan kaidah darurat ini menginginkan terwujudnya kemaslahatan pokok tertentu dan kemaslahatan-kemaslahatan penting. Kemaslahatan-kemaslahatan hajiyat (penting) ini dapat dijadikan kaidah darurat apabila terdapat hal-hal berikut:
-       Kemaslahatan hajiyat itu bersifat umum bagi semua orang
-       Jika kemaslahatan hajiyat itu tidak diambil akan menimbulkan kesempitan dan kesukaran yang sangat serius yang tidak sanggup diemban oleh manusia dalam memikul tanggung jawab syariat.[21]





ISTISHHAB
A.  PENGERTIAN ISTISHHAB
Istishhab menurut bahasa Arab ialah “pengakuan adanya perhubungan”.[22] Istishhab menurut etimologi berarti menyesuaikan sesuatu. Sedangkan menurut terminologi ahli ushul fikih istishhab adalah memberlakukan hukum suatu peristiwa sesuai dengan keadaannya semula (hukum asal), selama tidak ada dalil yang menentukan hukum lain yang berbeda dengan hukum asal tersebut. Misalnya, orang yang sudah berwdlu kemudian ia meragukan apakah sudah batal atau belum, maka hukum yang masih berlaku disini adalah belum batal wudlunya selama belum terbukti dengan jelas bahwa ia sudah batal.[23]
Apabila seorang mujtahid ditanyai tentang hukum sebuah perjanjian atau suatu pengelolaan, dan ia tidak menemukan nash didalam Al-Qur’an atau Sunnah, dan tidak pula menemukan dalil syar’i yang membicarakan hukumnya, maka ia memutuskan dengan kebolehan perjanjian atau pengelolaan tersebut berdasarkan atas kaidah:[24]
الأصل فى الأشياء الإباحة
Artinya: “pangkal sesuatu itu adalah kebolehan.[25]
Yaitu ibarat suatu keadaan, pada saat Allah SWT. Menciptakan sesuatu yang ada dibumi secara keseluruhan. Maka selama tidak ada dalil yang menunjukan atas perubahan dari kebolehannya, keadaan sesuatu dihukumi dengan sifat asalnya.
Apabila seorang mujtahid ditanyai mengenai hukum suatu binatang, benda padat, tumbuh-tumbuhan, atau makanan apapun, atau minuman apa saja, atau suatu amal perbuatan dan ia tidak menemukan dalil syar’i atas hukumnya, maka ia menetapkan hukum dengan kebolehannya. Karena sesungguhnya kebolehan adalah asalnya, padahal tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap perubahannya. Dengan demikian, pangkal sesuatu itu adalah boleh. Allah telah berfirman dalam kitab Al-Quran:
uqèd Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏJy_ §NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y ;Nºuq»yJy 4 uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ  

Artinya: “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah:29)

Dan Allah SWT. juga telah menjelaskan dalam beberapa ayat lainnya, bahwa Dia tidak menaklukkan segala yang ada di langit dan di bumi untuk manusia. Dengan kata lain, segala sesuatu yang ada di bumi itu tidak akan dijadikan dan dilakukan, kecuali dibolehkan bagi manusia. Seandainya hal itu terlarang bagi mereka, niscaya semuanya diciptakan bukan untuk mereka.[26]
Istishhab, dapat dibagi atas dua komponen, yakni:
§  Istishhab kepada hukum akal yang berada dalam kondisi mubah (boleh), atau dengan istilah “sesuatu yang murni menurut aslinya”. Misalnya, setiap makanan dan minuman yang tidak ditunjuk oleh dalil tentang keharamannya adalah mubah, sebab Allah SWT menciptakan segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini untuk dapat dimanfaatkan oleh manusia.
§  Istishhab kepada hukum syara’ yang sudah ada ketentuan hukumnya, tetapi belum ada dalil yang mengubahnya. Contoh: apabila seseorang telah berwudlu, kemudian ragu tentang wudlunya, sedangkan dalam keraguan itu dia yakin bahwa wudlu tidak batal, maka secara istishhab dia masih dianggap sebagai orang yang mempunyai wudlu.[27]

B.  MACAM-MACAM ISTISHHAB
1.    Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyyah
Yaitu istishhab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya manusia bebas dari taklif (beban), sampai adanya dalil yang merubah status tersebut. Atas dasar inilah maka manusia bebas dari kesalahan sampai ada bukti bahwa ia telah berbuat salah. Oleh karena itu, seseeorang yang menuduh orang lain telah berbuat salah maka tuduhan itu tidak bisa dibenarkan secara hukum tanpa adanya bukti yang jelas.

2.   Istishhab al-Ibahah al-Ashliyyah
Yaitu istishhab yang didasarkan atas hukum asal, yaitu mubah (boleh). Misalnya mengenai makanan dan minuman, selama tidak ada dalil yang melarangnya maka hal tersebut diperbolehkan. Sebab pada prinsipnya, segala sesuatu yang ada di bumi ini diperuntukan oleh Allah bagi kehidupan manusia, sesuai dengan firman-Nya pada surat al-Baqarah ayat 29 sebagai berikut :
uqèd Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏJy_ §NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y ;Nºuq»yJy 4 uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ  

Artinya : “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. Al-Baqarah:29)

3.   Istishhab Ma Dalla al-Syar’u ‘ala Tsubut
Yaitu istishhab yang didasarkan atas tetapnya hukum yang sudah ada sampai ada dalil yng mencabutnya. Misalnya, seseorang yang sudah jelas melaksanakan akad pernikahan, maka status pernikahan itu tetap berlaku sampai terbukti adanya perceraian.



4.   Istishhab al-Washfi
Yaitu istishhab yang didasarkan atas anggapan tetapnya sifat yang ada dan diketahui sebelumnya, sampai ada bukti yang merubahnya. Misalnya, sifat air yang diketahui suci sebelumnya, maka air tersebut tetap suci sampai ada bukti yang menunjukan air tersebut menjadi najis. Demikian pula adanya sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang, maka ia tetap dianggap masih hidup sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa ia sudah meninggal.[28]

C.  KEHUJJAHAN ISTISHHAB
Menurut Muhammad Abu Zahrah, para ulama sepakat untuk menjadikan tiga macam istishhab. Yang pertama sebagai hujjah dalam hukum Islam. Sedangkan macam istishhab yang keempat, yaitu istishhab al-washfi, dikalangan ulama terdapat perbedaan pendapat sebagai berikut :

1.    Kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah
Berpendapat bahwa istishhab tersebut bisa dijadikan landasan secara mutlak, baik dalam mempertahahnkan hak yang sudah ada maupun dalam memunculkan hak yang baru. Misalnya, dalam kasus orang hilang menurut istishhab masih dianggap hidup. Dalam hal ini berlaku baginya segala hal bagi orang yang hidup, seperti harta dan istrinya masih dianggap miliknya. Dan jika ada ahlli warisnya yang wafat maka dia berhak mendapat harta warisan sesuai dengan kadar bagiannya.

2.    Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah
Berpendapat bahwa istishhab al-washfi hanya berlaku untuk mempertahankan hak yang sudah ada, dan tidak bisa untuk memunculkan hak yang dianggap baru. Istishhab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali bagi para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Ulama Ushul berkata,”Sesunggguhnya Istishhab adalah akhir tempat beredarnya fatwa”.
Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dari pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan bagi mereka. Seorang manusia yang hidup tetap dihukumi atas hidupnya dan pengelolan atas kehidupan ini diberikan kepadanya sampai terdapat dalil yang menunjukan adanya keputusan tentang kematiannya. Setiap orang yang mengetahui wujud sesuatu, maka dihukumi wujudnya sampai terdapat dalil yang meniadakannya, dan barang siapa mengetahui ketiadaannya sesuatu, maka dihukumi dengan ketiadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukan keberadaannya.
Hukum telah berjalan menurut keadaan ini. Jadi, suatu kepemilikan misalnya, tetap menjadi milik siapa saja berdasarkan sebab beberapa kepemilikan. Maka kepemilikan itu dianggap ada sampai ada ketetapan yang menghilangkan kepemilikan tersebut.
Begitu juga kehalalan pernikahan bagi suami-istri sebab akad pernikahan dianggap ada sampai ada ketetapan yang menghapuskan kehalalan itu. Demikian pula halnya dengan tanggungan karena utang piutang atau sebab ketetapan apa saja, dianggap tetap ada sampai ada ketetapan yang menghapuskannya. Tanggungan yang telah dibebaskan dari orang yang terkena tunuttan utang piutang atau ketetapan apa saja yang dianggap bebas sampai ada ketetapan yang membebaskannya. Singkatnya asal sesuatu itu adalah ketetapan sesuatu yang telah ada, menurut keadaan semula sampai terdapat sesuatu yang mengubahnya.
Istishhab juga telah dijadikan dasar bagi prinsip-prinsip syariat antara lain sebagai berikut, ”Asal sesuatu adalah ketetapan yang ada menurut keadaan semula sehingga terdapat suatu ketetapan yang mengubahnya”. Sesuai dengan kaidah:
الأصل فى الأشياء الإباحة
Artinya: “pangkal sesuatu itu adalah kebolehan”.
Pendapat yang dianggap benar adalah Istishhab bisa dijadikan dalil hukum karena hakikatnya dalillah yang telah menetapkan hukum tersebut. Istishab itu adalah tiada lain menetapkan dalalah dalil pada hukumnya.[29]

D.  PENDAPAT ULAMA TENTANG ISTISHHAB
Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa Istishhab itu merupakan hujjah untuk mempertahankan dan bukan untuk menetapkan apa-apa yang dimaksud oleh mereka. Dengan pernyataan tersebut jelaslah bahwa Iatishhab merupakan ketetapan sesuatu, yang telah ada menurut keadaaan semula dan juga mempertahankan sesuatu yang berbeda sampai ada dalil yang menetapkan atas perbedaannya.
Istishhab bukanlah hujjah untuk menetapkan sesuatu yang tidak tetap. Telah dijelaskan tentang penetapan orang yang hilang atau yng tidak diketahui tempat tinggalnya dan tempat kematiannya, bahwa orang tersebut ditetapkan tidak hilang dan dihukumi sebagai orang yang hidup sampai adanya petunjuk yang menunjukkan kematiannya.
Istishhab-lah yang menunjukkan atas hidupnya orang tersebut dan menolak dugaan kematiannya serta warisan harta bendanya juga peceraian pernikahannya. Tetapi hal itu bukanlah hujjah untuk menetapkan pewaris dari lainnya, karena hidup yang ditetapkan menurut istishhab itu adalah hidup yang didasarkan pengakuan.[30]








BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa istihsan adalah keterkaitan dengan penerapan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara umum baik dari nashh, ijma atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan harus dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik. Adapun macam-macam istihsan ada empat yaitu, istihsan dengan nash, istihsan dengan ijmak, istihsan dengan darurat, dan istihsan dengan kias khafi. Dikalangan ulama’pun terdapat perbedaan pendapa mengenai istihsan, bahkandikalangan Ulama’ Syafi’I tidak mengakui adanya istihsan, mereka berpendapat bahwa menggunakan istihsan seperti membuat syari’at sendiri.
Kemudian yang dimaksud istishhab adalah memberlakukan hukum suatu peristiwa sesuai dengan keadaannya semula (hukum asal), selama tidak ada dalil yang menentukan hukum lain yang berbeda dengan hukum asal. Seperti halnya dengan istihsan, istishhab pun terbagi menjadi empat macam diantaranya, Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyyah, Istishhab al-Ibahah al-Ashliyyah, Istishhab Ma Dalla al-Syar’u ‘ala Tsubut, Istishhab al-Washfi. Dan para Ulama’pun sepakat menjdikan istishhab ini sebagai hujjah dalam hukum islam.





           






DAFTAR PUSTAKA

Buchori, Ahmad, 2011, “Istishab Sebagai Dalil Ushul Fiqh”, (Online), (http://eling-buchoriahmad12.blogspot.com/2011/06/istishab-sebagai-dalil-ushul-fiqh.html, Diakses tanggal 21 April 2015, 13:45 WIB)
Iskandar, Usman, 1994, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo
Khallaf, Abdul Wahhab, 1994. Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama
Syafe’I, Rachmat, 2007, Ilmu Ushul Fiqih Untuk UIN, STAIN, PTAIS, Bandung: PUSTAKA SETIA
Syihab, Umar, 1996, Hukum Islam dan Trasformasi Pemikiran, Semarang: Dina Utama
 



[1] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih Untuk UIN, STAIN, PTAIS, (PUSTAKA STIA: Bandung, 2007) hal, 111-112
[2] Iskandar Usman , ISTIHSAN dan PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM, (PT RajaGrafindo: Jakarta, 1994) hal, 25
[3] Ibid,.
[4] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih Untuk UIN, STAIN, PTAIS, (PUSTAKA SETIA: Bandung, 2007) hal, 112
[5] Ibid,.
[6] Ibid,.
[7] Ibid,.
[8] Iskandar Usman , ISTIHSAN dan PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM, (PT RajaGrafindo: Jakarta, 1994) hal, 63
[9] Ibid, hal 64
[10] Ibid, hal 49
[11] Ibid, hal 50
[12] Ibid,
[13] Ibid, hal 51
[14] Ibid, hal 52
[15] Ibid,
[16] Ibid, hal 55
[17] Ibid,
[18] Ibid, hal 56
[19] Ibid, hal 57
[20] Ibid,.
[21] Ibid, hal 58
[22] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Dina Utama: Semarang,1994),hlm.127.
[23] http://eling-buchoriahmad12.blogspot.com/2011/06/istishab-sebagai-dalil-ushul-fiqh.html
[24] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Dina Utama: Semarang,1994),hlm.127.
[25] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih Untuk UIN, STAIN, PTAIS, (PUSTAKA STIA: Bandung, 2007), hlm.125.
[26] Ibid.hlm.126.
[27] Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, (Dina Utama: Semarang, 1996), hlm.33.
[28] http://eling-buchoriahmad12.blogspot.com/2011/06/istishab-sebagai-dalil-ushul-fiqh.html
[29] Ibid.
[30] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih Untuk UIN, STAIN, PTAIS, (PUSTAKA STIA: Bandung, 2007), hlm.127.

No comments:

Post a Comment

MAKALAH HADIS TARBAWI ASPEK KEJIWAAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR

MAKALAH HADIS TARBAWI ASPEK KEJIWAAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR Dosen Pengampu :                         Muchlis Anshori, S. ...