ISTIHSAN DAN ISTISHHAB
Dosen pengampu
H. Fathol Hedi, M.Ag.
Disusun
oleh:
Irwanto 143111305
Faizatussofia Toatin Rachmah 143111306
Irma Setyawati 143111307
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA

KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat, hidayah, dan inayah-Nya
yang tiada terkira, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
“ISTIHSAN DAN
ISTISHHAB “.
Tak lupa kami juga
mengucapkan ribuan terimakasih kepada segenap keluarga yang telah banyak
memberikan dukungan, kasih, kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah
kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan
dan menuntun kepada langkah yang lebih baik lagi.
Meskipun penulis
berharap makalah ini terbebas dari kesalahan dan kekurangan namun, masih saja
banyak kuranganya, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
Akhir kata penulis
berharap, mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surakarta, 25
Mei 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata pengantar i
Daftar isi ii
BAB I 1
A.
Latar
belakang 1
B.
Rumusan
masalah 2
C.
Tujuan
masalah 2
BAB II 3
ISTIHSAN 3
A.
Pengertian
3
B.
Istihsan
Menurut Ulama’ Empat Madzhab 4
C.
Kehujjahan
Istihsan 5
D.
Macam-Macam
Istihsan 7
ISTISHHAB 11
A.
Pengertian 11
B.
Macam-Macam
Istishhab 13
C.
Kehujjahan
Istishhab 14
D.
Pendapat
Ulama’ Tentang Istishhab 15
BAB III 17
Kesimpulan 17
Daftar Pustaka
BAB
I
A.
Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah
satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan
mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah
sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini
dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses
ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang
semestinya. Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa
penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad
dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul
Fiqih itu sendiri, seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya, internal
Ushul Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di
kalangan para Ushuliyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan
istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul
al-Mukhtalaf fiha,atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya”
dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada
yang tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul-Nya dan ada Mashadir Thabi’iyah (sumber yang dipautkan kepada
sumber-sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma dan qiyas.
Adapula yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri yaitu:Istihsan,
istishab, Maslahah mursalah, Urf, Saddudzari’ah, dan madzhab sahabi.
Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat Istihsan,dan
Istishab yang mencakup pengertian, macam-macamnya, kehujjahannya,
dan pendapat para Ulama’.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Pengertian, Kehujjahan Dan Macam-Macam Istihsan?
2.
Bagaimana Pengertian, Macam-Macam, Dan
Kehujjahan Ihtishhab?
C.
Tujuan Masalah
1.
Memahami
Dan Mengetahui Pengertian, Kehujjahan Dan Macam-Macam Istihsan.
2.
Memahami
Dan Mengetahui Pengertian, Macam-Macam, Dan Kehujjahan Ihtishhab.
BAB II
ISTIHSAN
A.
PENGERTIAN ISTIHSAN
Menurut
bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari
yang baik. Secara istilah Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid
dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang
samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya
istisna’i (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil
(alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut.
Para ulama’ushul,
mengartikan istihsan sebagai berikut:
1.
Menurut Al-Ghazali istihsan adalah semua hal
yang dianggap baik oleh muj’tahid menurut akalnya.
2.
Al-Muwafiq ibnu Qudamah Al-Hambali menyatakan
istihsan adalah suatu keadilan terhadap hukum dan pandanganya karena adanya
dalil tertentu dari Al-Qur’an dan Sunnah.
3.
Abu Ishaq asy-Syatibi dalam madzhab Maliki
berkata “istihsan adalah pengambilan suatu kemaslahatan yang bersifat juz’i
dalam menanggapi dalil-dalil yang masih global”.
4.
Menurut Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi istihsan
adalah perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum
yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat membutuhkan keadilan.
5.
Sebagaian ulama’ lain mengatakan bahwa istihsan
adalah perbuatan adil dalam hukum yang menggunakan dalil adat untuk
kemaslahatan manusia.[1]
6.
Menurut Ibnu Al-Arabi, istihsan adalah
meninggalkan kehendak dalil dengan cara pengecualian atau memberikan rukhsah
karena berbeda hukumnya dalam beberapa hal. Dalam kitab Ahkam Al-Qur’an Ibn
Al-Arabi menulis, istihsan menurut madzhab maliki dan hambali adalah beramal
dengan salah satu dari dua dalil yang paling kuat, berpegang pada dalil umum
apa bila dalil itu bisa terus berlaku dan berpegang pada kias apabila kias itu
berlaku umum.[2]
7.
Menurut Ibnu Rusyd, istihsan adalah
meninggalkan kias dalam menetapkan suatu hukum, karena kias itu menimbulkan
keadaan yang berlebih-lebihan dalam hukum. Pada beberapa masalah, penetapan
hukum tidak dilakukan dengan kias, akan tetapi dialihkan daripadanya karena ada
pengertian yang mempengaruhi dalam penetapan hukum yang mengkhususkan masalah
tersebut.[3]
Dari beberapa pendapat Ulama’ diatas dapat
disimpulkan bahwa istihsan adalah keterkaitan dengan penerapan ketentuan hukum
yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara umum baik dari nashh, ijma atau
qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan
harus dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik.
B.
ISTIHSAN
MENURUT ULAMA’ EMPAT MADZHAB
1.
Ulama’ Hanafi
Abu Zahrah
berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan istihsan. Begitu pula
dalam keterangan yang ditulis dalam beberapa kitab Ushul yang menyebutkan bahwa
Hanafiyah mengakui adanya Istihsan, bahkan dalam beberapa kitab Fiqihnya banyak
sekali permasalahan yag menyangkut istihsan.[4]
2.
Ulama’ Maliki
Asy-Syatibi
berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat dalam hukum
sebagaimana pendapai Imam Maliki dan Imam Abu Hanifah. Begitu pula Abu Zahrah,
bahwa Imam Maliki sering berfatwa dengan menggunakan istihsan.[5]
3.
Ulama’
Hanabilah
Dalam beberapa
kitab Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui adanya istihsan,
sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Amudi dan Ibnu Hazib. Akan tetapi, Al-Jalal
al-Mahadi dalam kitab Syarh Al-Jam’ Al-Jawami’ mengatakan bahwa istihsan
tidak diakui oleh Abu Hanifah, namun ulama’ yang lain mengingkarinya termasuk
didalam golongan Hanabillah[6]
4.
Ulama’
Syafi’iyah
Ulama’ Syafi’i secara masyhur tidak mengakui
adanya istihsan, dan betul-betul mereka menjauhi untuk menggunakannya dalam
istinbath hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil. Bahkan Imam Syafi’i
berkata “Barang siapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah membuat
syari’at”. Beliau juga berkata “Segala urusan itu telah diatur oleh Allah SWT.,
setidaknya ada yang menyerupainya sehingga dibolehkan menggunakan kias, namun
tidak boleh menggunakan istihsan”.[7]
C. KEHUJJAHAN ISTIHSAN
para
ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah
yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar
dengan istihsan). seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar ayat 18:
tûïÏ%©!$# tbqãèÏJtFó¡o„ tAöqs)ø9$# tbqãèÎ6Fu‹sù ÿ¼çmuZ|¡ômr& 4
y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# ãNßg1y‰yd ª!$# (
y7Í´¯»s9'ré&ur öNèd (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÊÑÈ
Artinya: “Yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka
Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah
orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18)
Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian
Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan
pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh
Allah.
Pada ayat lain allah berfirman:
(#þqãèÎ7¨?$#ur z`|¡ômr& !$tB tAÌ“Ré& Nä3ø‹s9Î) `ÏiB Nà6În/§‘ `ÏiB È@ö6s% br& ãNà6u‹Ï?ù'tƒ Ü>#x‹yèø9$# ZptGøót/ óOçFRr&ur Ÿw šcrããèô±n@ ÇÎÎÈ
Artinya:“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang
kamu tidak menyadarinya” (Qs.
Al-Zumar: 55)
Pada
ayat inipun memerintahkan untuk mengikuti apa yang paling baik dari apa yang
diturunkan Allah. Adapun hadis yang dijadikan hujjah adalah sebagai berikut.
فَمَا رَأَى
الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا
سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
Artinya:”Apa yang
dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah
baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah
buruk pula”.
Adapun ijmak
yang dijaddikan hujjah adalah ijmak ulama’ terhadap masalah pemakaian kamar
mandi umum tanpa disebutkan lamanya masa pemakaian dan banyaknya air yang
digunakan.[8]
Sandaran
istihsan sebenarnya adalah memelihara kemaslahatan-kemaslahatan yang didukung
oleh nashh-nashh syari’at, baik dengan nashh tertentu maupun dengan pengertian
suatu nashh atau dengan pengertian kelompok nash yang memberikan satu
pengertian yang sama.[9]
D.
MACAM-MACAM ISTIHSAN
Menurut Al-Taftazani, istihsan dalam fiqih hanafi dibagi menjadi
empat macam, yaitu istihsan dengan nash, istihsan dengan ijmak, istihsan dengan
darurat, dan istihsan dengan kias khafi.
1.
Istihsan dengan Nash
Istihsan dengan nash seperti berpalingnya mujtahid dari hukum yang
dikehendaki oleh kaidah umum kepada hukum yang dikehendaki oleh nash. Karena
memang ada masalah-masalah peristiwa-peristiwa yang termasuk atau tercakup
dalam salah satu kaidah dari kaidah-kaidah umum (al-qowaid al-kulliyat).
Namun, terhadap masalah atau peristiwa itu ditemui dalil khusus yang
menghendaki pengecualian terhadap masalah tersebut dan menetapkan hukum yang
lain dari pada hukum yang dapat ditarik dari kaidah umum[10].
Contoh:
Makan siang dibulan Ramadhan,
menurut kias dalam arti kaidah umum, merusak atau membatalkan puasa karena
telah cacat rukunnya yaitu rukun menahan diri. Sebab menahan diri dari hal-hal
yang dapat membatalkan puasa termasuk rukun puasa.
Makan menghilangkan rukun puasa, yaitu rukun imsak. Dan sesuatu
yang telah hilang rukunnya berarti batal. Akan tetapi juka makan siang hari
pada bulan Ramadhan karena lupa, dilakukan pengecualian. Pengecualian itu
adalah pengecualian dari hukum batalnya puasa yang dikehendaki oleh kaidah umum
kepada hukum yang dikehendaki oleh nash. Nash disini adalah sabda Nabi SAW yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang artinya:
“Orang berpuasa yang makan atau minum karena lupa, maka hendaklah
ia menyempurnakan puasanya. Karena Allahlah yang telah memberinya makan dan
minum” (HR. Jamaah kecuali An-Nasha’i).
Hadis ini menjelaskan bahwa orang yang makan atau minum karena
lupa, tidak membatalkan puasanya. Dan hukum yang dikehendaki oleh hadist ini
lah yang ditetapkan terhadap masalah tersebut, bukan hukum yang dikehendaki
oleh kaidah umum. Dalam hal ini Abu Hanifah mengatakan, “Sekiranya tidak ada
hadist, saya akan menetapkan hukum terhadap masalah itu dengan kias”.[11]
2.
Istihsan dengan Ijmak
Istihsan dengan ijmak berarti meninggalkan kias, baik kias
asal (kias ushuli) maupun kaidah
umum yang diistinbathkan (qoidah ammat mustanbathat), apabila ijmak
menetapkan hukum yang berbeda dengan hukum yang ditetapkan dengan kias.[12]
Contoh:
Perjanjian
untuk membuatkan suatu barang (istishna’, bukan bai’ salm).
Perjanjian semacam itu tidak dibolehkan menurut kias, demikian juga menurut
kaidah asal atau kaidah umum, karena merupakan jual beli tanpa barang (bai’
Al-ma’dum). Akan tetapi ijmak umat dan ‘Urf kaum muslimin pada setiap masa
dan tempat membolehkan. Ijmak dan ‘Urf itu lebih diutamakan daripada kehendak
kaidah-kaidah umum.[13]
Golongan
Hanafiyah juga memberikan contoh istihsan macam ini dengan istihsan umat dalam
hal pemakaian kamar mandi umum tanpa kejelaasan sewa dan lamanya masa
pemakaian. Menurut kias perjanjian itu batal., karena masuk atau memakai kamar
mandi umum adalah perjanjian sewa-menyewa. Akan tetapi orang yang masuk itu
tidak mengetahui baik jumlah air yang diperjanjikan maupun lamanya tinggal
dikamar mandi sebagai masa sewa. Padahal dalam aturan sewa-menyewa segala
sesuatu seperti jumlah pembayaran, lamanya masa pemakaian dan lain-lain harus
disebutkan dengan jelas. Tidak di sebutkan dengan jelas jumlah sewa, lamanya
masa pemakaian kamar mandi, dan jumlah air yang digunakan, menurut kaidah umum
sewa-menyewa tersebut tidak sah. Akan tetapi secara istihsan hal itu telah
diperbolehkan karena sudah ijmak umat. Dasar istihsan semacam ini adalah
kemaslahatan yang sesuai dengan kehendak syara’ (al-maslahat al-mula’imat).[14]
3.
Istihsan Dengan Kias Kahfi
Istihsan dengan
Kias Kahfi dilakukan kiarena adanya pertentangan antara dua kias, bila terjadi
pertentangan itu maka yang diutamakan dari keduanya adalah kias yang mempunyai
pengaruh yang lebih kuat dan lebih sesuai dengan jenis ‘Illat yang ditetapkam
syara’ yang merupakan dasar kias. Apabila fukoha menghadapi masalah yang dapat
dikembalikan kedua dasar itu, maka mereka memilih kias yang mempunya pengaruh
hukum yang lebih kuat.[15]
Contoh:
Menurut
golongan Hanafiyah, sisa minum burung buas adalah tidak najis, seperti burung
elang, burung garuda, dan burung gagak. Kias menetapkan najis terhadap sisa
minum burung tersebut. Hukum itu ditetapkan dengan mengkiaskan kepada binatang
buas, dengan ‘Illat bahwa daging keduanya najis, tidak boleh dimakan.[16]
Akan tetapi
apabila direnungkan betul-betul didapati bahwa bukan hanya keadaan daging itu
najis, tidak boleh dimakan, yang membuatnya najis sisa minumannya, karena
masuknya sesuatu yang lain (dari tubuh burung) masuk kedalam sisa minuman
tersebut. Najisnya sisa minuman tersebut karena masuknya air liur yang berhubugan dengan daging yang najis kedalam
air. Selama najisnyaa daging tidak berhubungan langsung dengan air melalui air
liur, maka sisa minuman itu tetap tidak najis.[17]
‘Illat tersebut
tidak terdapat pada burung buas, karena daging burung itu meskipun najis, akan
tetapi najisnya tidak berhubungan dengan air. Sebab burung tidak minum dangan
mulut. Burung minim dengan paruhnya yang tidak terdapat air liur padanya.
Dengan demikian kias tidak diperlakukan terhadap burung itu. Maka dikembalikan
dengan asal yang halal. Artinya sisa air minum burung tersebut tetap dihukumi
halal.[18]
4.
Istihsan dengan Darurat
Bila kias
menghendaki suatu hukum terhadap suatu peristiwa, akan tetapi disana fukaha
menemukan darurat yang menghendaki ditetapkannya hukum lain yang berbeda dengan
hukum kias.[19]
Contoh:
Masalah
membersihkan sumur. Golongan Hanafiyah mengatakan apa bila jatuh suatu najis
kedalam sumur itu tidak mungkin dibersihkan, karena tiap air yang dituangkan
kesumur (untuk mencucinya) akan menjadi najis dengan najis yang ada dalam
sumur.
Pendapat yang
mengatakan sumur tidak mungkin dibersihkan dari najis menjerumuskan manusia
dalam kesukaran dan menghalanginya dari kebutuhan yang sangat pokok, yaitu
kebutuhan untuk menggunakan air dalam kehidupan dan dalam ibadahnya. Karena itu
para fukaha menetapkan bahwa sumur dapat dibersihkan dengan menuangkan beberapa
timba air kedalamnya. Para fukaha mengatakan bahwa sesungguhnya fatwa terhadap
masalah ini, sandaran atau dasarnya adalah istihsan bukan kias.[20]
Golongan
Hanafiyah dengan kaidah darurat ini menginginkan terwujudnya kemaslahatan pokok
tertentu dan kemaslahatan-kemaslahatan penting. Kemaslahatan-kemaslahatan
hajiyat (penting) ini dapat dijadikan kaidah darurat apabila terdapat hal-hal
berikut:
-
Kemaslahatan
hajiyat itu bersifat umum bagi semua orang
-
Jika
kemaslahatan hajiyat itu tidak diambil akan menimbulkan kesempitan dan
kesukaran yang sangat serius yang tidak sanggup diemban oleh manusia dalam
memikul tanggung jawab syariat.[21]
ISTISHHAB
A. PENGERTIAN
ISTISHHAB
Istishhab
menurut bahasa Arab ialah “pengakuan adanya perhubungan”.[22]
Istishhab menurut etimologi berarti menyesuaikan sesuatu. Sedangkan menurut
terminologi ahli ushul fikih istishhab adalah memberlakukan hukum suatu
peristiwa sesuai dengan keadaannya semula (hukum asal), selama tidak ada dalil
yang menentukan hukum lain yang berbeda dengan hukum asal tersebut. Misalnya,
orang yang sudah berwdlu kemudian ia meragukan apakah sudah batal atau belum,
maka hukum yang masih berlaku disini adalah belum batal wudlunya selama belum
terbukti dengan jelas bahwa ia sudah batal.[23]
Apabila seorang mujtahid ditanyai
tentang hukum sebuah perjanjian atau suatu pengelolaan, dan ia tidak menemukan
nash didalam Al-Qur’an atau Sunnah, dan tidak pula menemukan dalil syar’i yang
membicarakan hukumnya, maka ia memutuskan dengan kebolehan perjanjian atau
pengelolaan tersebut berdasarkan atas kaidah:[24]
الأصل فى
الأشياء الإباحة
Artinya: “pangkal sesuatu itu adalah kebolehan.”[25]
Yaitu
ibarat suatu keadaan, pada saat Allah SWT. Menciptakan sesuatu yang ada dibumi
secara keseluruhan. Maka selama tidak ada dalil yang menunjukan atas perubahan
dari kebolehannya, keadaan sesuatu dihukumi dengan sifat asalnya.
Apabila
seorang mujtahid ditanyai mengenai hukum suatu binatang, benda padat,
tumbuh-tumbuhan, atau makanan apapun, atau minuman apa saja, atau suatu amal
perbuatan dan ia tidak menemukan dalil syar’i atas hukumnya, maka ia menetapkan
hukum dengan kebolehannya. Karena sesungguhnya kebolehan adalah asalnya,
padahal tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap perubahannya. Dengan
demikian, pangkal sesuatu itu adalah boleh. Allah telah berfirman dalam kitab
Al-Quran:
uqèd “Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B ’Îû ÇÚö‘F{$# $YèŠÏJy_ §NèO #“uqtGó™$# ’n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y™ ;Nºuq»yJy™ 4
uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ
Artinya:
“Dialah Allah, yang menjadikan segala
yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu
dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS.
Al-Baqarah:29)
Dan Allah SWT. juga telah menjelaskan dalam
beberapa ayat lainnya, bahwa Dia tidak menaklukkan segala yang ada di langit
dan di bumi untuk manusia. Dengan kata lain, segala sesuatu yang ada di bumi
itu tidak akan dijadikan dan dilakukan, kecuali dibolehkan bagi manusia.
Seandainya hal itu terlarang bagi mereka, niscaya semuanya diciptakan bukan
untuk mereka.[26]
Istishhab, dapat dibagi atas dua komponen,
yakni:
§ Istishhab
kepada hukum akal yang berada dalam kondisi mubah (boleh), atau dengan istilah
“sesuatu yang murni menurut aslinya”. Misalnya, setiap makanan dan minuman yang
tidak ditunjuk oleh dalil tentang keharamannya adalah mubah, sebab Allah SWT
menciptakan segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini untuk dapat dimanfaatkan
oleh manusia.
§ Istishhab
kepada hukum syara’ yang sudah ada ketentuan hukumnya, tetapi belum ada dalil
yang mengubahnya. Contoh: apabila seseorang telah berwudlu, kemudian ragu
tentang wudlunya, sedangkan dalam keraguan itu dia yakin bahwa wudlu tidak
batal, maka secara istishhab dia masih dianggap sebagai orang yang mempunyai
wudlu.[27]
B. MACAM-MACAM ISTISHHAB
1.
Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyyah
Yaitu istishhab
yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya manusia bebas dari taklif
(beban), sampai adanya dalil yang merubah status tersebut. Atas dasar inilah
maka manusia bebas dari kesalahan sampai ada bukti bahwa ia telah berbuat
salah. Oleh karena itu, seseeorang yang menuduh orang lain telah berbuat salah
maka tuduhan itu tidak bisa dibenarkan secara hukum tanpa adanya bukti yang
jelas.
2.
Istishhab al-Ibahah al-Ashliyyah
Yaitu istishhab
yang didasarkan atas hukum asal, yaitu mubah (boleh). Misalnya mengenai makanan
dan minuman, selama tidak ada dalil yang melarangnya maka hal tersebut
diperbolehkan. Sebab pada prinsipnya, segala sesuatu yang ada di bumi ini
diperuntukan oleh Allah bagi kehidupan manusia, sesuai dengan firman-Nya pada
surat al-Baqarah ayat 29 sebagai berikut :
uqèd “Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B ’Îû ÇÚö‘F{$# $YèŠÏJy_ §NèO #“uqtGó™$# ’n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y™ ;Nºuq»yJy™ 4
uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ
Artinya : “Dialah Allah,
yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu.” (Qs. Al-Baqarah:29)
3.
Istishhab Ma Dalla al-Syar’u ‘ala Tsubut
Yaitu istishhab
yang didasarkan atas tetapnya hukum yang sudah ada sampai ada dalil yng
mencabutnya. Misalnya, seseorang yang sudah jelas melaksanakan akad pernikahan,
maka status pernikahan itu tetap berlaku sampai terbukti adanya perceraian.
4.
Istishhab al-Washfi
Yaitu istishhab
yang didasarkan atas anggapan tetapnya sifat yang ada dan diketahui sebelumnya,
sampai ada bukti yang merubahnya. Misalnya, sifat air yang diketahui suci
sebelumnya, maka air tersebut tetap suci sampai ada bukti yang menunjukan air
tersebut menjadi najis. Demikian pula adanya sifat hidup yang dimiliki
seseorang yang hilang, maka ia tetap dianggap masih hidup sampai ada bukti yang
menunjukkan bahwa ia sudah meninggal.[28]
C.
KEHUJJAHAN
ISTISHHAB
Menurut
Muhammad Abu Zahrah, para ulama sepakat untuk menjadikan tiga macam istishhab.
Yang pertama sebagai hujjah dalam hukum Islam. Sedangkan macam istishhab yang
keempat, yaitu istishhab al-washfi, dikalangan ulama terdapat perbedaan
pendapat sebagai berikut :
1.
Kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah
Berpendapat
bahwa istishhab tersebut bisa dijadikan landasan secara mutlak, baik dalam
mempertahahnkan hak yang sudah ada maupun dalam memunculkan hak yang baru.
Misalnya, dalam kasus orang hilang menurut istishhab masih dianggap hidup.
Dalam hal ini berlaku baginya segala hal bagi orang yang hidup, seperti harta
dan istrinya masih dianggap miliknya. Dan jika ada ahlli warisnya yang wafat
maka dia berhak mendapat harta warisan sesuai dengan kadar bagiannya.
2.
Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah
Berpendapat
bahwa istishhab al-washfi hanya berlaku untuk mempertahankan hak yang sudah
ada, dan tidak bisa untuk memunculkan hak yang dianggap baru. Istishhab adalah
akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali bagi para mujtahid untuk
mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Ulama Ushul
berkata,”Sesunggguhnya Istishhab adalah akhir tempat beredarnya fatwa”.
Yaitu
mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak
terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dari pengambilan dalil yang
telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan
bagi mereka. Seorang manusia yang hidup tetap dihukumi atas hidupnya dan
pengelolan atas kehidupan ini diberikan kepadanya sampai terdapat dalil yang
menunjukan adanya keputusan tentang kematiannya. Setiap orang yang mengetahui
wujud sesuatu, maka dihukumi wujudnya sampai terdapat dalil yang meniadakannya,
dan barang siapa mengetahui ketiadaannya sesuatu, maka dihukumi dengan ketiadaannya
sampai terdapat dalil yang menunjukan keberadaannya.
Hukum telah
berjalan menurut keadaan ini. Jadi, suatu kepemilikan misalnya, tetap menjadi
milik siapa saja berdasarkan sebab beberapa kepemilikan. Maka kepemilikan itu
dianggap ada sampai ada ketetapan yang menghilangkan kepemilikan tersebut.
Begitu juga
kehalalan pernikahan bagi suami-istri sebab akad pernikahan dianggap ada sampai
ada ketetapan yang menghapuskan kehalalan itu. Demikian pula halnya dengan
tanggungan karena utang piutang atau sebab ketetapan apa saja, dianggap tetap
ada sampai ada ketetapan yang menghapuskannya. Tanggungan yang telah dibebaskan
dari orang yang terkena tunuttan utang piutang atau ketetapan apa saja yang
dianggap bebas sampai ada ketetapan yang membebaskannya. Singkatnya asal
sesuatu itu adalah ketetapan sesuatu yang telah ada, menurut keadaan semula
sampai terdapat sesuatu yang mengubahnya.
Istishhab juga
telah dijadikan dasar bagi prinsip-prinsip syariat antara lain sebagai berikut,
”Asal sesuatu adalah ketetapan yang ada menurut keadaan semula sehingga
terdapat suatu ketetapan yang mengubahnya”. Sesuai dengan kaidah:
الأصل فى
الأشياء الإباحة
Artinya: “pangkal sesuatu itu
adalah kebolehan”.
Pendapat yang
dianggap benar adalah Istishhab bisa dijadikan dalil hukum karena hakikatnya
dalillah yang telah menetapkan hukum tersebut. Istishab itu adalah tiada lain
menetapkan dalalah dalil pada hukumnya.[29]
D.
PENDAPAT ULAMA
TENTANG ISTISHHAB
Ulama
Hanafiyah menetapkan bahwa Istishhab itu merupakan hujjah untuk mempertahankan
dan bukan untuk menetapkan apa-apa yang dimaksud oleh mereka. Dengan pernyataan
tersebut jelaslah bahwa Iatishhab merupakan ketetapan sesuatu, yang telah ada
menurut keadaaan semula dan juga mempertahankan sesuatu yang berbeda sampai ada
dalil yang menetapkan atas perbedaannya.
Istishhab
bukanlah hujjah untuk menetapkan sesuatu yang tidak tetap. Telah dijelaskan
tentang penetapan orang yang hilang atau yng tidak diketahui tempat tinggalnya
dan tempat kematiannya, bahwa orang tersebut ditetapkan tidak hilang dan
dihukumi sebagai orang yang hidup sampai adanya petunjuk yang menunjukkan
kematiannya.
Istishhab-lah
yang menunjukkan atas hidupnya orang tersebut dan menolak dugaan kematiannya
serta warisan harta bendanya juga peceraian pernikahannya. Tetapi hal itu bukanlah
hujjah untuk menetapkan pewaris dari lainnya, karena hidup yang ditetapkan
menurut istishhab itu adalah hidup yang didasarkan pengakuan.[30]
BAB III
KESIMPULAN
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa istihsan adalah keterkaitan dengan penerapan
ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara umum baik dari
nashh, ijma atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat
diberlakukan dan harus dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus
dan spesifik. Adapun macam-macam istihsan ada empat yaitu, istihsan dengan nash, istihsan dengan ijmak, istihsan dengan
darurat, dan istihsan dengan kias khafi. Dikalangan ulama’pun terdapat perbedaan
pendapa mengenai istihsan, bahkandikalangan Ulama’ Syafi’I tidak mengakui
adanya istihsan, mereka berpendapat bahwa menggunakan istihsan seperti membuat
syari’at sendiri.
Kemudian
yang dimaksud istishhab adalah memberlakukan hukum suatu peristiwa sesuai
dengan keadaannya semula (hukum asal), selama tidak ada dalil yang menentukan
hukum lain yang berbeda dengan hukum asal. Seperti halnya dengan istihsan,
istishhab pun terbagi menjadi empat macam diantaranya, Istishhab
al-Bara’ah al-Ashliyyah, Istishhab al-Ibahah al-Ashliyyah, Istishhab Ma Dalla al-Syar’u ‘ala Tsubut, Istishhab
al-Washfi.
Dan para Ulama’pun sepakat menjdikan istishhab ini sebagai hujjah dalam hukum
islam.
DAFTAR PUSTAKA
Buchori,
Ahmad, 2011, “Istishab Sebagai Dalil Ushul Fiqh”, (Online), (http://eling-buchoriahmad12.blogspot.com/2011/06/istishab-sebagai-dalil-ushul-fiqh.html, Diakses tanggal 21 April 2015, 13:45 WIB)
Iskandar, Usman, 1994, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta:
PT RajaGrafindo
Khallaf, Abdul Wahhab, 1994. Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama
Syafe’I, Rachmat, 2007, Ilmu Ushul Fiqih Untuk UIN, STAIN,
PTAIS, Bandung: PUSTAKA SETIA
Syihab, Umar, 1996, Hukum Islam dan Trasformasi Pemikiran,
Semarang: Dina Utama
![]() |
[1]
Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih Untuk UIN, STAIN, PTAIS, (PUSTAKA STIA:
Bandung, 2007) hal, 111-112
[2] Iskandar Usman
, ISTIHSAN dan PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM, (PT RajaGrafindo: Jakarta, 1994)
hal, 25
[3]
Ibid,.
[4]
Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih Untuk UIN, STAIN, PTAIS, (PUSTAKA SETIA:
Bandung, 2007) hal, 112
[5]
Ibid,.
[6]
Ibid,.
[7]
Ibid,.
[8]
Iskandar Usman
, ISTIHSAN dan PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM, (PT RajaGrafindo: Jakarta, 1994)
hal, 63
[9]
Ibid, hal 64
[10]
Ibid, hal 49
[11]
Ibid, hal 50
[12]
Ibid,
[13]
Ibid, hal 51
[14]
Ibid, hal 52
[15]
Ibid,
[16]
Ibid, hal 55
[17]
Ibid,
[18]
Ibid, hal 56
[19]
Ibid, hal 57
[20]
Ibid,.
[21]
Ibid, hal 58
[22] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Dina Utama: Semarang,1994),hlm.127.
[23]
http://eling-buchoriahmad12.blogspot.com/2011/06/istishab-sebagai-dalil-ushul-fiqh.html
[24] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Dina Utama: Semarang,1994),hlm.127.
[25] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih
Untuk UIN, STAIN, PTAIS, (PUSTAKA STIA: Bandung, 2007), hlm.125.
[27] Umar Syihab, Hukum Islam dan
Transformasi Pemikiran, (Dina Utama: Semarang, 1996), hlm.33.
[28]
http://eling-buchoriahmad12.blogspot.com/2011/06/istishab-sebagai-dalil-ushul-fiqh.html
[29] Ibid.
[30] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih
Untuk UIN, STAIN, PTAIS, (PUSTAKA STIA: Bandung, 2007), hlm.127.
No comments:
Post a Comment