NEGARA
PANCASILA SEBAGAI NEGARA YANG BERKETUHANAN YANG MAHA ESA

Tugas ini disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam
dengan Dosen Pengampu :
M. Julijanto, M.Pd, M.Ag
Disusun oleh :
Eli Purnamasari (113111103)
Siti Marfuah (113111367)
Irwanto
(143111305)
Abdul Wahab ( )
FAKULTAS ILMU
TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2015
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya yang tiada terkira, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan judul “NEGARA PANCASILA SEBAGAI NEGARA YANG BERKETUHANAN
YANG MAHA ESA “.
Tak
lupa kami juga mengucapkan ribuan terimakasih kepada segenap keluarga yang
telah banyak memberikan dukungan, kasih, kepercayaan yang begitu besar. Dari
sanalah kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit
kebahagiaan dan menuntun kepada langkah yang lebih baik lagi.
Meskipun
penulis berharap makalah ini terbebas dari kesalahan dan kekurangan namun,
masih saja banyak kuranganya, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
Akhir
kata penulis berharap, mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surakarta, Desember 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I
A. Latar belakang 1
B. Rumusan masalah 2
C. Tujuan masalah 2
BAB II
A. Hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa 3
B. Hubungan
Negara Dengan Agama Menurut Pancasila 4
C. Negara
Pancasila sebagai Negara yang Berketuhanan Yang Maha Esa 6
D. Implikasi
Agama Dalam Kehidupan
Berdasarkan Pancasila 8
BAB III
Kesimpulan 11
Daftar Pustaka 12
BAB I
A. Latar Belakang
Dasar ontologis negara kebangsaan indonesia yang
berdasarkan pancasila merupakan hakikat manusia “monopluralis”. Manusia secara
filosofis memilliki unsur jasmani dan rohani. Sifat kodrat sebagai mahluk
individu dan mahluk sosial serta kedudukan kodrat sebagai mahluk Tuhan Yang
Maha Esa serta sebagai mahluk pribadi penjelmaan hakikat manusia monopluralis
tersebut dalam suatu persekutuan hidup yang disebut bangsa dan negara adalah
suatu negara kebangsaan yang integralistik dan Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.[1]
Oleh karana itu setiap individu yang hidup dalam
suatu bangsa adalah mahluk Tuhan maka maka bangsa dan negara sebagai totalitas
yang integrala adalah Berketuhanan, demikian pula setiap warganya juga
Berketuhanan Yang Maha Esa.[2]
Negara tidak memaksa dan tidak memaksakan agama
karena adalah merupakan suatu keyakinan batin yang tercermin dalam hati
sanubari dan tidak dapat dipaksakan. Kebebasan beragama dan kebebasan agama
merupakan hak asasi manusia yang paling mutlak, karena bersumber langsung pada
martabat manusia yang berkedudukan kodrat sebagai pribadi dan sebagai mahluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Setiap umat beragama masing-masing diberikan
kebebasan untuk menggali dan meningkatkan kehidupan spiritualnya dalam masing-masing
agama. Negara wajib memelihara budi dan pekerti yang luhur dari setiap warga
negara pada umumnya dan para penyelenggara negara berdasarkan nilai-nilai
pancasila.[3] Oleh
karena itu didalam makalah ini akan dibahas mengenai hakikat negara Yang Berketuhanan
Yang Maha Esa.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
Hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa?
2. Bagaimana
Hubungan Negara Dengan Agama Menurut Pancasila?
3. Bagaimana
Negara pancasila sebagai Negara yang Berketuhanan Yang Maha Esa?
4. Bagaimana
Implikasi Agama
Dalam Kehidupan Berdasarkan Pancasila?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk
mengetahui Hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Untuk
memahami Hubungan Negara Dengan Agama Menurut Pancasila
3. Untuk
bentuk Negara pancasila sebagai Negara yang Berketuhanan Yang Maha Esa
4. Memahami
Implikasi Agama
Dalam Kehidupan Berdasarkan Pancasila
BAB II
A. Hakikat Ketuhanan
Yang Maha Esa
Sila pertama pancasila sebagai dasar filsafat negara
adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu sebagai dasar negara maka
sila tersebut merupakan sumber nilai dan sumber norma dalam setiap aspek
penyelenggaraan negara, baik yang bersifat material mauun spiritual. Dengan
kata lain bahwa segala aspek penyelenggaraan negara harus sesuai dengan hakikat
nilai-nilai yang berasal dari Tuhan baik yang brsifat material maupun
soiritual.
Hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa secara ilmiyah
filosofis mengandung makna terdapat kesesuaian hubungan sebab-akibat antara
Tuhan, manusia dan negara. Hubungan tersebut baik bersifat langsung maupun
tidak langsung. Manusia kedudukan kodratnya adalah sebagai mahluk Tuhan Yang
Maha Esa. Adapun hakikat Tuhan adalah sebagai “causa prima” (sebab pertama).
Adapun manusia diciptakan oleh Tuhan karena manusia adalah sebagai mahluk
Tuhan.[4]
Dalam hubungannya dengan negara maka antara manusia
dengan negara terdapat hubungan sebab akibat yang langsung karena negara adalah
lembaga kemanusiaan, lembaga kemasyarakatan yang dibentuk oleh manusia dan
segala tujuannya untuk manusia. adapun kedudukan kodrat manusia adalah sebagai
mahluk pribadi dan sebagai mahluk tuhan Yang Maha Esa oleh karena itu antara
Tuhan dan Negara ada hubungan sebab akibat yang tidak langsung. Konsekuensinya
negara kebangsaan menurut pancasila adalah negara kebangsaan yang Berketuhanan
Yang Maha Esa, selain itu setiap warga negara juga berketuhanan yang maha esa
dalam arti memiliki kebebasan memeluk agama sesuai dengan keimanan dan
ketakwaan masing-masing.[5]
Sebagai wujud pengamalan manusia sebagai mahluk yang
Berketuhanan Yang Maha Esa adalah, (1) Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradap; (2) Hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk
agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina
kerukunan hidup; (3) Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai
dengan agama dan kepercayaannya; (4) Tidak memaksakan suatu agama dan
kepercayaan kepada orang lain.[6]
Dalam kaitan dengan tertib Hukum Indonesia maka secara material nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa harus merupaka sumber bahan dan sumber nilai bagi hukum
positif di Indonesia.
B. Hubungan Negara Dengan Agama Menurut Pancasila
Hubungan Negara dengan Agama hakikatnya adalah
merupakan suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrat
manusia sebagai makhluk individu dan makhluk social. Oleh karena itu sifat
dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar negara, sehingga negara
sebagai manifestasi kodrat manusia secara horizontal dalam hubungan manusia
dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama dan negara memiliki sebab
akibat langsung dengan manusia adalah sebagai pendiri negara serta untuk
mencapai tujuan manusia itu sendiri. Namun perlu disadari bahwa manusia
sebagai warga hidup bersama, berkedudukan kodrat sebagai makhluk pribadi
dan sebagai makhluk sosial Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai makhluk pribadi ia
dikarunia kebebasan atas segala kehendak kemanusiannya, sehingga hal inilah
yang merupakan suatu kebebasan asasi yang merupakan karunia dari Tuhan
Yang Maha Esa sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa ia memiliki hak dan kewajiban
untuk memenuhi harkat kemanusiaanya yaitu menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa.[7]
Menurut Pancasila hubungan agama dengan negara
adalah negara berdasar atas ketuhanan dan bangsa Indonesia adalah bangsa yang
berketuhanan, tidak ada tempat bagi atheisme dan sekulerisme, tidak ada tempat
bagi pertentangan dan pemaksaan agama, adanya toleransi, segala aspek
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara berdasarkan nilai ketuhanan. Dan dalam
sila Pancasila ketuhanan berada pada tingkatan yang paling atas, yang menjadi
naungan atau landasan atau dasar dari sila-sila berikutnya. Dapat dikatakan
negara Indonesia membutuhkan agama.[8]
Di Indonesia terdapat berbagai macam agama, meliputi
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Cu. Keberagaman agama ini
terkadang menimbulkan konflik social diantara penganutnya. Menurut Hasrul Hanif
dalam film Para Liyan, beliau berpendapat bahwa konflik social merupakan
sesuatu yang wajar, dalam arti perbedaan nilai atau perbedaan pandangan tetapi
yang perlu diminimalisasi apabila konflik tersebut berubah menjadi kekerasaan”.
Konflik tersebut dapat dipicu karena adanya perbedaan dalam hal keadilan
ekonomi, politik atau tokoh-tokoh yang hanya mengedepankan kepentingan
kelompoknya. Selain itu konflik, perbedaan, dan kebencian antar beragama dapat
muncul karena persepi awal dalam diri seseorang yang tertanam dari kebiasaan
yang timbul dalam kehidupan sehari-hari.[9]
Sebenarnya hal ini dapat dicegah apabila setiap
orang memiliki toleransi yaitu mengakui dan menghargai orang lain dan juga
pluralism yang lebih kepada memahami orang lain. Ada ayat dalam Al Quran yang
menjelaskan tentang toleransi dalam beragama, yaitu Lakum diinukum waliyadiin,
yang artinya bagi kalian adalah hak dalam menjalankan agama kalian dan bagi
saya adalah hak dalam menjalankan agama saya, bukan berarti pengabaian terhadap
seseorang yang beragama berbeda tetapi merupakan sebuah penghormatan. Perbedaan
terhadap orang lain itu sendiri muncul karena nilai-nilai dalam kehidupan
sehari-hari maka yang perlu dilakukan adalah mampukah kita mengubah cara
berpikir dan memandang orang lain atau the others sebagai musuh, tetapi
memandang orang lain tersebut sebagai advertserial dan membuang
prasangka-prasangka buruk yang sejatinya kita belum memahami hal tersebut. Dan
dalam kutipan salah satu tokoh dalam film Para Liyan, beliau mengatakan bahwa
untuk apa beragama jika agama tersebut hanya membuat orang lain menderita. Hal
ini dapat menjadi sebuah kunci bagi kita dalam beragama dan sebelum menyebutkan
diri kita sebagai seseorang yang beragama.[10]
C. Negara Pancasila
Sebagai Negara yang Berketuhanan Yang Maha Esa
Negara
pancasila adalah negara kebangsaan yang berketuhanan yang maha esa. Sesuai
dengan makna negara kebangsaan indonesia yang berdasarkan pancasila adalah
kesatuan integral dalam kehidupan bangsa dan negara, maka memiliki sifat
kebersamaan, kekeluargaan serta religiusitas. Dalam pengertian inilah maka
negara pancasila pada hakikatnya adalah negara kebangsaan yamng berketuhanan
yang maha esa. Rumusan ketuhanan yang maha esa sebagai mana terdapat dalam
pembukaan UUD 1945, telah memberikan sifat yang khas kepada negara kebangsaan
indonesia, yaitu bukan merupakan negara sekuler yang memisahkan antara agama
dengan negara demikian juga bukan merupakan negara agama yaitu negara yang
mendasarkan atas negara agama tertentu.
Negara
tidak memaksa dan tidak memaksakan agama karena agama adalah merupakan suatu
keyakinan batin yang tercermin dalam hati sanubari dan tidak dapat di paksakan.
Kebebasan beragama dan kebebasan agama adalah merupakan hak asasi manusia yang
paling mutlak, karena langsung bersumber pada martabat manusia yang
berkedudukan sebagai mahluk pribadi dan mahluk ciptaan tuhan yang maha esa.
Oleh karena itu agama bukan pemberian negara atau golongan tetapi hak beragama
dan kebebasan beragama merupakan pilihan pribadi manusia dan tanggung jawab
pribadinya.
Hubungan
negara dengan agama menurut negara pancasila adalah sebagai berikut:
a. Negara
adalah berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Bangsa
indonesia adalah sebagai bangsa yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Konsekuensinya
setiap manusia memiliki hak asasi untuk memeluk dan menjalankan ibadah sesuai
dengan agama masing-masing.
c. Tidak
ada tempat bagi atheisme dan sekulerisme karena hakekatnya manusia berkedudukan
kodrat sebagai mahluk Tuhan.
d. Tidak
ada tempat pertentangan agama, golongan agama, antar dan inter pemeluk agama
serta antar pemeluk agama.
e. Tidak
ada tempat bagi pemaksaan agama karena ketaqwaan itu bukan hasil paksaan
siapapun juga.
f. Oleh
karena itu harus memberikan toleransi terhadap orang lain dalam menjalankan
agama dan negara.
g. Segala
aspek dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara harus sesuai dengan
nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa terutama norma-norma hukum positif maupun
norma moral baik moral negara maupun moral para penyelenggara negara.
h. Negara
pada hakikatnya adalah merupakan berkat rahmat Allah Yang Maha Esa.
Menurut paham theokrasi hubungan negara dengan agama
merupakan hubungan yang tidak dapat di pisahkan karena negara menyatu dengan
agama dan pemerintahan dijalankan berdasarkan firman-firman tuhan. Dengan
demikian agama menguasai masyarakat politis. Dalam praktik kenegaraan, terdapat
dua macam pengertian negara theokrasi yaitu theokrasi langsung dan negara
theokrasi tidak langsung.
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa
negara pancasila adalah negara yang melindungi seluruh agama di seluruh wilayah
tumpah darah. Sebagaimana tersebut dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945 memberikan
kebebasan kepada seluruh warga negara untuk memeluk agama dan menjalankan
ibadah sesuai dengan keimanan dan ketaqwaan masing-masing. Negara kebangsaan
yang berketuhanan yang maha esa adalah negara yang merupakan penjelmaan dari
hakikat kodrat manusia sebagai individu mahluk, sosial dan manusia adalah
pribadi dan mahluk adalah tuhan yang maha esa.
D. Implikasi
Agama dalam Kehidupan Berdasarkan Pancasila
Nilai-nilai
pancasila dalam kehidupan umat islam tidak akan mencampuradukkan antara Al
Qur’an dan Sunnah, juga tidak akan mencampuradukkan antara Agama dan pancasila.
Pancasila merupakan konsensus nasional untuk menjadi ideologi dan dasar
falsafah negara, sedangkan Agama berasal dari Tuhan Yang Maha Esa untuk menjadi
pedoman hidup umat manusia termasuk termasuk umat manusia yang hidup dinegara
Pancasila.
Walaupun
demikian negara Pancasila bukan negara sekular[11]. Di Negara sekular, agama
terpisah dari negara. Negtara tidak campur tangan dalam masalah agama,
sedangkan di Negara Pancasila, negara mempunyai peranan dalam pembangunan
diberbagai sektor, termasuk pembangunan sektor Agama sebagaimana tercantum
dalam GBHN dan REPELITA. Umat islam bersyukur menjadi warga negara Pancasila
bukan menjadi warga negara sekular. Sehingga Agama mempunyai tempat terhormat
di Negara Pancasila.[12]
Pancasila dan agama dapat diaplikasikan seiring
sejalan dan saling mendukung. Agama dapat mendorong
aplikasi nilai-nilai Pancasila, begitu pula Pancasila memberikan ruang
gerak yang seluas-luasnya terhadap usaha-usaha peningkatan pemahaman,
penghayatan dan pengamala agama. Abdurrahman Wahid (Gusdur) pun
menjelaskan bahwa sudah tidak relevan lagi untuk melihat apakah
nilai-nilai dasar itu ditarik oleh Pancasila dari agama-agama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, karena ajaran agama-agama juga
tetap menjadi referensi umum bagi Pancasila,
dan agama-agama harus memperhitungkan eksistensi Pancasila
sebagai “polisi lalu lintas” yang akan menjamin semua
pihak dapat menggunakan jalan raya kehidupan
bangsa tanpa terkecuali.[13]
Moral Pancasila bersifat rasional, objektif dan
universal dalam arti berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. Moral Pancasila juga
dapat disebut otonom karena nilainilainya tidak mendapat pengaruh dari luar hakikat
manusia Indonesia, dan dapat dipertanggungjawabkan
secara filosofis. Tidak dapat pula diletakkan adanya bantuan dari
nilai-nilai agama, adat dan budaya, karena
secara
de facto nilai-nilai Pancasila berasal dari
agama
agama serta budaya manusia Indonesia.
Hanya saja nilai-nilai yang hidup
tersebut tidak menentukan dasar-dasar Pancasila, tetapi memberikan bantuan dan memperkuat
sejalan dengan pendapat tersebut, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) menyatakan dalam Sambutan pada Peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober
2005.
“Bangsa
kita adalah bangsa yang relijius; juga, bangsa yang menjunjung tinggi, menghormati
dan mengamalkan ajaran agama masing-masing. Karena itu, setiap umat beragama
hendaknya memahami falsafa Pancasila itu sejalan dengan nilai-nilai
ajaran agamanya masing-masing. Dengan demikian, kita akan
menempatkan falsafah negara di posisiny yang wajar. Saya
berkeyakinan dengan sedalam-dalamnya bahwa lima sila didalam Pancasila itu selaras dengan
ajaran agama-agama yang hidup dan berkembang
di tanah air. Dengan demikian, kita dapat menghindari
adanya perasaan kesenjangan antara meyakini dan mengamalkan ajaran-ajaran
agama, serta untuk menerima Pancasila sebagai
falsafah negara”.[14]
Dengan penerimaan Pancasila oleh hampir seluruh
kekuatan bangsa sebenarnya tidak ada alasan lagi untuk
mempertentangkan nilai-nilai Pancasila dengan agama mana pun di
Indonesia. Penerimaan sadar ini memerlukan waktu lama tidak kurang dari 40 tahun
dalam perhitungan Maarif, sebuah pergulatan sengit yang telah menguras
energi kita sebagai bangsa. Sebagai buah dari
pergumulan panjang itu, sekarang secara teoretik dari kelima nilai
Pancasila tidak satu pun lagi yang dianggap berlawanan
dengan agama. Sila pertama berupa “Ketuhanan Yang Maha Esa” dikunci
oleh sila kelima.[15]
Diharapkan sebagai bangsa indonesia yang rakyatnya memilik
berbagai macam suku, budaya dan agama, harus saling menghormati, manghargai dan
menyayangi antara satu suku dan suku lainnya dan antara satu agama dan agama
lainnya. Agar timbul kedamaian dan kerukunan di negara ini. Jangan hanya karena
merasa berasal dari agama mayoritas, kita merendahkan
umat yang berbeda agama ataupun membuat aturan yang secara
langsung dan tidak langsung memaksakan aturan agama yang dianut atau
standar agama tertentu kepada pemeluk agama lainya dengan dalih moralitas.[16]
Hendaknya kita tidak menggunakan standar sebuah
agama tertentu untuk dijadikan tolak ukur nilai moralitas bangsa Indonesia.
Untuk semakin memperkuat rasa bangga terhadap Pancasila dan memahami tentang
kerukunan beragama maka perlu adanya peningkatan pengamalan butirbutir
Pancasila khususnya sila ke-1.[17]
Untuk menjadi sebuah negara Pancasila yang nyaman
bagi rakyatnya, diperlukan adanya jaminan keamanan dan kesejahteraan setiap
masyarakat yang ada didalamnya. Khususnya jaminan keamanan dalam melaksanakan kegiatan
beribadah.
BAB III
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, Hakikat
Ketuhanan Yang Maha Esa secara ilmiyah filosofis mengandung makna terdapat
kesesuaian hubungan sebab-akibat antara Tuhan, manusia dan negara. Hubungan
tersebut baik bersifat langsung maupun tidak langsung. Manusia kedudukan
kodratnya adalah sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa Hubungan
Negara dengan Agama hakikatnya adalah merupakan suatu persekutuan hidup bersama
sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk
social.
Negara
pancasila adalah negara yang melindungi seluruh agama di seluruh wilayah tumpah
darah. Sebagaimana tersebut dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945 memberikan
kebebasan kepada seluruh warga negara untuk memeluk agama dan menjalankan
ibadah sesuai dengan keimanan dan ketaqwaan masing-masing. Negara kebangsaan
yang berketuhanan yang maha esa adalah negara yang merupakan penjelmaan dari
hakikat kodrat manusia sebagai individu mahluk, sosial dan manusia adalah
pribadi dan mahluk adalah tuhan yang maha esa. Pancasila dan agama
dapat diaplikasikan seiring sejalan dan saling mendukung. Agama dapat mendorong
aplikasi nilai-nilai Pancasila, begitu pula Pancasila memberikan ruang
gerak yang seluas-luasnya terhadap usaha-usaha peningkatan pemahaman,
penghayatan dan pengamala agama
DAFTAR
PUSTAKA
Atika, Suraya, 2014, “pancasila dan
agama”, (online), (http://suraya-atika.blogspot.com/2014/11/pancasila-dan-agama.html)
diakses tanggal 13 April 2015
Effendy, 1993, Falsafah Negara
Pancasila, Semarang: DUTA GRAFIKA
Kaelan, 2010, Pendidikan Pancasila, yogyakarta:
PARADIGMA
Kansil, 1996, Latian Ujian Negara
Pancasila, Jakarta: SINAR GRAFIKA
Muchi,
Achmad dkk, 2007. Seri diktat kuliah pendidikan pancasila.hal 42-47. Jakarta:
Universitas Gunadarma
………, 2014, “Hubungan Agama
Dengan Negara”, (online), (https://dindhut.wordpress.com/2014/03/07/hubungan-agama-dengan-negara)
diakses tanggal 13 April 2015
[1] Kaelan, pendidikan
pancasila, (Yogyakarta: Pradigma, 2010) hal, 132
[2] Ibid,.
[3] Ibid,
hal, 133
[4]
Kaelan, pendidikan pancasila, (Yogyakarta: Pradigma, 2010) hal, 134
[5]
Ibid,.
[6] Kansil, Latian
Ujian Negara Pancasila, (Jakarta: SINAR GRAFIKA, 1996) hal, 41
[7]
http://www.academia.edu/6702087/BAB_I_PENDAHULUAN_1
[8]
https://dindhut.wordpress.com/2014/03/07/hubungan-agama-dengan-negara/
[9] Ibid,
[10] Ibid,.
[11] Negara
sekular adalah salah satu
konsep sekularisme,
di mana sebuah negara menjadi netral dalam permasalahan agama, dan tidak
mendukung orang beragama maupun orang yang tidak beragama. Negara sekuler juga
mengklaim bahwa mereka memperlakukan semua penduduknya sederajat, meskipun
agama mereka berbeda-beda, dan juga menyatakan tidak melakukan diskriminasi
terhadap penduduk beragama tertentu. Negara sekuler juga tidak memiliki agama
nasional
[12]
Effendy, Falsafah Negara Pancasila, (Semarang: DUTA GRAFIKA, 19932)
hal, 246
[13]
http://suraya-atika.blogspot.com/2014/11/pancasila-dan-agama.html
[14]
Ibid,.
[15] Ibid,.
[16] Ibid,.
[17] Ibid,.
No comments:
Post a Comment