Sunday, 5 April 2015

MASA KEPEMIMPINAN KHULAFAUR RASYIDIN






Tugas ini disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
dengan Dosen Pengampu : Arifin Nur M.Pd.I
Disusun oleh :
Hajar Mustofa             (143111329)
Irwanto                       (143111305)
Sekar Tanjung K.        (14311



FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2014


Kata Pengantar

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat, hidayah, dan inayah-Nya yang tiada terkira, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “MASA KEPEMIMPINAN KHULAFAUR RASYIDIN “.
            Tak lupa kami juga mengucapkan ribuan terimakasih kepada segenap keluarga yang telah banyak memberikan dukungan, kasih, kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun kepada langkah yang lebih baik lagi.
            Meskipun penulis berharap makalah ini terbebas dari kesalahan dan kekurangan namun, masih saja banyak kuranganya, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
            Akhir kata penulis berharap, mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Surakarta,            Desember 2014
Penyusun

Daftar Isi

Kata pengantar                                                                     i
Daftar isi                                                                                ii
Bab I
a.       Latar belakang                                                                        1
b.      Rumusan masalah                                                       1
c.       Tujuan masalah                                                           1
Bab II
a.       Pengertian Khulafaur Rasyisddin                               2
b.      Perkembangan islam masa Khulafaur Rasyiddin        2
1.      Masa Abu Bakar As-Shidiq                                  2
2.      Masa Umar bin Khottob                                       8                     
3.      Masa Utsman bin Affan                                       13
4.      Masa Ali bin Abu Tholib                                      16
Bab III
a.       Kesimpulan                                                                 24
Daftar pustaka                                                                      25



BAB I
A.    LATAR BELAKANG
Disadari ataupun tidak, sesungguhnya manusia memiliki naluri dan watak berpolitik, watak untuk mengatur, mempengaruhi, dan menghegemoni orang lain. Berpolitik merupakan aktualisasi diri dalam ranah publik sebagai bukti bahwa dirinya memiliki  kekuatan  yang  dapat  didarmabaktikan  kepada  bangsa  dan  negara  atau kepada masyarakat luas. Selain itu berpolitik juga panggilan dari ajaran Islam, salah satunya untuk melakukan dakwah amar makruf nahi munkar. Tidaklah herakan kalau dalam bentangan sejarah yang panjang, sejak Rasulullah Muhammad saw, khulafaurrasyidin, Umayyah (661-750) sampai Abbasiyah (750-1258)   diwarnai kejayaan dalam bidang politik, karena kemampuannya melakukan ekspansi atau futuhat ke negara-negara atau daerah lain.
Selain itu, karena persoalan politik juga, perpecahan, peperangan dan pertumpahan darah di tubuh umat Islam tidak dapat dielakkan. Beberapa contohnya adalah, terjadinya perang siffin antara khalifah dengan gubernur (Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyyah), Perang jamal   antara menantu dan mertua (Ali bin Abi Thalib dengan ‘Aisyah), sehingga islam ini takkan lepas dari masalah politik. Untuk lebih jelasnya masa-masa politik yang terjadi pada masa kepemimpinan khulafaurrasidin akan dikupas di dalam makalah ini.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud Khulafaur Rasyddin?
2.      Bagaimana perkembangan islam pada masa Khulafaur Rasyiddin?

C.    TUJUAN MASALAH
1.      Memahami apa yang dimaksud dengan Khulafaur Rasyiddin
2.      Mengetahui perkembangan islam pada masa Khulafaur Rasyiddin

BAB II

A.  PENGERTIAN KHULAFAURRASUDIN
Nabi Muhammad Saw. meninggal pada tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 11 Hijrah, bertepatan dengan 9 Juni 632 M. Beliau meninggal setelah sebelumnya menderita sakit. Setelah beliau meninggal, umat Islam kemudian mengharuskan untuk mencari orang yang akan menggantikan kedudukannya sebagai kepala negara. Kedudukan beliau sebagai nabi tidak dapat digantikan, karena beliau adalah nabi terahir.[1]
Diantara orang-orang yang terpilih untuk menggantikan kedudukan nabi Muhammad SAW. diantaranya adalah, Abu Bakar As-Shidiq, kemudian Ummar bin Khothob, Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Tholib. Keempat sahabat tersebutlah yang mendapat sebutan “khulafaur raysidin”
Khulafaur Rasyidin sendiri berasal dari dua kata yaitu khalifah, yang artinya pengganti dan ar-Rasyidin yang artinya cendikiawan atau orang yang bijak. Dengan demikian Khulafaur Rasyidin berarti para pengganti cendekia atau yang bijak.[2]
Dalam kehidupan sehari-hari para pengganti nabi ini mendapat julukan Khalifah. Misalnya, Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar, Khalifah Utsman, dan khalifah Ali. Dalam sejarah Islam, sebutan Khulafaur Rasyidin semua hanya dipakai untuk empat orang khalifah tersebut.

B.  PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN

1.  Masa Khalifah Abu Bakar As-Shidiq (11-13 H/632-634 M)
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, pemuka-pemuka Islam segera bermusyawarah  untuk  mencari  pengganti  Rasulullah  SAW.  Setelah  terjadi  perdebatan sengit antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin, akhirnya terpilihlah sahabat Abu Bakar sebagai Khalifah. Keputusan Rasulullah SAW yang tidak menunjuk penggantinya sebelum beliau wafat dan menyerahkan pada forum musyawarah para sahabat merupakan produk budaya Islam yang  mengajarkan   bagaimana  cara  mengendalikan   negara  dan   pemerintah   secara bijaksana dan demokratis. Terpilihnya Abu Bakar sebagai Khalifah yang pertama dalam ketatanegaraan Islam merupakan salah satu refleksi dari konsep politik Islam.
Abu Bakar menerima jabatan Khalifah pada saat Islam dalam keadaan krisis dan  gawat.  Yaitu  timbulnya  perpecahan,  munculnya  para  nabi  palsu  dan  terjadinya berbagai pemberontakan yang mengancam eksistensi negeri Islam yang masih baru. Memang pengangkatan Abu Bakar berdasarkan keputusan bersama (musyawarah di balai Tsaqifah Bani Sa’idah) akan tetapi yang menjadi sumber utama kekacauan ialah wafatnya nabi dianggap sebagai terputusnya ikatan dengan Islam, bahkan dijadikan persepsi bahwa Islam telah berakhir.
Abu Bakar bukan hanya dikatakan sebagai Khalifah, namun juga sebagai penyelamat Islam dari kehancuran karena beliau telah berhasil mengembalikan ummat Islam yang telah bercerai berai setelah wafatnya Rasulullah SAW. Disamping itu beliau juga berhasil memperluas wilayah kekuasaan Islam. Jadi dapat disimpulkan bahwa letak peradaban pada masa Abu Bakar adalah dalam masalah agama (penyelamat dan penegak agama Islam dari  kehancuran  serta  perluasan  wilayah)  melalui  sistem  pemerintahan  (kekhalifahan) Islam.

Abu Bakar terpilih menjadi khalifah disebabkan oleh beberapa hal berikut:
1.    Dekat dengan Rasulullah baik dari ilmunya maupun persahabatannya.
2.    Sahabat yang sangat dipercaya oleh Rasulullah.
3.      Dipercaya oleh rakyat, sehingga beliau mendapat gelar As–Siddiq, orang yang sangat dipercaya.
4.    Seorang yang dermawan.
5.    Abu Bakar adalah sahabat yang diperintah Rasulullah SAW menjadi Imam Shalat jama’ah.
6.    Abu  Bakar  adalah  termasuk  orang  yang  pertama  memeluk  Islam.[3]

a.    Biografi singkat Abu Bakar As-Shiddik
Bernama lengkap Abdullah Abi Quhafah At-Tamimi. Pada zaman pra Islam ia bernama Abu Ka’bah, kemudian diganti oleh Nabi SAW. menjadi Abdullah. Beliau lahir pada tahun 573 M, dan wafat pada tanggal 23 Jumadil akhir tahun 13 H bertepatan dengan bulan Agustus 634 M, dalam usianya 63 tahun, usianya lebih muda dari Nabi SAW 3 tahun.  Diberi julukan Abu Bakar atau pelopor pagi hari, karena beliau termasuk orang laki-laki  yang  masuk Islam pertama kali. Sedangkan  gelar As-Shidiq diperoleh  karena beliau senantiasa membenarkan semua hal yang dibawa Nabi SAW terutama pada saat peristiwa Isra’ Mi’raj.[4]
Abu Bakar adalah sahabat yang menemani Nabi Muhammad Saw. Ketika hijrah ke Madinah. Ketika menetap di Madinah, Abu Bakar merupakan tangan kanan Nabi. Nabi sering bermusyawarah dengan Abu Bakar dalam hal-hal yang bersifat khusus. Bahkan ada yang menyebut Abu Bakar sebagai menteri Rasulullah. Abu Bakar pulalah yang diserahi untuk menjadi imam shalat ketika Rasulullah sedang sakit. Di luar itu semua, Abu Bakar adalah mertua Rasulullah, karena puterinya, Aisyah, diperisteri Nabi. Pendek kata, sesungguhnya Abu Bakar adalah seorang yanng telah berbagi suka dan duka bersama Rasulullah
Abu Bakar meninggal dunia pada tahun 634 M/13 H. tepatnya pada tanggal 21 Jumadil Ahir/22 Agustus 634 M. yaitu ketika pasukan angkatan perangnya sedang berusaha menaklukan Palestina, Irak, dan Kerajaan Hirah. Ketika sedang sakit, dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para sahabatnya yang terkemuka untuk mengangkat Umar bin Khathab sebagai penggantinya.

b.   Pembaiatan Abu Bakar As-Shidiq
Setelah Rasulullah saw. meninggal dunia, kaum Anshar berkumpul diSaqiifah bani Saa'idah mereka menghendaki agar orang yang akan menggantikan Rosulullah sebagai pemimpin umat islam dipilih dari antara mereka, yaitu Sa'd bin 'Ubaidah r.a.   untuk memegang tampuk kepemimpinan. Dalam pada itu Ali ibnu Abi Tholib mengingini agar beliaulah yang diangkat menjadi Khalifah, berdasarkan kedudukan beliau dalam islam apa lagi beliau adalah menantu dan karib Nabi. Tetapi bahagian banyak dari kaum muslimin menghendaki Abu Bakar, maka terpilihlah beliau menjadi Khalifah.[5]
Sesudah Abu Bakar diangkat menjadi Kholifah beliau berpiudato. Dalam pidatonya itu dijelaskannya sisat pemerintahan yang akan beliau jalankan. Dalam pidatonya tersebut beliau berkata:
“Wahai manusia, Saya telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik diantaramu. Maka jikalau aku menjalankan tugasku dengan baik, ikutlah aku, tetapi jika aku berbuat salah, maka betulkanlah! Orang yang kamu pandang kuat, saya pandang lemah, hingga aku dapat mengambil hak dari padanya, sedang orang yang kamu pandang lemah, saya pandang kuat, sehingga saya dapat mengembalikan haknya kepadanya. Hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rosul-Nya, tetapi bilamana aku tiada mentaati Allah dan Rosul-Nya kamu tak perlu mentaati ku.”[6]

Ini adalah proses pembaiatan Abu Bakar r.a. Pembaiatan ini terjadi dengan pemilihan yang dilakukan oleh kaum Muhajirin, Anshar, dan tokoh-tokoh umat Islam lainnya dan juga dengan pernyataan kesanggupan Abu Bakar r.a. atas pemilihan dan pengangkatannya sebagai khalifah.

c.    Sistim politik masa pemerintahan khalifah Abu Bakar As-Syiddiq
Denga terpilihnya Abu Bakar menjadi Khalifah, maka mulailah beliau menjalankan kekhalifahannya, baik sebagai pemimpin umat maupun sebagai pemimpin pemerintahan. Adapun sistem politik Islam pada masa Abu Bakar bersifat “sentral”, jadi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat ditangan Khalifah, meskipun demikian dalam memutuskan suatu masalah, Abu Bakar    selalu mengajak para sahabat untuk bermusyawarah.
Adapun kebijakan-kebijakan beliau saat menjadi khalifah diantaranya sebagai berikut:
1.    Pengiriman pasukan dibawah pimpinan Usamah ke Romawi.
2.    Pengumpulan zakat.
3.     Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an.
4.     Memerangi nabi-nabi palsu
5.     Pemerintahan dengan musyawarah

d.   Penyelesaian kaum riddat
Kekhalifahan Abu Bakar yang begitu singkat sangat disibukkan dengan peperangan. Dalam pertempuran itu tidak hanya melawan musuh-musuh Islam dari luar, tetapi juga dari dalam. Hal ini terjadi karena ada sekelompok orang yang memancangkan panji pemberontakan  terhadap  negara  Islam  di  Madinah  dan  meninggalkan  Islam  (murtad) setelah Rasulullah wafat.
Gerakan riddat  (gerakan belot agama), bermula menjelang Nabi Muhammad jatuh sakit. Ketika tersiar berita kemangkatan Nabi Muhammad, maka gerakan belot agama itu meluas di wilayah bagian tengah, wilayah bagian timur, wilayah bagian selatan sampai ke Madinah Al-Munawarah serta Makkah Al-Mukaramah itu sudah berada dalam keadaan terkepung. Kenyataan itu yang dihadapi Khalifah Abu Bakar.
Gerakan riddat itu bermula dengan kemunculan tiga tokoh yang mengaku dirinya Nabi, guna menyaingi Nabi Muhammad SAW, yaitu: Musailamah, Thulhah, Aswad Al-Insa. Musailamah berasal dari suku bangsa Bani Hanifah di Arabia Tengah, Tulaiha seorang kepala  suku  Bani  Asad,  Sajah  seorang  wanita  KRISTEN   dari  Bani  Yarbu  yang  menikah dengan Musailamah.  Masing-masing orang tersebut berupaya meluaskan pengikutnya dan membelakangi agama Islam.
Para nabi palsu tersebut pada umumnya menarik hati orang-orang Islam dengan membebaskan prinsip-prinsip moralis dan upacara keagamaan seperti membolehkan minum-minuman keras, berjudi, mengurangi sholat lima waktu menjadi tiga,   puasa Ramadhan dihapus, pengubah pembayaran zakat yang wajib menjadi suka rela dan meniadakan batasan dalam perkawinan.
Dalam gerakannya Aswad dan kawan-kawannya berusaha menguasai dan mempengaruhi masyarakat Islam, dengan mengerahkan pasukan untuk masuk ke daerah- daerah. Akhirnya pasukan riddatpun berhasil menyebar kedaerah-daerah, diantaranya. Bahrain, Oman Mahara dan Hadramaut. Para panglima kaum riddat semakin gencar melaksanakan misinya.
Akan tetapi Khalifah Abu Bakar tidak tinggal diam, beliau berusaha untuk memadamkan dan menumpas gerakan kaum riddat. Dengan sigap Khalifah Abu Bakar membentuk sebelas pasukan dan menyerahkan  al-liwak (panji pasukan) kepada  masing-masing pasukan, pemimpin-peminpin pasukan tersebut diantaranya adalah Khalid bin Walid, Amr bin Ash, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Syurahbil bin Hasanah. Di samping itu, setiap pasukan dibekali al-mansyurat (pengumuman) yang   harus disampaikan pada suku-suku Arab yang melibatkan dirinya dalam gerakan riddat. Kandungan isinya memanggil kembali kepada jalan yang benar. Jikalau masih berkeras kepala, maka barulah dihadapi dengan kekerasan.
Beberapa dari suku itu tunduk tanpa peperangan, sementara yang lainnya tidak mau menyerah, bahkan mengobarkan api peperangan. Oleh karena itu pecahlah peperangan melawan mereka, dalam hal ini Kholid bin Walid yang diberi tugas untuk menundukan Tulaiha, dalam perang Buzaka berhasil dengan cemerlang. Sedangkan Musailamah seorang penuntut kenabian yang paling kuat, Abu Bakar mengirim Ikrimah dan Surabil. Akan tetapi  mereka  gagal  menundukan  Musailamah,  kemudia  Abu  Bakar  mengutus  Kholid untuk  melawan  nabi  palsu  dari  Yaman  itu.  Dalam  pertempuran  itu  Kholid  dapat mengahacurkan  pasukan  Musailamah  dan  membunuh  dalam  taman  yang  berdinding tinggi, sehingga taman disebut “taman maut”.
Adapaun nabi palsu yang lainnya termasuk Tulaihah dan Sajah serta kepala suku yang murtad, kembali masuk Islam. Dengan demikian, dalam waktu satu tahun semua perang Islam diberkahi dengan keberhasilan. Abu Bakar dengan para panglimanya menghancurkan semua kekuatan pengacau dan kaum murtad. Oleh karena itu, beliau tidak hanya disebut sebagai Khalifah umat Islam, tetapi juga sebagai penyelamat Islam dari kekacauan dan kehancuran bahkan telah menjadikan Islam sebagai agama Dunia.[7]


2.  Masa Khalifah Umar bin Khottob (13 H/634-23H/644 M)
Umar adalah khalifah kedua dari Islam. Dia juga dikenal dengan panggilannya, Abu Hafs, sedangkan dia menerima julukan Faruq (yakni orang yang memisahkan kebenaran dari kepalsuan), setelah memeluk islam. Umar bin Khatab adalah   keturunan Quraisy dari suku Bani Ady. Suku Bani Ady terkenal  sebagai  suku  yang  terpandang  mulia  dan  berkedudukan  tinggi  pada  masa Jahiliah. Umar bekerja sebagai saudagar. Beliau juga sebagai duta penghubung ketika terjadi suatu masalah antara kaumnya dengan suku Arab lain. Sebelum masuk Islam beliau adalah orang yang paling keras menentang Islam, tetapi setelah beliau masuk Islam dia pulalah yang paling depan dalam membela Islam tanpa rasa takut dan gentar.

a.    Biografi singkat Umar bin Khottob
Nama lengkapnya adalah Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdil Uzza bin Ribaah bin Abdullah bin Qarth bin Razaah bin Adiy bin Kaab. Ibunya adalah Hantamah binti Hasyim bin Mughirah bin Abdillah bin Umar bin Mahzum. Ia berasal dari suku Adiy, suatu suku dalam bangsa Quraisy yang terpandang mulia, megah dan berkedudukan   tinggi. Dia dilahirkan 14 tahun sesudah kelahiran Nabi. Sebelum masuk Islam, dia adalah seorang orator yang ulung, pegulat tangguh, dan selalu diminta sebagai wakil sukunya bila menghadapi konflik dengan suku Arab yang lainnya. Terkenal sebagai orang yang sangat pemberani dalam menentang Islam, punya ketabahan dan kemauan keras, tidak mengenal bingung dan ragu.
Ia masuk Islam setelah mendengar ayat-ayat Al-Quran yang dibaca oleh adiknya (Fatimah binti Khattab), padahal ketika itu ia hendak membunuhnya karena mengikuti ajaran Nabi. Dengan masuknya Umar kedalam Islam, maka terjawablah doa Nabi yang meminta agar Islam dikuatkan dengan salah satu dari dua Umar (Umar bin Khattab atau Amr bin Hisyam) dan sebagai suatu kemenangan yang nyata bagi Islam.
Sebelum Khalifah Abu Bakar wafat, beliau telah menunjuk Umar sebagai pengganti posisinya dengan meminta pendapat dari tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan sahabat seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman, dan Tolhah bin Ubaidillah. Masa pemerintahan Umar bin Khatab berlangsung selama 10 tahun 6 bulan, yaitu dari tahun 13 H/634M  sampai  tahun  23H/644M.  Beliau  wafat  pada  usia  64  tahun. Tepatnya pada tanggal 7 November 644 M. Umar meninggal karena ditikam oleh Fairuz (Abu Lukluk), budak Mughirah bin Abu Sufyan dari perang Nahrrawain yang sebelumnya adalah bangsawan Persia. Mughirah dipecat oleh Umar karena ia melakukan pembocoran rahasia Negara dan pengkhianatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa alasan pembunuhan politik pertama kali dalam sejarah Islam adalah adanya rasa syu’ubiyah (fanatisme) yang berlebihan pada bangsa Persia dalam dirinya.[8]
b.   Kebijakan-kebijakan politik Umar bin Khottob
1.    Dibentuknya Ahlul Hall Wal ‘Aqdi
Secara etimologi, ahlul  hall  wal  aqdi  adalah lembaga penengah dan pemberi fatwa. Sedangkan menurut terminologi, adalah wakil-wakil rakyat yang duduk sebagai anggota majelis syura, yang terdiri dari alim ulama dan kaum cerdik pandai (cendekiawan) yang menjadi pemimpin-pemimpin rakyat dan dipilih atas mereka. Dinamakan ahlul hall wal aqdi untuk menekankan wewenang mereka guna menghapuskan  dan  membatalkan.
Dalam  masa  pemerintahannya,  Umar  telah  membentuk  lembaga-lembaga  yang disebut juga dengan ahlul hall wal aqdi, di antaranya adalah:
a.    Majelis Syura (Diwan Penasihat), ada tiga bentuk :
1.    Dewan Penasihat Tinggi, yang terdiri dari para pemuka sahabat yang terkenal, antara lain Ali, Utsman, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabbal, Ubay bin Kaab, Zaid bin Tsabit, Tolhah dan Zubair.
2.    Dewan Penasihat Umum, terdiri dari banyak sahabat (Anshar dan Muhajirin) dan pemuka berbagai suku, bertugas membahas masalah-masalah yang menyangkut kepentingan umum.
3.    Dewan antara Penasihat Tinggi dan Umum. Beranggotakan para sahabat (Anshar dan Muhajirin) yang dipilih, hanya membahas masalah-masalah khusus.
b.    Al-Katib (Sekretaris Negara), di antaranya adalah Abdullah bin Arqam.
c.    Nidzamul   Maly   (Departemen   Keuangan)   mengatur   masalah   keuangan   dengan pemasukan dari pajak bumi, ghanimah, jizyah, fai’ dan lain-lain.
d.    Nidzamul Idary (Departemen Administrasi), bertujuan untuk memudahkan pelayanan kepada  masyarakat,  di  antaranya  adalah  diwanul  jund  yang  bertugas  menggaji pasukan perang dan pegawai pemerintahan.
e.    Departemen  Kepolisian  dan  Penjaga  yang  bertugas  memelihara  keamanan  dalam negara
f.     Departemen Pendidikan dan lain-lain.[9]

Pada masa Umar, badan-badan tersebut belumlah terbentuk secara resmi, dalam arti secara de jure belum  terbentuk, tapi secara de facto telah dijalankan tugas-tugas badan tersebut. Meskipun demikian, dalam menjalankan roda pemerintahannya, Umar senantiasa mengajak musyawarah para sahabatnya.

c.    Perluasan wilayah
Ketika para pembangkang di dalam negeri telah dikikis habis oleh Khalifah Abu Bakar dan era penaklukan militer telah dimulai, maka Umar menganggap bahwa tugas utamanya adalah mensukseskan ekspedisi yang dirintis oleh pendahulunya. Belum lagi genap satu tahun memerintah, Umar telah menorehkan tinta emas dalam sejarah perluasan wilayah kekuasaan  Islam. Pada tahun 635 M, Damascus, Ibu kota Syuriah, telah ia tundukkan. Setahun kemudian seluruh wilayah Syuriah jatuh ke tangan kaum muslimin, setelah pertempuran hebat di lembah Yarmuk di sebelah timur anak sungai Yordania.[10]
Keberhasilan pasukan Islam dalam penaklukan Syuriah di masa Khalifah Umar tidak lepas  dari  rentetan  penaklukan  pada  masa  sebelumnya.  Khalifah  Abu  Bakar  telah mengirim pasukan besar dibawah pimpinan Abu Ubaidah Ibn al-Jarrah ke front Syuriah. Ketika pasukan itu terdesak, Abu Bakar memerintahkan Khalid Ibn al-Walid yang sedang dikirim untuk memimpin pasukan ke front Irak, untuk membantu pasukan di Syuriah. Dengan gerakan cepat, Khalid bersama pasukannya menyeberangi gurun pasir luas ke arah  Syuriah.  Ia  bersama  Abu  Ubaidah  mendesak  pasukan  Romawi.  Dalam  keadaan genting itu, wafatlah Abu Bakar dan diganti oleh Umar bin al-Khattab.[11]
Jadi singkatnya perluasan wilayah itu meliputi, Jazirah Arabia, Palestina, Syiria, Mesir dan sebagian besar Persia.

d.   Pengembangan Islam Sebagai Kekuatan Politik
Periode kekhalifahan Umar tidak diragukan lagi merupakan “abad emas” Islam dalam segala zaman. Khalifah Umar bin Khattab mengikuti langkah-langkah Rasulullah dengan segenap kemampuannya, terutama pengembangan Islam. Ia bukan sekedar seorang pemimpin  biasa,  tetapi  seorang  pemimpin  pemerintahan  yang  professional.  Ia  adalah pendiri sesungguhnya dari sistem politik Islam. Ia melaksanakan hukum-hukum Ilahiyah (syariat) sebagai code (kitab undang-undang) suatu masyarakat Islam yang baru dibentuk. Maka tidak heran jika ada yang mengatakan bahwa beliaulah pendiri daulah islamiyah (tanpa mengabaikan jasa-jasa Khalifah sebelumnya).[12]
Banyak metode yang digunakan Umar dalam melakukan perluasan wilayah, sehingga musuh  mau  menerima  Islam  karena  perlakuan  adil  kaum  Muslim.  Di  situlah  letak kekuatan politik terjadi. Dari usahanya, pasukan kaum Muslim mendapatkan gaji dari hasil rampasan sesuai dengan hukum Islam. Untuk mengurusi masalah ini, telah dibentuk Diwanul Jund. Sedangkan untuk pegawai biasa, di samping menerima gaji tetap (rawatib),  juga menerima tunjangan (al-itha’). Khusus untuk Amr bin Ash, Umar menggajinya sebesar 200 dinar mengingat jasanya yang besar dalam ekspansi. Dan untuk Imar bin Yasar, diberi 60 dinar disamping tunjangan (al-jizyaat)  karena hanya sebagai kepala daerah (al-amil).[13]
Dalam   rangka   desentralisasi  kekuasaan,   pemimpin  pemerintahan   pusat   tetap dipegang  oleh  Khalifah  Umar  bin Khattab.  Sedangkan  di  propinsi,  ditunjuk  Gubernur (oramg Islam) sebagai pembantu Khalifah untuk menjalankan roda pemerintahan. Di antaranya adalah :
1.    Muawiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Syiria, dengan ibukota Damaskus.
2.    Nafi’ bin Abu Harits, Gubernur Hijaz, dengan ibu kota Mekkah.
3.    Abu Musa Al Asy’ary, Gubernur Iran, dengan ibu kota Basrah.
4.    Mughirah bin Su’bah, Gubernur Irak, dengan ibu kota Kufah.
5.    Amr bin Ash, Gubernur Mesir, dengan ibu kota Fustat.
6.    Alqamah bin Majaz, Gubernur Palestina, dengan ibu kotai Jerussalem.
7.    Umair bin Said, Gubernur jazirah Mesopotamia, dengan ibu kota Hims.
8.    Khalid bin Walid, Gubernur di Syiria Utara dan Asia Kecil.[14]
Khalifah Umar bukan saja menciptakan peraturan-peraturan baru, beliau juga memperbaiki dan mengadakan perbaikan terhadap peraturan-peraturan yang perlu direvisi dan dirubah. Umpamanya aturan yang telah berjalan tentang sistem pertanahan, bahwa kaum muslimin diberi hak menguasai tanah dan segala sesuatu yang didapat dengan berperang.  Umar  mengubah peraturan  ini, tanah-tanah  itu  harus  tetap dalam  tangan pemiliknya semula, tetapi bertalian dengan ini diadakan pajak tanah (al-kharaj). Umar juga meninjau  kembali  bagian-bagian  zakat  yang  diperuntukkan  kepada  orang-orang  yang dijinaki hatinya (al-muallafatu qulubuhum).




3.  Masa Khalifah Utsman bin Affan (24–36 H/644–656 M)
Utsman adalah khalifah ke tiga setelah Khalifah ‘Umar bin Khattab. Sebagai salah satu dari assabiquunal awwalun (golongan orang-orang yang pertama masuk Islam), dia adalah saudagar sukses yang berlimpah kekayaan hartanya. Dia dijuluki oleh Nabi Muhammad dengan sebutan “Dzunnurain” yang artinya “orang yang mempunyai dua cahaya”, ia dijuluki seperti itu karena menikahi dua anak Nabi Muhammad yaitu Ruqaiyah dan Ummu Kultsum. Dia mempunyai pribadi yang paling jujur, pemalu dan rendah hati serta dermawan di antara kaum muslimin. Dia begitu dihormati oleh masyarakat di sekelilingnya bahkan Nabi juga menghormatinya.
Awal masuknya ‘Utsman ke dalam Islam dimulai dengan sebuah suara dalam mimpinya di bawah rindang pohon antara maan dan azzarqa yang menyarankan agar dia segera kembali ke Mekkah sebab orang yang bernama Muhammad sebagai utusan Tuhan telah muncul membawa ajaran baru yang kelak akan merubah dunia. Setelah terbangun dari mimpinya, dia mendatangi Abu Bakar ash-Shidiq yang telah masuk Islam lebih dahulu daripada ‘Utsman, lalu menceritakannya dan meminta pendapat tentang mimpinya itu. Abu Bakar mengajaknya untuk menghadap Nabi Muhammad saw. Dan’Utsman  menyatakan keislamannya.

a.    Biografi Utsman bin Affan
Utsman merupakan keturunan Bani Umayyah, lahir pada 574 M bertepatan dengan tahun ke-enam dari kelahiran Nabi Muhammad saw. ‘Utsman merupakan anak  dari pasangan ‘Affan ibn Abi Ash dan Arwa binti Kuriz bin Rabiah, nama kakeknya adalah ‘Abdi Manaf ibn Qushay. Sejak kecil, ia dikenal dengan kecerdasan,  kejujuran  dan  keshalehannya  sehingga  Rasulullah  SAW  sangat mengaguminya. Oleh karena itu, ia memberikan kesempatan untuk menikahi dua putri Nabi   secara   berurutan,   yaitu   setelah   putri   Nabi   yang   satu   meninggal   Dunia.[15]
Ustman bin Affan masuk Islam pada usia 34 tahun. Berawal dari   kedekatannya dengan Abu Bakar, beliau dengan sepenuh hati masuk Islam bersama sahabatnya Thalhah bin  Ubaidillah.  Meskipun masuk Islamnya   mendapat  tantangan  dari  pamannya  yang bernama Hakim, ia tetap pada pendiriannya. Karena pilihan agamanya tersebut, Hakim sempat menyiksa Ustman bin Affan dengan siksaan yang amat pedih. Siksaan terus berlangsung hingga datang seruan Nabi Muhammad SAW agar orang-orang Islam berhijrah ke Habsyi.
Ia wafat  pada tanggal 17 Dzulhijjah 35 H. Utsman meninggal karena dibunuh oleh para pemberontak. Dan waktu itu dalam keadaan membaca Al-Qur’an pada hari Jum’at. Ia mati dalam keadaan syahid, persis dengan apa yang dikatakan oleh Nabi Muhammad saw  mengenai kematiannya yang syahid itu. Utsman dimakamkan di kuburan Baqi’ di Madinah.[16]

b.   Pembaiatan Utsman bin Affan
Pembai’atan ‘Utsman sebagai khalifah berdasar kesepakatan enam orang sahabat termasuk dirinya yang telah ditunjuk langsung oleh ‘Umar ibn Khattab untuk menjadi penggantinya yang akan melanjutkan kepemimpinan dan perjuangannya dalam menyebarkan Islam ke penjuru dunia. Dari masa inilah awal pengangkatan seorang khalifah secara demokratis dengan jalan musyawarah yang diwakili oleh ke enam orang sahabat sepanjang sejarah manusia. Enam orang tersebut adalah: ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Abdurahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqas, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin ‘Ubaidillah. Selanjutnya ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqas, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin ‘Ubaidillah. Namun, empat sahabat yang mengundurkan diri dalam pemilihan itu sehingga tinggal ‘Utsman dan ‘Ali. Masyarakat banyak yang memilih ‘Utsman daripada ‘Ali untuk menjadi khalifah yang ke tiga. ‘Utsman diangkat menjadi khalifah pada saat ia berusia 70 tahun pada bulan Muharram 24 H. ‘Utsman menjadi khalifah di saat pemerintah Islam telah betul-betul mapan dan terstruktur.[17]
c.    Kebijakan-kebijakan politik Utsman bin Affan
1.   Perluasan Wialayah Penyebaran Islam
Utsman harus berusaha dengan lebih keras lagi untuk mempertahankan dan melanjutkan perjuangan panji islam sebab berbagai ancaman dan rintangan akan semakin berat untuknya mengingat pada masa sebelumnya telah tersiar tanda-tanda adanya negeri yang pernah ditaklukkan oleh islam hendak berbalik memberontak padanya. Namun demikian, meski banyak kesulitan yang dihadapi beliau sanggup meredakan dan menumpas segala pembangkangan mereka, bahkan pada masa ini Islam berhasil tersebar hampir ke seluruh belahan dunia mulai dari Anatolia, dan Asia kecil, Afganistan, Samarkand, Tashkent, Turkmenistan, Khurasan dan Thabrani Timur hingga Timur Laut seperti Libya, Aljazair, Tunisia, Maroko dan Ethiopia. Maka islam lebih luas wilayahnya jika dibandingkan dengan Imperium sebelumnya yakni Romawi dan Persia karena islam telah menguasai hampir sebagian besar daratan Asia dan Afrika.[18]

2.    Penyusunan Al-Qur’an
Penyusunan al-Qur’an sudah ada sejak kekhalifahan Abu Bakar atas usulan ‘Umar bin Khatthab yang kemudian disimpan di tangan istri Nabi yaitu Hafsah binti ‘Umar. dengan pertimbangan bahwa banyak dari para penghafal al- Qur’an yang gugur usai peperangan Yamamah. Pada masa kekhalifahan ‘Ustman  banyak ditemukan perbedaan lahjah dan bacaan terhadap al-Qur’an karena tersebar luasnya Islam hampir ke seluruh bagian bumi. Inilah yang mendorong beliau untuk menyusun kembali al- Qur’an yang dibawa oleh Hafshah dan menyeragamkannya ke dalam bahasa Quraisy agar tidak terjadi perselisihan.
Maka diutuslah beberapa orang kepercayaannya untuk menyebarkan al-Qur’an hasil kodifikasinya ke beberapa daerah penting antara lain Makkah, Syiria, Kuffah, Syam, Bashrah dan Yaman. Kemudian Beliau menginstruksikan untuk membakar semua mushaf yang lain dan berpatokan pada mushaf yang baru yang diberi nama Mushaf al-Iman.[19]

3.    Pembentukan armada laut
Ide atau gagasan untuk membuat sebuah armada laut Islam sebenarnya telah ada sejak masa kekhalifahan ‘Umar bin Khattab namun beliau menolaknya karena khawatir hal itu akan membebani kaum muslimin pada saat itu. Setelah kekhalifahan berpindah tangan pada ‘Utsman maka gagasan itu diangkat kembali ke permukaan dan berhasil menjadi kesepakatan bahwa kaum muslimin memang harus ada yang mengarungi lautan meskipun sang khalifah mengajukan syarat untuk tidak memaksa seorangpun kecuali dengan sukarela. Berkat armada laut ini wilayah Islam bertambah luas setelah menaklukkan pulau Cyprus meski harus melewati peperangan yang melelahkan.[20]
Selain hal-hal tersebut diatas  jasa-jasa Usman diantaranya adalah:
1.    Perluasan masjid (Masjidil Haram dan Masjid Nabawi) karena semakin banyak dan ramai umat Islam berbondong-bondong menunaikan rukun Islam yang ke lima yaitu haji
2.    Mencetuskan ide polisi keamanan bagi rakyatnya
3.    Membuat bangunan khusus untuk mahkamah dan untuk mengadili suatu perkara
4.    Banyak mengganti gubernur wilayah yang tidak cocok atau kurang cakap dan menggantikannya dengan orang-orang yang lebih kredibel.[21]

4.  Masa khalifah Ali bin Abu Tholib
Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah Amirul Mukminin keempat yang dikenal sebagai orang yang alim, cerdas dan taat beragama. Ali juga saudara sepupu Nabi Saw. (anak paman Nabi, Abu Thalib), yang jadi menantu Nabi, suami dari putri Rasulullah serta mempunyai keturunan. Dalam pemilihan khalifah terdapat perbedaan pendapat antara pemilihan Abu bakar, Usman dan Ali. Ketika kedua pemilihan khalifah terdahulu (Khalifah Abu Bakar dan Umar), meskipun mula-mula terdapat sejumlah orang yang menentang, tetapi setelah calon terpilih dan diputuskan menjadi khalifah, semua orang menerimanya dan ikut berbaiat serta menyatakan kesetiaannya. Namun lain halnya ketika pemilihannya Ali, justru sebaliknya.
Setelah terbunuhnya Usman bin Affan, masyarakat beramai-ramai datang dan membaiat Ali sebagai Khalifah. Ali diangkat melalui pemilihan dalam pertemuan terbuka. Akan tetapi suasana pada saat itu sedang kacau, karena hanya ada beberapa tokoh senior masyarakat Islam yang tinggal di Madinah, sehingga keabsahan pengangkatan Ali ditolak oleh sebagian masyarakat termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Meskipun hal itu terjadi, Ali masih menjadi khalifah dalam pemerintahan Islam. Pro dan kontra terhadap pengangkatan Ali terjadi karena beberapa hal yaitu bahwa orang yang tidak menyukai Ali diangkat menjadi khalifah, bukanlah rakyat umum yang terbanyak. Akan tetapi golongan kecil (keluarga Umayah) yaitu keluarga yang selama ini telah hidup bergelimang harta selama pemerintahan Khalifah Usman. Mereka menentang Ali karena khawatir kekayaan dan kesenangan mereka akan hilang lenyap karena keadilan yang akan dijalankan oleh Ali. Adapun rakyat terbanyak, mereka menantikan kepemimpinan Ali dan menyambutnya dengan tangan terbuka. Ali akan dijadikan tempat berlindung melepaskan diri dari penderitaan yang mereka alami.[22]

a.    Biografi Ali bin Abu Tholib
Dia adalah khalifah keempat dari Khulafaur Rasyidin. Ayahnya Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hisyam bin Abdi Manaf. Ibunya Fathimah binti Asad binti Hasyim bin Abdi Manaf. Jadi, baik dari pihak ayah maupun ibunya, Ali adalah keturunan Bani Hasyim.
Ali dilahirkan dalam Ka’bah, 23 tahun sebelum Hijrah, dan mempunyai nama kecil Haidarah. Ia baru menginjak usia sepuluh tahun ketika Rasulullah menerima wahyu yang pertama. Sejak kecil Ali telah menunjukkan pemikirannya yang kritis dan brilian.
Kesederhanaan, kerendah-hatian, ketenangan dan kecerdasan dari kehidupan Ali yang bersumber dari Al-Qur’an dan wawasan yang luas, membuatnya menempati posisi istimewa di antara para sahabat Rasulullah Saw lainnya. Kedekatan Ali dengan keluarga Rasulullah semakin erat ketika ia menikah dengan putri bungsu beliau, Fathimah.[23]
Pengetahuannya dalam agama Islam  amat luas. Karena dekatnya dengan  Rasulullah,  beliau termasuk   orang yang  banyak    meriwayatkan  Hadits  Nabi. Keberaniannya     juga  masyhur  dan  hampir  di  seluruh  peperangan     yang  dipimpin Rasulullah, Ali senantiasa berada di barisan muka.
Ketika Abu Bakar    menjadi    Khalifah, beliau selalu mengajak Ali untuk memusyawarahkan masalah-masalah penting. Begitu pula   Umar bin   Khathab tidak mengambil kebijaksanaan atau melakukan tindakan tanpa musyawarah   dengan Ali. Utsmanpun  pada masa permulaan jabatannya dalam  banyak perkara selalu  mengajak Ali dalam permusyawaratan. Demikian pula, Ali juga tampil membela Utsman   ketika berhadapan  dengan  pemberontak.

b.   Pembaiatan Ali bin Abu Tholib
Dalam pemilihan   Khalifah   terdapat perbedaan pendapat   antara   pemilihan   Abu bakar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Ketika kedua pemilihan  Khalifah terdahulu (Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Ustman ibn Affan), meskipun mula-mula  terdapat sejumlah orang yang menentang, tetapi setelah  calon terpilih dan diputuskan  menjadi Khalifah, semua orang menerimanya   dan   ikut berbaiat serta menyatakan   kesetiaannya. Namun lain halnya  ketika pemilihannya Ali bin Abi Thalib, justru sebaliknya.
Setelah terbunuhnya Utsman bin Affan, masyarakat beramai-ramai   datang dan membaiat Ali bin Abi Thalib   sebagai Khalifah. Beliau diangkat   melalui   pemilihan dan pertemuan terbuka. Akan tetapi suasana pada saat itu sedang kacau, karena hanya ada beberapa tokoh senior masyarakat Islam yang tinggal di Madinah. Sehingga keabsahan pengangkatan Ali bin Abi Thalib ditolak oleh sebagian masyarakat termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Meskipun hal itu terjadi, Ali  masih  menjadi  Khalifah  dalam pemerintahan Islam.[24]
Pro dan kontra terhadap pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah di karenakan beberapa hal yaitu bahwa orang yang tidak menyukai Ali   diangkat menjadi Khalifah, bukanlah rakyat umum yang terbanyak. Akan tetapi golongan kecil (keluarga Umaiyyah) yaitu keluarga yang selama ini telah hidup bergelimang harta selama pemerintahan Khalifah Ustman. Mereka menentang Ali karena khawatir kekayaan   dan kesenangan mereka akan hilang lenyap karena keadilan yang akan dijalankan oleh Ali. Adapun rakyat terbanyak, mereka menantikan kepemimpinan Ali dan menyambutnya dengan tangan terbuka. Beliau akan dijadikan tempat berlindung melepaskan diri dari penderitaan yang mereka alami.
c.    Kebijakan  Politik Ali bin Abi Thalib
Setelah  Ali  dibaiat menjadi Khalifah, ia mengeluarkan dua kebijaksanaan politik yang sangat radikal yaitu:
1.    Memecat kepala daerah angkatan Ustman dan menggantikan dengan gubenur baru.
2.    Mengambil kembali tanah yang dibagi–bagikan Ustman kepada famili–familinya dan kaum kerabatnya tanpa jalan yang sah.[25]
Menanggapi  kebijakan  yang  dilakukan  oleh  Ali  tersebut,  ada  yang  berpendapat bahwa kebijaksanaan Ali itu terlalu radikal dan kurang persuasive, sehingga menimbulkan perlawanan politik dari gubenur khususnya gubenur Syiria (Bani Ummayyah) yang tidak mau tunduk pada Khalifah Ali, terbukti ia menolak kehadiran gubenur yang baru diangkat Ali.
Tindakan politik Ali yang radikal itu kendati strategis tapi tidak taktis, sebab pada masa Khalifah Ustman konflik etnis antara Bani Ummayyah dan Bani  Hasyim  sudah  ada,  terbukti  ketika  Ustman  terbunuh  secara  misterius  Bani Ummayyah  mengeksploitasi  tuduhan  pada  Ali,  karena  didasari  Bani  Umayyah  yang memang ambisi menjadi Khalifah.[26]
Semestinya gerakan radikal Ali untuk mengusir elite Bani Umayyah dilakukan secara bertahap,  sebab  walau  bagaimanapun  elite  baru  yang  telah  lama  berkuasa  seperti Muawiyah sulit ditundukkan, sedangkan Ali yang mengandalkan idealisme dan dukungan masyarakat bawah beberapa kelompok tua terlalu intelektual tapi kurang pengalaman dalam menyelesaikan konflik dalam pemerintahan, sehingga dengan demikian yang muncul dalam pemerintahan bukan integrasi   tetapi disintegrasi yang ditandai dengan lahirnya perang saudara yang pertama kali dalam Islam, yakni perang jamal.[27]


d.   Masalah yang dihadapi Khalihaf Ali bin Abu Tholib
Sepeninggal Utsman, Ali bin Abi Thalib menanggung beban yang cukup berat. Di satu pihak, ia harus membersihkan para ‘penjilat’ yang selama ini memengaruhi Utsman. Di satu sisi, ia juga harus mengusut tuntas kasus pembunuhan khalifah Utsman.
Khalifah Ali benar-benar dihadapkan pada permasalahan besar. Yang ia hadapi saat itu bukan musuh kuat yang bisa dikalahkan dengan tajamnya pedang. Bukan pula pasukan besar yang bisa ditaklukkan dengan strategi jitu. Tetapi benar-benar permasalahan pelik. Di tengah permasalahan itu, akhirnya Ali memutuskan untuk memulai penataan pemerintahan baru yang bermasa depan cerah. Namun usahanya membuat penyegaran di pemerintahan dengan memberhentikan seluruh gubernur yang pernah diangkat Utsman, malah memicu konflik baru.
Menghadapi kebijakan itu, ada beberapa sahabat yang dengan legowo mengundurkan diri dari pentas politik seperti Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Umar. Namun ada juga di antara mereka yang tetap bersikukuh meminta Ali untuk mendahulukan penuntasan kasus pembunuhan Utsman. Suatu keharusan yang saat itu sangat sulit dilakukan oleh Ali lantaran di antara para pembunuh itu justru masih bercokol di kota Madinah.
Beberapa sahabat seperti Ahnaf bin Qais At-Tamimi memahami kebijakan Ali bin Abi Thalib. Menurutnya, pembunuhan terhadap Utsman jelas perbuatan jahat yang harus ditindak. Tetapi, suasana eksplosif saat itu sangat tidak memungkinkan bagi Khalifah Ali untuk mengambil tindakan tegas. Pada saat yang sama, Ahnaf mencium adanya gelagat orang ketiga yang menghendaki terjadinya pertikaian.
Atas dasar itu, ia berusaha mencegah agar tidak terjadi pertempuran. Namun usahanya gagal. Di akhir negosiasinya dengan Ali bin Abi Thalib ia sempat memberikan pilihan. “Aku berperang di pihakmu atau aku mencegah 10.000 pedang tertuju padamu?” tanya Ahnaf.[28]
Menghadapi tawaran itu, dengan bijak Khalifah Ali menjawab, “Cegahlah 10.000 pedang terhadapku.”[29]
Dengan jawaban itu, Ahnaf memutuskan untuk menjauhkan diri bersama 10.000 pasukagnnya. Ia tidak sampai hati menghadapkan senjata terhadap Ummul Mukminin, Aisyah. Sebaliknya, Aisyah juga tidak mungkin mengangkat senjata untuk memerangi sepupu Rasulullah Saw, Ali bin Abi Thalib.[30]
Namun sejarah harus mencatat, puncak kemelut itu harus melahirkan tragedi kelam, Perang Jamal (Perang Onta). Dinamakan demikian karena Aisyah mengendarai onta. Peperangan berakhir dengan kemenangan di pihak Ali. Thalhah bin Ubaidillah yang berada di pihak Aisyah berhasil meloloskan diri ke Basrah, tetapi akibat luka parah yang dideritanya, ia pun wafat. Zubair bin Awwam yang juga berada di pihak Aisyah gugur. Sedangkan Aisyah tertawan, dan hanya satu hari kemudian ia dibebaskan dan dikembalikan ke Makkah dengan diantar langsung oleh saudaranya, Muhammad bin Abu Bakar.[31]
Sementara itu, ketidakpuasan terhadap Ali yang belum menuntaskan kasus pembunuhan Utsman, melahirkan gejolak baru di daerah Syria (Suriah). Pertentangan politik antara Ali dan Muawiyah mengakibatkan pecahnya Perang Shiffin (37 H). Pasukan Ali yang berjumlah sekitar 95.000 orang melawan 85.000 pasukan Muawiyah. Ketika peperangan hampir berakhir, pasukan Ali berhasil mendesak lawannya. Namun sebelum peperangan dimenangkan, muncul Amr bin Ash mengangkat mushaf Al-Qur’an menyatakan damai. “Mari kita bertahkim (berhukum) dengan kitab Allah,” seru Amr.[32]
Khalifah Ali tak bisa berkutik, dan terpaksa menghentikan peperangan. Ali bin Abi Thalib memang seorang militer sejati. Ia berhasil memenangkan Perang Jamal, juga berhasil mengatasi pasukan Muawiyah dalam Perang Shiffin. Namun ia bukanlah seorang negarawan seperti Rasulullah dan para khalifah sebelumnya. Kemampuannya berdiplomasi, kadangkala tak sebanding dengan apa yang dimiliki Amr bin Ash. Kedigdayaan Muawiyah dalam berpolitik, kadang juga tak sanggup ia taklukkan.
Akibat tindakan Ali yang menghentikan serangan, pasukannya pecah menjadi tiga bagian. Yaitu kelompok Syiah yang dengan segala resiko dan pemahaman mereka tetap mendukungnya. Kelompok Murji’ah yang menyatakan mengundurkan diri. Dan kelompok Khawarij yang memisahkan diri serta menyatakan tidak senang dengan tindakan Ali.
Kelompok ketiga inilah yang akhirnya memberontak, dan menyatakan ketidaksetujuannya dengan Ali sebagai khalifah, Muawiyah sebagai penguasa Syria, dan Amr bin Ash sebagai penguasa Mesir. Mereka berencana membunuh ketiga pemimpin itu secara bersamaan.
Untuk mewujudkan rencana itu, mereka menyuruh Abdurrahman bin Muljam untuk membunuh Ali bin Abi Thalib di Kufah. Amr bin Bakar bertugas membunuh Amr bin Ash di Mesir. Hujaj bin Abdillah ditugaskan membunuh Muawiyah di Damaskus. Ketiganya sepakat untuk membunuh para sahabat itu pada waktu yang sama, yaitu 17 Ramadhan 40 H.[33]
Hujaj tidak berhasil membunuh Muawiyah lantaran dijaga ketat oleh pengawal. Bahkan ia sendiri tertangkap dan dihukum mati. Sedangkan Amr bin Bakar tanpa sengaja membunuh Kharijah bin Habitat yang dikiranya Amr bin Ash. Saat itu Amar bin Ash sedang sakit sehingga yang menggantikannya sebagai imam adalah Kharijah. Akibat perbuatannya membunuh Kharijah dan bermaksud menghabisi Amr, orang Khawarij itu dihukum bunuh.[34]
Adapun Abdurrahman bin Muljam tidak mendapat kesulitan melaksanakan tugasnya. Sebab, Khalifah Ali tak pernah mempunyai pengawal pribadi. Ia hidup seperti rakyat biasa. Pagi itu ketika sedang menuju Masjid Agung di Kufah, ia diserang Abdurrahman bin Muljam. Akibat luka parah yang dideritanya, Khalifah Ali meninggal pada 19 Ramadhan 40 H dalam usia 63 tahun. Syahidnya Ali bin Abi Thalib menandai berakhirnya era Khulafaur Rasyidin.[35]
BAB III

A. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa, yang dimaksud Khulafaur Rasyiddin adalah pemimpin pengganti setelah Rasulullah wafat. Diantara orang-orang yang terpilih untuk menggantikan kedudukan nabi Muhammad SAW. diantaranya adalah, Abu Bakar As-Shidiq, kemudian Ummar bin Khothob, Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Tholib. Keempat sahabat tersebutlah yang mendapat sebutan “khulafaur raysidin”
perkembangan peradaban Islam pada masa khulafaurrasyidin mengalami kemajuan yang pesat, hal tersebut ditandai dengan pembanguan di berbagai bidang. Misalnya : perluasan wilayah kekuasaan, pertahanan militer, pembangunan armada angkatan laut, pembentukan lembaga baitul mal, pembangunan sarana ibadah, pembukuan al qur’an, pengembangan ilmu pengetahuan, dan lain-lain.
Umat islam betul-betul masih berpegang kepada tali agama Allah yang lurus. Dalam artian ajaran islam dijadikan sebagai dasar negara. Apa yang diperintahkan oleh agama diyakini sebagai kebenaran mutlak dan mereka tidak ragu terhadap ajaran islam itu sendiri. Amirul mukminin sebagai pelopor secara langsung daripada penegakkan syariat islam itu. Ajaran Islam menjadi ruh dari pada perjuangan mereka.







Daftar pustaka
Ahmad, Alinaksi, 2011, “corak kekhalifahan dalam islam”, (online), (http://alinaksi.blogspot.com/2011/03/corak-kekhalifahan-dalam-islam-1.html) di akses, tanggal 31 Maret 2015
Al Azar, 2013, “Peradaban Islam pada Masa Khulafaur Rasyiddin”, (online), (http://www.academia.edu/5742569/PERADABAN_ISLAM_MASA_KHULAFAUR_RASYIDIN) di akses pada tanggal 26 Maret 2015
Ali, Muhammad, 2007, Early Caltphate (Khulafaur Rasyiddin), jakarta: Darul kutubul islamiyah
Bastoni, Hepi Andi, “Khulafaur Rasyidin: Ali bin Abi Thalib (656-661 M) Dicintai Orang Beriman” (online), (http://lifeofwriting.com/alkisah/khulafaur-rasyidin-ali-bin-abi-thalib-656-661-m-dicintai-orang-beriman/), diakses tanggal 31 Maret 2015
Qiftiyah, Mari’atul, 2011, “Masa Kepemimpinan Utsman bin Affan” (online), (http://blog.umy.ac.id/mariatulqiftiyah/arsip/106-2/) diakses tanggal 31 Maret 2015
Syalabi, 2003. Sejarah Kebudayaan Islam 1, jakarta: PT. Pustaka Al Husana Baru



[1] http://www.academia.edu/9303486/Dr._Marzuki_M.Ag._Buku_PAI_SMP_-_9_Sejarah_Bab_10
[2] Ibid,
[3]http://www.academia.edu/5742569/PERADABAN_ISLAM_MASA_KHULAFAUR_RASYIDIN
[4] Ibid,
[5] Syalabi, sejarah kebudayaan islam 1, (pustaka al husna baru:2003) hal, 195
[6] Ibid, hal 196
[7]http://www.academia.edu/5742569/PERADABAN_ISLAM_MASA_KHULAFAUR_RASYIDIN
[8] Ibid,
[9] Ibid,
[10] Ibid,
[11] Ibid,
[12] Ibid,
[13] Ibid,
[14] Ibid,
[15] http://blog.umy.ac.id/mariatulqiftiyah/arsip/106-2/
[16] Ibid,
[17]http://www.academia.edu/5742569/PERADABAN_ISLAM_MASA_KHULAFAUR_RASYIDIN
[18] http://blog.umy.ac.id/mariatulqiftiyah/arsip/106-2/
[19] Ibid,
[20] Ibid,
[21] Ibid,
[22]http://www.academia.edu/5742569/PERADABAN_ISLAM_MASA_KHULAFAUR_RASYIDIN
[23] Ibid,
[24] Ibid,
[25] Ibid,
[26] Ibid,
[27] Ibid,
[28] Ibid,
[29] Ibid,
[30] Ibid,
[31] Ibid,
[32] Ibid,
[33] Ibid,
[34] Ibid,
[35] Ibid,

No comments:

Post a Comment

MAKALAH HADIS TARBAWI ASPEK KEJIWAAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR

MAKALAH HADIS TARBAWI ASPEK KEJIWAAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR Dosen Pengampu :                         Muchlis Anshori, S. ...