Tugas ini disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
dengan Dosen Pengampu : Arifin Nur M.Pd.I
Disusun oleh :
Hajar Mustofa (143111329)
Irwanto (143111305)
Sekar Tanjung K. (14311
FAKULTAS ILMU
TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI
SURAKARTA
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya yang tiada terkira, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan judul “MASA KEPEMIMPINAN KHULAFAUR
RASYIDIN
“.
Tak
lupa kami juga mengucapkan ribuan terimakasih kepada segenap keluarga yang
telah banyak memberikan dukungan, kasih, kepercayaan yang begitu besar. Dari
sanalah kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit
kebahagiaan dan menuntun kepada langkah yang lebih baik lagi.
Meskipun
penulis berharap makalah ini terbebas dari kesalahan dan kekurangan namun,
masih saja banyak kuranganya, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
Akhir
kata penulis berharap, mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surakarta,
Desember 2014
Penyusun
Daftar
Isi
Kata
pengantar i
Daftar
isi ii
Bab I
a. Latar belakang 1
b. Rumusan masalah 1
c. Tujuan masalah 1
Bab II
a. Pengertian Khulafaur Rasyisddin 2
b. Perkembangan islam masa Khulafaur Rasyiddin 2
1.
Masa Abu Bakar As-Shidiq 2
2.
Masa Umar bin Khottob 8
3.
Masa Utsman bin Affan 13
4.
Masa Ali bin Abu Tholib 16
Bab III
a. Kesimpulan 24
Daftar
pustaka 25
BAB
I
A. LATAR BELAKANG
Disadari ataupun tidak,
sesungguhnya manusia memiliki naluri dan watak berpolitik, watak untuk
mengatur, mempengaruhi, dan menghegemoni orang lain. Berpolitik merupakan
aktualisasi diri dalam ranah publik sebagai bukti bahwa dirinya memiliki
kekuatan yang dapat didarmabaktikan kepada
bangsa dan negara atau kepada masyarakat luas. Selain itu
berpolitik juga panggilan dari ajaran Islam, salah satunya untuk melakukan
dakwah amar makruf nahi munkar. Tidaklah herakan kalau dalam bentangan sejarah
yang panjang, sejak Rasulullah Muhammad saw, khulafaurrasyidin, Umayyah
(661-750) sampai Abbasiyah (750-1258) diwarnai kejayaan dalam
bidang politik, karena kemampuannya melakukan ekspansi atau futuhat ke negara-negara atau daerah
lain.
Selain itu, karena persoalan
politik juga, perpecahan, peperangan dan pertumpahan darah di tubuh umat Islam
tidak dapat dielakkan. Beberapa contohnya adalah, terjadinya perang siffin
antara khalifah dengan gubernur (Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyyah), Perang
jamal antara menantu dan mertua (Ali bin Abi Thalib dengan
‘Aisyah), sehingga islam ini takkan lepas dari masalah politik. Untuk lebih
jelasnya masa-masa politik yang terjadi pada masa kepemimpinan khulafaurrasidin
akan dikupas di dalam makalah ini.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa yang dimaksud Khulafaur
Rasyddin?
2.
Bagaimana perkembangan islam pada
masa Khulafaur Rasyiddin?
C. TUJUAN MASALAH
1.
Memahami apa yang dimaksud dengan
Khulafaur Rasyiddin
2.
Mengetahui perkembangan islam
pada masa Khulafaur Rasyiddin
BAB
II
A. PENGERTIAN KHULAFAURRASUDIN
Nabi Muhammad
Saw. meninggal pada tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 11 Hijrah, bertepatan dengan
9 Juni 632 M. Beliau meninggal setelah sebelumnya menderita sakit. Setelah
beliau meninggal, umat Islam kemudian mengharuskan untuk mencari orang yang
akan menggantikan kedudukannya sebagai kepala negara. Kedudukan beliau sebagai
nabi tidak dapat digantikan, karena beliau adalah nabi terahir.[1]
Diantara
orang-orang yang terpilih untuk menggantikan kedudukan nabi Muhammad SAW.
diantaranya adalah, Abu Bakar As-Shidiq, kemudian Ummar bin Khothob, Utsman bin
Affan dan Ali bin Abu Tholib. Keempat sahabat tersebutlah yang mendapat sebutan
“khulafaur raysidin”
Khulafaur Rasyidin
sendiri berasal dari dua kata yaitu khalifah, yang artinya pengganti dan
ar-Rasyidin yang artinya cendikiawan atau orang yang bijak. Dengan demikian Khulafaur
Rasyidin berarti para pengganti cendekia atau yang bijak.[2]
Dalam kehidupan
sehari-hari para pengganti nabi ini mendapat julukan Khalifah. Misalnya, Khalifah
Abu Bakar, Khalifah Umar, Khalifah Utsman, dan khalifah Ali. Dalam sejarah
Islam, sebutan Khulafaur Rasyidin semua hanya dipakai untuk empat orang
khalifah tersebut.
B.
PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN
1.
Masa Khalifah Abu Bakar As-Shidiq (11-13 H/632-634 M)
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat,
pemuka-pemuka Islam segera bermusyawarah untuk mencari
pengganti Rasulullah SAW. Setelah terjadi
perdebatan sengit antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin, akhirnya terpilihlah
sahabat Abu Bakar sebagai Khalifah. Keputusan Rasulullah SAW yang tidak
menunjuk penggantinya sebelum beliau wafat dan menyerahkan pada forum
musyawarah para sahabat merupakan produk budaya Islam yang
mengajarkan bagaimana cara mengendalikan
negara dan pemerintah secara bijaksana dan
demokratis. Terpilihnya Abu Bakar sebagai Khalifah yang pertama dalam
ketatanegaraan Islam merupakan salah satu refleksi dari konsep politik Islam.
Abu Bakar menerima jabatan
Khalifah pada saat Islam dalam keadaan krisis dan gawat.
Yaitu timbulnya perpecahan, munculnya para
nabi palsu dan terjadinya berbagai pemberontakan yang
mengancam eksistensi negeri Islam yang masih baru. Memang pengangkatan Abu
Bakar berdasarkan keputusan bersama (musyawarah di balai Tsaqifah Bani Sa’idah)
akan tetapi yang menjadi sumber utama kekacauan ialah wafatnya nabi dianggap
sebagai terputusnya ikatan dengan Islam, bahkan dijadikan persepsi bahwa Islam
telah berakhir.
Abu Bakar bukan hanya dikatakan
sebagai Khalifah, namun juga sebagai penyelamat Islam dari kehancuran karena
beliau telah berhasil mengembalikan ummat Islam yang telah bercerai berai
setelah wafatnya Rasulullah SAW. Disamping itu beliau juga berhasil memperluas
wilayah kekuasaan Islam. Jadi dapat disimpulkan bahwa letak peradaban pada masa
Abu Bakar adalah dalam masalah agama (penyelamat dan penegak agama Islam
dari kehancuran serta perluasan wilayah)
melalui sistem pemerintahan (kekhalifahan) Islam.
Abu Bakar terpilih menjadi
khalifah disebabkan oleh beberapa hal berikut:
1. Dekat
dengan Rasulullah baik dari ilmunya maupun persahabatannya.
2. Sahabat
yang sangat dipercaya oleh Rasulullah.
3.
Dipercaya oleh
rakyat, sehingga beliau mendapat gelar As–Siddiq, orang yang sangat dipercaya.
4. Seorang
yang dermawan.
5. Abu
Bakar adalah sahabat yang diperintah Rasulullah SAW menjadi Imam Shalat
jama’ah.
6. Abu
Bakar adalah termasuk orang yang pertama
memeluk Islam.[3]
a.
Biografi singkat Abu Bakar As-Shiddik
Bernama
lengkap
Abdullah Abi Quhafah At-Tamimi. Pada zaman pra Islam ia bernama Abu Ka’bah,
kemudian diganti oleh Nabi SAW. menjadi Abdullah. Beliau lahir pada tahun 573
M, dan wafat pada tanggal 23 Jumadil akhir tahun 13 H bertepatan dengan bulan
Agustus 634 M, dalam usianya 63 tahun, usianya lebih muda dari Nabi SAW 3
tahun. Diberi julukan Abu Bakar atau pelopor pagi hari, karena beliau
termasuk orang laki-laki yang masuk Islam pertama kali.
Sedangkan gelar As-Shidiq diperoleh karena beliau senantiasa
membenarkan semua hal yang dibawa Nabi SAW terutama pada saat peristiwa Isra’
Mi’raj.[4]
Abu Bakar adalah sahabat yang menemani Nabi Muhammad Saw. Ketika
hijrah ke Madinah. Ketika menetap di Madinah, Abu Bakar merupakan tangan kanan
Nabi. Nabi sering bermusyawarah dengan Abu Bakar dalam hal-hal yang bersifat
khusus. Bahkan ada yang menyebut Abu Bakar sebagai menteri Rasulullah. Abu
Bakar pulalah yang diserahi untuk menjadi imam shalat ketika Rasulullah sedang
sakit. Di luar itu semua, Abu Bakar adalah mertua Rasulullah, karena puterinya,
Aisyah, diperisteri Nabi. Pendek kata, sesungguhnya Abu Bakar adalah seorang
yanng telah berbagi suka dan duka bersama Rasulullah
Abu Bakar meninggal dunia pada tahun 634 M/13 H. tepatnya pada
tanggal 21 Jumadil Ahir/22 Agustus 634 M. yaitu ketika pasukan angkatan
perangnya sedang berusaha menaklukan Palestina, Irak, dan Kerajaan Hirah.
Ketika sedang sakit, dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan
para sahabatnya yang terkemuka untuk mengangkat Umar bin Khathab sebagai
penggantinya.
b.
Pembaiatan Abu Bakar As-Shidiq
Setelah Rasulullah saw. meninggal
dunia, kaum Anshar berkumpul diSaqiifah bani Saa'idah mereka
menghendaki agar orang yang akan menggantikan Rosulullah sebagai pemimpin umat
islam dipilih dari antara mereka, yaitu Sa'd bin 'Ubaidah r.a. untuk memegang tampuk kepemimpinan. Dalam pada
itu Ali ibnu Abi Tholib mengingini agar beliaulah yang diangkat menjadi
Khalifah, berdasarkan kedudukan beliau dalam islam apa lagi beliau adalah
menantu dan karib Nabi. Tetapi bahagian banyak dari kaum muslimin menghendaki
Abu Bakar, maka terpilihlah beliau menjadi Khalifah.[5]
Sesudah
Abu Bakar diangkat menjadi Kholifah beliau berpiudato. Dalam pidatonya itu
dijelaskannya sisat pemerintahan yang akan beliau jalankan. Dalam pidatonya
tersebut beliau berkata:
“Wahai manusia, Saya telah
diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik
diantaramu. Maka jikalau aku menjalankan tugasku dengan baik, ikutlah aku,
tetapi jika aku berbuat salah, maka betulkanlah! Orang yang kamu pandang kuat,
saya pandang lemah, hingga aku dapat mengambil hak dari padanya, sedang orang
yang kamu pandang lemah, saya pandang kuat, sehingga saya dapat mengembalikan
haknya kepadanya. Hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan
Rosul-Nya, tetapi bilamana aku tiada mentaati Allah dan Rosul-Nya kamu tak
perlu mentaati ku.”[6]
Ini adalah proses pembaiatan Abu
Bakar r.a. Pembaiatan ini terjadi dengan pemilihan yang dilakukan oleh kaum
Muhajirin, Anshar, dan tokoh-tokoh umat Islam lainnya dan juga dengan
pernyataan kesanggupan Abu Bakar r.a. atas pemilihan dan pengangkatannya
sebagai khalifah.
c.
Sistim politik masa pemerintahan khalifah Abu Bakar As-Syiddiq
Denga terpilihnya Abu Bakar
menjadi Khalifah, maka mulailah beliau menjalankan kekhalifahannya, baik
sebagai pemimpin umat maupun sebagai pemimpin pemerintahan. Adapun sistem
politik Islam pada masa Abu Bakar bersifat “sentral”, jadi kekuasaan legislatif,
eksekutif dan yudikatif terpusat ditangan Khalifah, meskipun demikian dalam
memutuskan suatu masalah, Abu Bakar selalu mengajak para
sahabat untuk bermusyawarah.
Adapun kebijakan-kebijakan beliau
saat menjadi khalifah diantaranya sebagai berikut:
1. Pengiriman pasukan dibawah pimpinan Usamah ke Romawi.
2. Pengumpulan zakat.
3. Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an.
4. Memerangi nabi-nabi palsu
5. Pemerintahan dengan musyawarah
d.
Penyelesaian
kaum riddat
Kekhalifahan Abu Bakar yang
begitu singkat sangat disibukkan dengan peperangan. Dalam pertempuran itu tidak
hanya melawan musuh-musuh Islam dari luar, tetapi juga dari dalam. Hal ini
terjadi karena ada sekelompok orang yang memancangkan panji pemberontakan
terhadap negara Islam di Madinah dan
meninggalkan Islam (murtad) setelah Rasulullah wafat.
Gerakan riddat (gerakan
belot agama), bermula menjelang Nabi Muhammad jatuh sakit. Ketika tersiar
berita kemangkatan Nabi Muhammad, maka gerakan belot agama itu meluas di
wilayah bagian tengah, wilayah bagian timur, wilayah bagian selatan sampai ke Madinah
Al-Munawarah serta Makkah Al-Mukaramah itu sudah berada dalam keadaan
terkepung. Kenyataan itu yang dihadapi Khalifah Abu Bakar.
Gerakan riddat itu bermula dengan
kemunculan tiga tokoh yang mengaku dirinya Nabi, guna menyaingi Nabi Muhammad
SAW, yaitu: Musailamah, Thulhah, Aswad Al-Insa. Musailamah berasal dari suku
bangsa Bani Hanifah di Arabia Tengah, Tulaiha seorang kepala suku
Bani Asad, Sajah seorang wanita KRISTEN
dari Bani Yarbu yang menikah dengan Musailamah. Masing-masing
orang tersebut berupaya meluaskan pengikutnya dan membelakangi agama Islam.
Para nabi palsu tersebut pada
umumnya menarik hati orang-orang Islam dengan membebaskan prinsip-prinsip
moralis dan upacara keagamaan seperti membolehkan minum-minuman keras, berjudi,
mengurangi sholat lima waktu menjadi tiga, puasa Ramadhan dihapus,
pengubah pembayaran zakat yang wajib menjadi suka rela dan meniadakan batasan
dalam perkawinan.
Dalam gerakannya Aswad dan
kawan-kawannya berusaha menguasai dan mempengaruhi masyarakat Islam, dengan
mengerahkan pasukan untuk masuk ke daerah- daerah. Akhirnya pasukan riddatpun
berhasil menyebar kedaerah-daerah, diantaranya. Bahrain, Oman Mahara dan
Hadramaut. Para panglima kaum riddat semakin gencar melaksanakan misinya.
Akan tetapi Khalifah Abu Bakar
tidak tinggal diam, beliau berusaha untuk memadamkan dan menumpas gerakan kaum
riddat. Dengan sigap Khalifah Abu Bakar membentuk sebelas pasukan dan
menyerahkan al-liwak (panji pasukan) kepada masing-masing pasukan,
pemimpin-peminpin pasukan tersebut diantaranya adalah Khalid bin Walid, Amr bin Ash, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Syurahbil
bin Hasanah. Di samping itu, setiap pasukan dibekali al-mansyurat
(pengumuman) yang harus disampaikan pada suku-suku Arab yang melibatkan
dirinya dalam gerakan riddat. Kandungan isinya memanggil kembali kepada jalan
yang benar. Jikalau masih berkeras kepala, maka barulah dihadapi dengan
kekerasan.
Beberapa dari suku itu tunduk
tanpa peperangan, sementara yang lainnya tidak mau menyerah, bahkan mengobarkan
api peperangan. Oleh karena itu pecahlah peperangan melawan mereka, dalam hal
ini Kholid bin Walid yang diberi tugas untuk menundukan Tulaiha, dalam perang
Buzaka berhasil dengan cemerlang. Sedangkan Musailamah seorang penuntut kenabian
yang paling kuat, Abu Bakar mengirim Ikrimah dan Surabil. Akan tetapi
mereka gagal menundukan Musailamah, kemudia
Abu Bakar mengutus Kholid untuk melawan
nabi palsu dari Yaman itu. Dalam
pertempuran itu Kholid dapat mengahacurkan
pasukan Musailamah dan membunuh dalam taman
yang berdinding tinggi, sehingga taman disebut “taman maut”.
Adapaun nabi palsu yang lainnya
termasuk Tulaihah dan Sajah serta kepala suku yang murtad, kembali masuk Islam.
Dengan demikian, dalam waktu satu tahun semua perang Islam diberkahi dengan
keberhasilan. Abu Bakar dengan para panglimanya menghancurkan semua kekuatan
pengacau dan kaum murtad. Oleh karena itu, beliau tidak hanya disebut sebagai
Khalifah umat Islam, tetapi juga sebagai penyelamat Islam dari kekacauan dan
kehancuran bahkan telah menjadikan Islam sebagai agama Dunia.[7]
2.
Masa Khalifah Umar bin Khottob (13 H/634-23H/644 M)
Umar adalah khalifah kedua dari
Islam. Dia juga dikenal dengan panggilannya, Abu Hafs, sedangkan dia menerima
julukan Faruq (yakni orang yang memisahkan kebenaran dari kepalsuan), setelah
memeluk islam. Umar bin Khatab adalah keturunan Quraisy dari suku
Bani Ady. Suku Bani Ady terkenal sebagai suku yang
terpandang mulia dan berkedudukan tinggi
pada masa Jahiliah. Umar bekerja sebagai saudagar. Beliau juga sebagai
duta penghubung ketika terjadi suatu masalah antara kaumnya dengan suku Arab
lain. Sebelum masuk Islam beliau adalah orang yang paling keras menentang
Islam, tetapi setelah beliau masuk Islam dia pulalah yang paling depan dalam
membela Islam tanpa rasa takut dan gentar.
a.
Biografi singkat Umar bin Khottob
Nama
lengkapnya adalah Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdil Uzza bin Ribaah bin
Abdullah bin Qarth bin Razaah bin Adiy bin Kaab. Ibunya adalah Hantamah binti
Hasyim bin Mughirah bin Abdillah bin Umar bin Mahzum. Ia berasal dari suku
Adiy, suatu suku dalam bangsa Quraisy yang terpandang mulia, megah dan berkedudukan
tinggi. Dia dilahirkan 14 tahun sesudah kelahiran Nabi. Sebelum masuk Islam,
dia adalah seorang orator yang ulung, pegulat tangguh, dan selalu diminta
sebagai wakil sukunya bila menghadapi konflik dengan suku Arab yang lainnya.
Terkenal sebagai orang yang sangat pemberani dalam menentang Islam, punya
ketabahan dan kemauan keras, tidak mengenal bingung dan ragu.
Ia
masuk Islam setelah mendengar ayat-ayat Al-Quran yang dibaca oleh adiknya
(Fatimah binti Khattab), padahal ketika itu ia hendak membunuhnya karena
mengikuti ajaran Nabi. Dengan masuknya Umar kedalam Islam, maka terjawablah doa
Nabi yang meminta agar Islam dikuatkan dengan salah satu dari dua Umar (Umar
bin Khattab atau Amr bin Hisyam) dan sebagai suatu kemenangan yang nyata bagi
Islam.
Sebelum
Khalifah Abu Bakar wafat, beliau telah menunjuk Umar sebagai pengganti
posisinya dengan meminta pendapat dari tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan
sahabat seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman, dan Tolhah bin Ubaidillah. Masa
pemerintahan Umar bin Khatab berlangsung selama 10 tahun 6 bulan, yaitu dari
tahun 13 H/634M sampai tahun 23H/644M. Beliau
wafat pada usia 64 tahun. Tepatnya pada tanggal 7
November 644 M. Umar meninggal karena ditikam oleh Fairuz (Abu Lukluk), budak
Mughirah bin Abu Sufyan dari perang Nahrrawain yang sebelumnya adalah bangsawan
Persia. Mughirah dipecat oleh Umar karena ia melakukan pembocoran rahasia
Negara dan pengkhianatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa alasan
pembunuhan politik pertama kali dalam sejarah Islam adalah adanya rasa
syu’ubiyah (fanatisme) yang berlebihan pada bangsa Persia dalam dirinya.[8]
b. Kebijakan-kebijakan politik Umar bin Khottob
1. Dibentuknya Ahlul Hall Wal ‘Aqdi
Secara etimologi, ahlul
hall wal aqdi adalah lembaga penengah dan pemberi fatwa.
Sedangkan menurut terminologi, adalah wakil-wakil rakyat yang duduk sebagai
anggota majelis syura, yang terdiri dari alim ulama dan kaum cerdik pandai
(cendekiawan) yang menjadi pemimpin-pemimpin rakyat dan dipilih atas mereka. Dinamakan
ahlul hall wal aqdi untuk menekankan wewenang mereka guna menghapuskan
dan membatalkan.
Dalam
masa pemerintahannya, Umar telah membentuk
lembaga-lembaga yang disebut juga dengan ahlul hall wal aqdi, di
antaranya adalah:
a.
Majelis
Syura (Diwan Penasihat), ada tiga bentuk :
1.
Dewan Penasihat Tinggi, yang
terdiri dari para pemuka sahabat yang terkenal, antara lain Ali, Utsman,
Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabbal, Ubay bin Kaab, Zaid bin Tsabit, Tolhah
dan Zubair.
2.
Dewan Penasihat Umum, terdiri
dari banyak sahabat (Anshar dan Muhajirin) dan pemuka berbagai suku, bertugas
membahas masalah-masalah yang menyangkut kepentingan umum.
3.
Dewan antara Penasihat Tinggi dan
Umum. Beranggotakan para sahabat (Anshar dan Muhajirin) yang dipilih, hanya
membahas masalah-masalah khusus.
b. Al-Katib (Sekretaris Negara), di antaranya adalah Abdullah bin
Arqam.
c. Nidzamul Maly (Departemen
Keuangan) mengatur masalah
keuangan dengan pemasukan dari pajak bumi, ghanimah, jizyah, fai’
dan lain-lain.
d. Nidzamul Idary (Departemen Administrasi), bertujuan untuk
memudahkan pelayanan kepada masyarakat, di antaranya
adalah diwanul jund yang bertugas menggaji
pasukan perang dan pegawai pemerintahan.
e. Departemen Kepolisian dan Penjaga
yang bertugas memelihara keamanan dalam negara
f. Departemen Pendidikan dan lain-lain.[9]
Pada
masa Umar, badan-badan tersebut belumlah terbentuk secara resmi, dalam arti
secara de jure belum terbentuk, tapi secara de facto telah dijalankan
tugas-tugas badan tersebut. Meskipun demikian, dalam menjalankan roda
pemerintahannya, Umar senantiasa mengajak musyawarah para sahabatnya.
c. Perluasan wilayah
Ketika para pembangkang di dalam
negeri telah dikikis habis oleh Khalifah Abu Bakar dan era penaklukan militer
telah dimulai, maka Umar menganggap bahwa tugas utamanya adalah mensukseskan
ekspedisi yang dirintis oleh pendahulunya. Belum lagi genap satu tahun
memerintah, Umar telah menorehkan tinta emas dalam sejarah perluasan wilayah
kekuasaan Islam. Pada tahun 635 M, Damascus, Ibu kota Syuriah, telah ia
tundukkan. Setahun kemudian seluruh wilayah Syuriah jatuh ke tangan kaum
muslimin, setelah pertempuran hebat di lembah Yarmuk di sebelah timur anak
sungai Yordania.[10]
Keberhasilan pasukan Islam dalam
penaklukan Syuriah di masa Khalifah Umar tidak lepas dari
rentetan penaklukan pada masa sebelumnya.
Khalifah Abu Bakar telah mengirim pasukan besar dibawah
pimpinan Abu Ubaidah Ibn al-Jarrah ke front Syuriah. Ketika pasukan itu
terdesak, Abu Bakar memerintahkan Khalid Ibn al-Walid yang sedang dikirim untuk
memimpin pasukan ke front Irak, untuk membantu pasukan di Syuriah. Dengan
gerakan cepat, Khalid bersama pasukannya menyeberangi gurun pasir luas ke
arah Syuriah. Ia bersama Abu Ubaidah
mendesak pasukan Romawi. Dalam keadaan genting itu,
wafatlah Abu Bakar dan diganti oleh Umar bin al-Khattab.[11]
Jadi
singkatnya perluasan wilayah itu meliputi, Jazirah Arabia, Palestina, Syiria,
Mesir dan sebagian besar Persia.
d. Pengembangan Islam Sebagai Kekuatan Politik
Periode
kekhalifahan Umar tidak diragukan lagi merupakan “abad emas” Islam dalam segala
zaman. Khalifah Umar bin Khattab mengikuti langkah-langkah Rasulullah dengan
segenap kemampuannya, terutama pengembangan Islam. Ia bukan sekedar seorang
pemimpin biasa, tetapi seorang pemimpin
pemerintahan yang professional. Ia adalah pendiri
sesungguhnya dari sistem politik Islam. Ia melaksanakan hukum-hukum Ilahiyah
(syariat) sebagai code (kitab undang-undang) suatu masyarakat Islam yang baru
dibentuk. Maka tidak heran jika ada yang mengatakan bahwa beliaulah pendiri
daulah islamiyah (tanpa mengabaikan jasa-jasa Khalifah sebelumnya).[12]
Banyak
metode yang digunakan Umar dalam melakukan perluasan wilayah, sehingga
musuh mau menerima Islam karena perlakuan
adil kaum Muslim. Di situlah letak kekuatan
politik terjadi. Dari usahanya, pasukan kaum Muslim mendapatkan gaji dari hasil
rampasan sesuai dengan hukum Islam. Untuk mengurusi masalah ini, telah dibentuk
Diwanul Jund. Sedangkan untuk pegawai biasa, di samping menerima gaji tetap
(rawatib), juga menerima tunjangan (al-itha’). Khusus untuk Amr bin Ash,
Umar menggajinya sebesar 200 dinar mengingat jasanya yang besar dalam ekspansi.
Dan untuk Imar bin Yasar, diberi 60 dinar disamping tunjangan
(al-jizyaat) karena hanya sebagai kepala daerah (al-amil).[13]
Dalam
rangka desentralisasi kekuasaan, pemimpin
pemerintahan pusat tetap dipegang oleh
Khalifah Umar bin Khattab. Sedangkan di
propinsi, ditunjuk Gubernur (oramg Islam) sebagai pembantu Khalifah
untuk menjalankan roda pemerintahan. Di antaranya adalah :
1.
Muawiyah bin Abu Sufyan, Gubernur
Syiria, dengan ibukota Damaskus.
2.
Nafi’ bin Abu Harits, Gubernur
Hijaz, dengan ibu kota Mekkah.
3.
Abu Musa Al Asy’ary, Gubernur
Iran, dengan ibu kota Basrah.
4.
Mughirah bin Su’bah, Gubernur
Irak, dengan ibu kota Kufah.
5.
Amr bin Ash, Gubernur Mesir,
dengan ibu kota Fustat.
6.
Alqamah bin Majaz, Gubernur
Palestina, dengan ibu kotai Jerussalem.
7.
Umair bin Said, Gubernur jazirah
Mesopotamia, dengan ibu kota Hims.
8.
Khalid bin Walid, Gubernur di
Syiria Utara dan Asia Kecil.[14]
Khalifah Umar bukan saja
menciptakan peraturan-peraturan baru, beliau juga memperbaiki dan mengadakan
perbaikan terhadap peraturan-peraturan yang perlu direvisi dan dirubah.
Umpamanya aturan yang telah berjalan tentang sistem pertanahan, bahwa kaum
muslimin diberi hak menguasai tanah dan segala sesuatu yang didapat dengan
berperang. Umar mengubah peraturan ini, tanah-tanah
itu harus tetap dalam tangan pemiliknya semula, tetapi
bertalian dengan ini diadakan pajak tanah (al-kharaj). Umar juga meninjau
kembali bagian-bagian zakat yang diperuntukkan
kepada orang-orang yang dijinaki hatinya (al-muallafatu qulubuhum).
3. Masa Khalifah Utsman bin Affan (24–36 H/644–656 M)
Utsman adalah khalifah ke tiga setelah Khalifah
‘Umar bin Khattab. Sebagai salah satu dari assabiquunal awwalun
(golongan orang-orang yang pertama masuk Islam), dia adalah saudagar sukses
yang berlimpah kekayaan hartanya. Dia dijuluki oleh Nabi Muhammad dengan
sebutan “Dzunnurain” yang artinya “orang yang mempunyai dua cahaya”, ia
dijuluki seperti itu karena menikahi dua anak Nabi Muhammad yaitu Ruqaiyah dan
Ummu Kultsum. Dia mempunyai pribadi yang paling jujur, pemalu dan rendah hati
serta dermawan di antara kaum muslimin. Dia begitu dihormati oleh masyarakat di
sekelilingnya bahkan Nabi juga menghormatinya.
Awal masuknya ‘Utsman ke dalam Islam dimulai
dengan sebuah suara dalam mimpinya di bawah rindang pohon antara maan dan
azzarqa yang menyarankan agar dia segera kembali ke Mekkah sebab orang yang
bernama Muhammad sebagai utusan Tuhan telah muncul membawa ajaran baru yang
kelak akan merubah dunia. Setelah terbangun dari mimpinya, dia mendatangi Abu
Bakar ash-Shidiq yang telah masuk Islam lebih dahulu daripada ‘Utsman, lalu
menceritakannya dan meminta pendapat tentang mimpinya itu. Abu Bakar
mengajaknya untuk menghadap Nabi Muhammad saw. Dan’Utsman menyatakan
keislamannya.
a.
Biografi Utsman bin Affan
Utsman
merupakan keturunan Bani Umayyah, lahir pada 574 M bertepatan dengan tahun
ke-enam dari kelahiran Nabi Muhammad saw. ‘Utsman merupakan anak dari
pasangan ‘Affan ibn Abi Ash dan Arwa binti Kuriz bin Rabiah, nama kakeknya
adalah ‘Abdi Manaf ibn Qushay. Sejak kecil, ia
dikenal dengan kecerdasan, kejujuran dan keshalehannya
sehingga Rasulullah SAW sangat mengaguminya. Oleh karena itu,
ia memberikan kesempatan untuk menikahi dua putri Nabi secara berurutan,
yaitu setelah putri Nabi yang
satu meninggal Dunia.[15]
Ustman
bin Affan masuk Islam pada usia 34 tahun. Berawal dari kedekatannya
dengan Abu Bakar, beliau dengan sepenuh hati masuk Islam bersama sahabatnya
Thalhah bin Ubaidillah. Meskipun masuk Islamnya
mendapat tantangan dari pamannya yang bernama Hakim, ia
tetap pada pendiriannya. Karena pilihan agamanya tersebut, Hakim sempat
menyiksa Ustman bin Affan dengan siksaan yang amat pedih. Siksaan terus
berlangsung hingga datang seruan Nabi Muhammad SAW agar orang-orang Islam
berhijrah ke Habsyi.
Ia wafat pada tanggal 17 Dzulhijjah 35 H. Utsman
meninggal karena dibunuh oleh para pemberontak. Dan waktu itu dalam keadaan
membaca Al-Qur’an pada hari Jum’at. Ia mati dalam keadaan syahid, persis dengan
apa yang dikatakan oleh Nabi Muhammad saw mengenai kematiannya yang syahid itu. Utsman
dimakamkan di kuburan Baqi’ di Madinah.[16]
b. Pembaiatan Utsman bin Affan
Pembai’atan ‘Utsman sebagai khalifah berdasar
kesepakatan enam orang sahabat termasuk dirinya yang telah ditunjuk langsung
oleh ‘Umar ibn Khattab untuk menjadi penggantinya yang akan melanjutkan
kepemimpinan dan perjuangannya dalam menyebarkan Islam ke penjuru dunia. Dari
masa inilah awal pengangkatan seorang khalifah secara demokratis dengan jalan
musyawarah yang diwakili oleh ke enam orang sahabat sepanjang sejarah manusia.
Enam orang tersebut adalah: ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Utsman bin ‘Affan,
‘Abdurahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqas, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin
‘Ubaidillah. Selanjutnya ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqas, Zubair bin
Awwam, dan Thalhah bin ‘Ubaidillah. Namun, empat sahabat yang mengundurkan diri
dalam pemilihan itu sehingga tinggal ‘Utsman dan ‘Ali. Masyarakat banyak yang
memilih ‘Utsman daripada ‘Ali untuk menjadi khalifah yang ke tiga. ‘Utsman
diangkat menjadi khalifah pada saat ia berusia 70 tahun pada bulan Muharram 24
H. ‘Utsman menjadi khalifah di saat pemerintah Islam telah betul-betul mapan
dan terstruktur.[17]
c.
Kebijakan-kebijakan politik Utsman bin Affan
1.
Perluasan
Wialayah Penyebaran Islam
Utsman
harus berusaha dengan lebih keras lagi untuk mempertahankan dan melanjutkan
perjuangan panji islam sebab berbagai ancaman dan rintangan akan semakin berat
untuknya mengingat pada masa sebelumnya telah tersiar tanda-tanda adanya negeri
yang pernah ditaklukkan oleh islam hendak berbalik memberontak padanya. Namun
demikian, meski banyak kesulitan yang dihadapi beliau sanggup meredakan dan
menumpas segala pembangkangan mereka, bahkan pada masa ini Islam berhasil
tersebar hampir ke seluruh belahan dunia mulai dari Anatolia, dan Asia kecil,
Afganistan, Samarkand, Tashkent, Turkmenistan, Khurasan dan Thabrani Timur
hingga Timur Laut seperti Libya, Aljazair, Tunisia, Maroko dan Ethiopia. Maka
islam lebih luas wilayahnya jika dibandingkan dengan Imperium sebelumnya yakni
Romawi dan Persia karena islam telah menguasai hampir sebagian besar daratan
Asia dan Afrika.[18]
2.
Penyusunan
Al-Qur’an
Penyusunan
al-Qur’an sudah ada sejak kekhalifahan Abu Bakar atas usulan ‘Umar bin Khatthab
yang kemudian disimpan di tangan istri Nabi yaitu Hafsah binti ‘Umar. dengan
pertimbangan bahwa banyak dari para penghafal al- Qur’an yang gugur usai
peperangan Yamamah. Pada masa kekhalifahan ‘Ustman banyak ditemukan
perbedaan lahjah dan bacaan terhadap al-Qur’an karena tersebar luasnya Islam
hampir ke seluruh bagian bumi. Inilah yang mendorong beliau untuk menyusun
kembali al- Qur’an yang dibawa oleh Hafshah dan menyeragamkannya ke dalam
bahasa Quraisy agar tidak terjadi perselisihan.
Maka
diutuslah beberapa orang kepercayaannya untuk menyebarkan al-Qur’an hasil
kodifikasinya ke beberapa daerah penting antara lain Makkah, Syiria, Kuffah,
Syam, Bashrah dan Yaman. Kemudian Beliau menginstruksikan untuk membakar semua
mushaf yang lain dan berpatokan pada mushaf yang baru yang diberi nama Mushaf
al-Iman.[19]
3.
Pembentukan
armada laut
Ide
atau gagasan untuk membuat sebuah armada laut Islam sebenarnya telah ada sejak
masa kekhalifahan ‘Umar bin Khattab namun beliau menolaknya karena khawatir hal
itu akan membebani kaum muslimin pada saat itu. Setelah kekhalifahan berpindah
tangan pada ‘Utsman maka gagasan itu diangkat kembali ke permukaan dan berhasil
menjadi kesepakatan bahwa kaum muslimin memang harus ada yang mengarungi lautan
meskipun sang khalifah mengajukan syarat untuk tidak memaksa seorangpun kecuali
dengan sukarela. Berkat armada laut ini wilayah Islam bertambah luas setelah
menaklukkan pulau Cyprus meski harus melewati peperangan yang melelahkan.[20]
Selain hal-hal tersebut diatas jasa-jasa Usman diantaranya adalah:
1.
Perluasan masjid (Masjidil Haram dan Masjid
Nabawi) karena semakin banyak dan ramai umat Islam berbondong-bondong
menunaikan rukun Islam yang ke lima yaitu haji
2.
Mencetuskan ide polisi keamanan bagi rakyatnya
3.
Membuat bangunan khusus untuk mahkamah dan
untuk mengadili suatu perkara
4.
Banyak mengganti gubernur wilayah yang tidak
cocok atau kurang cakap dan menggantikannya dengan orang-orang yang lebih
kredibel.[21]
4. Masa khalifah
Ali bin Abu Tholib
Khalifah
Ali bin Abi Thalib adalah Amirul Mukminin keempat yang dikenal sebagai orang
yang alim, cerdas dan taat beragama. Ali juga saudara sepupu Nabi Saw. (anak
paman Nabi, Abu Thalib), yang jadi menantu Nabi, suami dari putri Rasulullah
serta mempunyai keturunan. Dalam pemilihan khalifah terdapat perbedaan pendapat
antara pemilihan Abu bakar, Usman dan Ali. Ketika kedua pemilihan khalifah
terdahulu (Khalifah Abu Bakar dan Umar), meskipun mula-mula terdapat sejumlah
orang yang menentang, tetapi setelah calon terpilih dan diputuskan menjadi
khalifah, semua orang menerimanya dan ikut berbaiat serta menyatakan
kesetiaannya. Namun lain halnya ketika pemilihannya Ali, justru sebaliknya.
Setelah
terbunuhnya Usman bin Affan, masyarakat beramai-ramai datang dan membaiat Ali
sebagai Khalifah. Ali diangkat melalui pemilihan dalam pertemuan terbuka. Akan
tetapi suasana pada saat itu sedang kacau, karena hanya ada beberapa tokoh
senior masyarakat Islam yang tinggal di Madinah, sehingga keabsahan
pengangkatan Ali ditolak oleh sebagian masyarakat termasuk Mu’awiyah bin Abi
Sufyan. Meskipun hal itu terjadi, Ali masih menjadi khalifah dalam pemerintahan
Islam. Pro dan kontra terhadap pengangkatan Ali terjadi karena beberapa hal
yaitu bahwa orang yang tidak menyukai Ali diangkat menjadi khalifah, bukanlah
rakyat umum yang terbanyak. Akan tetapi golongan kecil (keluarga Umayah) yaitu
keluarga yang selama ini telah hidup bergelimang harta selama pemerintahan
Khalifah Usman. Mereka menentang Ali karena khawatir kekayaan dan kesenangan
mereka akan hilang lenyap karena keadilan yang akan dijalankan oleh Ali. Adapun
rakyat terbanyak, mereka menantikan kepemimpinan Ali dan menyambutnya dengan
tangan terbuka. Ali akan dijadikan tempat berlindung melepaskan diri dari
penderitaan yang mereka alami.[22]
a.
Biografi Ali bin Abu Tholib
Dia adalah khalifah keempat dari Khulafaur
Rasyidin. Ayahnya Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hisyam bin Abdi Manaf.
Ibunya Fathimah binti Asad binti Hasyim bin Abdi Manaf. Jadi, baik dari pihak
ayah maupun ibunya, Ali adalah keturunan Bani Hasyim.
Ali
dilahirkan dalam Ka’bah, 23 tahun sebelum Hijrah, dan mempunyai nama kecil
Haidarah. Ia baru menginjak usia sepuluh tahun ketika Rasulullah menerima wahyu
yang pertama. Sejak kecil Ali telah menunjukkan pemikirannya yang kritis dan
brilian.
Kesederhanaan,
kerendah-hatian, ketenangan dan kecerdasan dari kehidupan Ali yang bersumber
dari Al-Qur’an dan wawasan yang luas, membuatnya menempati posisi istimewa di
antara para sahabat Rasulullah Saw lainnya. Kedekatan Ali dengan keluarga
Rasulullah semakin erat ketika ia menikah dengan putri bungsu beliau, Fathimah.[23]
Pengetahuannya dalam agama Islam amat luas. Karena
dekatnya dengan Rasulullah, beliau termasuk orang
yang banyak meriwayatkan Hadits Nabi.
Keberaniannya juga masyhur dan
hampir di seluruh peperangan
yang dipimpin Rasulullah, Ali senantiasa berada di barisan muka.
Ketika Abu Bakar menjadi
Khalifah, beliau selalu mengajak Ali untuk memusyawarahkan masalah-masalah
penting. Begitu pula Umar bin Khathab tidak mengambil
kebijaksanaan atau melakukan tindakan tanpa musyawarah dengan Ali.
Utsmanpun pada masa permulaan jabatannya dalam banyak perkara
selalu mengajak Ali dalam permusyawaratan. Demikian pula, Ali juga tampil
membela Utsman ketika berhadapan dengan pemberontak.
b.
Pembaiatan Ali bin Abu Tholib
Dalam pemilihan
Khalifah terdapat perbedaan pendapat antara
pemilihan Abu bakar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Ketika kedua
pemilihan Khalifah terdahulu (Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Ustman ibn
Affan), meskipun mula-mula terdapat sejumlah orang yang menentang, tetapi
setelah calon terpilih dan diputuskan menjadi Khalifah, semua orang
menerimanya dan ikut berbaiat serta
menyatakan kesetiaannya. Namun lain halnya ketika
pemilihannya Ali bin Abi Thalib, justru sebaliknya.
Setelah
terbunuhnya Utsman bin Affan, masyarakat beramai-ramai datang dan
membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Beliau
diangkat melalui pemilihan dan pertemuan terbuka. Akan
tetapi suasana pada saat itu sedang kacau, karena hanya ada beberapa tokoh senior
masyarakat Islam yang tinggal di Madinah. Sehingga keabsahan pengangkatan Ali
bin Abi Thalib ditolak oleh sebagian masyarakat termasuk Mu’awiyah bin Abi
Sufyan. Meskipun hal itu terjadi, Ali masih menjadi
Khalifah dalam pemerintahan Islam.[24]
Pro
dan kontra terhadap pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah di
karenakan beberapa hal yaitu bahwa orang yang tidak menyukai Ali
diangkat menjadi Khalifah, bukanlah rakyat umum yang terbanyak. Akan tetapi
golongan kecil (keluarga Umaiyyah) yaitu keluarga yang selama ini telah hidup
bergelimang harta selama pemerintahan Khalifah Ustman. Mereka menentang Ali
karena khawatir kekayaan dan kesenangan mereka akan hilang lenyap
karena keadilan yang akan dijalankan oleh Ali. Adapun rakyat terbanyak, mereka
menantikan kepemimpinan Ali dan menyambutnya dengan tangan terbuka. Beliau akan
dijadikan tempat berlindung melepaskan diri dari penderitaan yang mereka alami.
c.
Kebijakan Politik Ali bin
Abi Thalib
Setelah Ali dibaiat
menjadi Khalifah, ia mengeluarkan dua kebijaksanaan politik yang sangat radikal
yaitu:
1. Memecat
kepala daerah angkatan Ustman dan menggantikan dengan gubenur baru.
2. Mengambil
kembali tanah yang dibagi–bagikan Ustman kepada famili–familinya dan kaum kerabatnya
tanpa jalan yang sah.[25]
Menanggapi kebijakan
yang dilakukan oleh Ali tersebut, ada
yang berpendapat bahwa kebijaksanaan Ali itu terlalu radikal dan kurang
persuasive, sehingga menimbulkan perlawanan politik dari gubenur khususnya
gubenur Syiria (Bani Ummayyah) yang tidak mau tunduk pada Khalifah Ali,
terbukti ia menolak kehadiran gubenur yang baru diangkat Ali.
Tindakan politik Ali yang radikal itu
kendati strategis tapi tidak taktis, sebab pada masa Khalifah Ustman konflik
etnis antara Bani Ummayyah dan Bani Hasyim sudah ada,
terbukti ketika Ustman terbunuh secara
misterius Bani Ummayyah mengeksploitasi tuduhan
pada Ali, karena didasari Bani Umayyah yang
memang ambisi menjadi Khalifah.[26]
Semestinya gerakan radikal Ali
untuk mengusir elite Bani Umayyah dilakukan secara bertahap, sebab
walau bagaimanapun elite baru yang telah
lama berkuasa seperti Muawiyah sulit ditundukkan, sedangkan Ali
yang mengandalkan idealisme dan dukungan masyarakat bawah beberapa kelompok tua
terlalu intelektual tapi kurang pengalaman dalam menyelesaikan konflik dalam
pemerintahan, sehingga dengan demikian yang muncul dalam pemerintahan bukan
integrasi tetapi disintegrasi yang ditandai dengan lahirnya perang
saudara yang pertama kali dalam Islam, yakni perang jamal.[27]
d.
Masalah yang dihadapi Khalihaf Ali bin Abu Tholib
Sepeninggal
Utsman, Ali bin Abi Thalib menanggung beban yang cukup berat. Di satu pihak, ia
harus membersihkan para ‘penjilat’ yang selama ini memengaruhi Utsman. Di satu
sisi, ia juga harus mengusut tuntas kasus pembunuhan khalifah Utsman.
Khalifah Ali
benar-benar dihadapkan pada permasalahan besar. Yang ia hadapi saat itu bukan
musuh kuat yang bisa dikalahkan dengan tajamnya pedang. Bukan pula pasukan
besar yang bisa ditaklukkan dengan strategi jitu. Tetapi benar-benar
permasalahan pelik. Di tengah permasalahan itu, akhirnya Ali memutuskan untuk
memulai penataan pemerintahan baru yang bermasa depan cerah. Namun usahanya
membuat penyegaran di pemerintahan dengan memberhentikan seluruh gubernur yang
pernah diangkat Utsman, malah memicu konflik baru.
Menghadapi
kebijakan itu, ada beberapa sahabat yang dengan legowo mengundurkan diri dari
pentas politik seperti Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Umar. Namun ada
juga di antara mereka yang tetap bersikukuh meminta Ali untuk mendahulukan
penuntasan kasus pembunuhan Utsman. Suatu keharusan yang saat itu sangat sulit
dilakukan oleh Ali lantaran di antara para pembunuh itu justru masih bercokol
di kota Madinah.
Beberapa
sahabat seperti Ahnaf bin Qais At-Tamimi memahami kebijakan Ali bin Abi Thalib.
Menurutnya, pembunuhan terhadap Utsman jelas perbuatan jahat yang harus
ditindak. Tetapi, suasana eksplosif saat itu sangat tidak memungkinkan bagi
Khalifah Ali untuk mengambil tindakan tegas. Pada saat yang sama, Ahnaf mencium
adanya gelagat orang ketiga yang menghendaki terjadinya pertikaian.
Atas dasar itu,
ia berusaha mencegah agar tidak terjadi pertempuran. Namun usahanya gagal. Di
akhir negosiasinya dengan Ali bin Abi Thalib ia sempat memberikan pilihan. “Aku
berperang di pihakmu atau aku mencegah 10.000 pedang tertuju padamu?” tanya
Ahnaf.[28]
Menghadapi
tawaran itu, dengan bijak Khalifah Ali menjawab, “Cegahlah 10.000 pedang
terhadapku.”[29]
Dengan jawaban
itu, Ahnaf memutuskan untuk menjauhkan diri bersama 10.000 pasukagnnya. Ia
tidak sampai hati menghadapkan senjata terhadap Ummul Mukminin, Aisyah.
Sebaliknya, Aisyah juga tidak mungkin mengangkat senjata untuk memerangi sepupu
Rasulullah Saw, Ali bin Abi Thalib.[30]
Namun sejarah
harus mencatat, puncak kemelut itu harus melahirkan tragedi kelam, Perang Jamal
(Perang Onta). Dinamakan demikian karena Aisyah mengendarai onta. Peperangan
berakhir dengan kemenangan di pihak Ali. Thalhah bin Ubaidillah yang berada di
pihak Aisyah berhasil meloloskan diri ke Basrah, tetapi akibat luka parah yang
dideritanya, ia pun wafat. Zubair bin Awwam yang juga berada di pihak Aisyah
gugur. Sedangkan Aisyah tertawan, dan hanya satu hari kemudian ia dibebaskan
dan dikembalikan ke Makkah dengan diantar langsung oleh saudaranya, Muhammad
bin Abu Bakar.[31]
Sementara itu,
ketidakpuasan terhadap Ali yang belum menuntaskan kasus pembunuhan Utsman,
melahirkan gejolak baru di daerah Syria (Suriah). Pertentangan politik antara
Ali dan Muawiyah mengakibatkan pecahnya Perang Shiffin (37 H). Pasukan Ali yang
berjumlah sekitar 95.000 orang melawan 85.000 pasukan Muawiyah. Ketika
peperangan hampir berakhir, pasukan Ali berhasil mendesak lawannya. Namun
sebelum peperangan dimenangkan, muncul Amr bin Ash mengangkat mushaf Al-Qur’an
menyatakan damai. “Mari kita bertahkim (berhukum) dengan kitab Allah,” seru
Amr.[32]
Khalifah Ali
tak bisa berkutik, dan terpaksa menghentikan peperangan. Ali bin Abi Thalib
memang seorang militer sejati. Ia berhasil memenangkan Perang Jamal, juga
berhasil mengatasi pasukan Muawiyah dalam Perang Shiffin. Namun ia bukanlah
seorang negarawan seperti Rasulullah dan para khalifah sebelumnya. Kemampuannya
berdiplomasi, kadangkala tak sebanding dengan apa yang dimiliki Amr bin Ash.
Kedigdayaan Muawiyah dalam berpolitik, kadang juga tak sanggup ia taklukkan.
Akibat tindakan
Ali yang menghentikan serangan, pasukannya pecah menjadi tiga bagian. Yaitu
kelompok Syiah yang dengan segala resiko dan pemahaman mereka tetap
mendukungnya. Kelompok Murji’ah yang menyatakan mengundurkan diri. Dan kelompok
Khawarij yang memisahkan diri serta menyatakan tidak senang dengan tindakan
Ali.
Kelompok ketiga
inilah yang akhirnya memberontak, dan menyatakan ketidaksetujuannya dengan Ali
sebagai khalifah, Muawiyah sebagai penguasa Syria, dan Amr bin Ash sebagai
penguasa Mesir. Mereka berencana membunuh ketiga pemimpin itu secara bersamaan.
Untuk
mewujudkan rencana itu, mereka menyuruh Abdurrahman bin Muljam untuk membunuh
Ali bin Abi Thalib di Kufah. Amr bin Bakar bertugas membunuh Amr bin Ash di
Mesir. Hujaj bin Abdillah ditugaskan membunuh Muawiyah di Damaskus. Ketiganya
sepakat untuk membunuh para sahabat itu pada waktu yang sama, yaitu 17 Ramadhan
40 H.[33]
Hujaj tidak
berhasil membunuh Muawiyah lantaran dijaga ketat oleh pengawal. Bahkan ia
sendiri tertangkap dan dihukum mati. Sedangkan Amr bin Bakar tanpa sengaja
membunuh Kharijah bin Habitat yang dikiranya Amr bin Ash. Saat itu Amar bin Ash
sedang sakit sehingga yang menggantikannya sebagai imam adalah Kharijah. Akibat
perbuatannya membunuh Kharijah dan bermaksud menghabisi Amr, orang Khawarij itu
dihukum bunuh.[34]
Adapun
Abdurrahman bin Muljam tidak mendapat kesulitan melaksanakan tugasnya. Sebab,
Khalifah Ali tak pernah mempunyai pengawal pribadi. Ia hidup seperti rakyat
biasa. Pagi itu ketika sedang menuju Masjid Agung di Kufah, ia diserang
Abdurrahman bin Muljam. Akibat luka parah yang dideritanya, Khalifah Ali
meninggal pada 19 Ramadhan 40 H dalam usia 63 tahun. Syahidnya Ali bin Abi
Thalib menandai berakhirnya era Khulafaur Rasyidin.[35]
BAB III
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan
diatas dapat disimpulkan bahwa, yang dimaksud Khulafaur Rasyiddin adalah
pemimpin pengganti setelah Rasulullah wafat. Diantara orang-orang yang terpilih
untuk menggantikan kedudukan nabi Muhammad SAW. diantaranya adalah, Abu Bakar
As-Shidiq, kemudian Ummar bin Khothob, Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Tholib.
Keempat sahabat tersebutlah yang mendapat sebutan “khulafaur raysidin”
perkembangan peradaban Islam pada
masa khulafaurrasyidin mengalami kemajuan yang pesat, hal tersebut ditandai
dengan pembanguan di berbagai bidang. Misalnya : perluasan wilayah kekuasaan,
pertahanan militer, pembangunan armada angkatan laut, pembentukan lembaga
baitul mal, pembangunan sarana ibadah, pembukuan al qur’an, pengembangan ilmu
pengetahuan, dan lain-lain.
Umat islam betul-betul masih
berpegang kepada tali agama Allah yang lurus. Dalam artian ajaran islam
dijadikan sebagai dasar negara. Apa yang diperintahkan oleh agama diyakini
sebagai kebenaran mutlak dan mereka tidak ragu terhadap ajaran islam itu
sendiri. Amirul mukminin sebagai pelopor secara langsung daripada penegakkan
syariat islam itu. Ajaran Islam menjadi ruh dari pada perjuangan mereka.
Daftar pustaka
Ahmad, Alinaksi, 2011, “corak kekhalifahan dalam islam”, (online),
(http://alinaksi.blogspot.com/2011/03/corak-kekhalifahan-dalam-islam-1.html) di akses, tanggal 31 Maret 2015
Al Azar, 2013, “Peradaban Islam pada Masa Khulafaur Rasyiddin”,
(online), (http://www.academia.edu/5742569/PERADABAN_ISLAM_MASA_KHULAFAUR_RASYIDIN) di akses pada tanggal 26 Maret 2015
Ali, Muhammad, 2007, Early Caltphate (Khulafaur Rasyiddin),
jakarta: Darul kutubul islamiyah
Bastoni, Hepi Andi, “Khulafaur Rasyidin: Ali bin Abi Thalib
(656-661 M) Dicintai Orang Beriman” (online), (http://lifeofwriting.com/alkisah/khulafaur-rasyidin-ali-bin-abi-thalib-656-661-m-dicintai-orang-beriman/), diakses tanggal 31 Maret 2015
Qiftiyah, Mari’atul, 2011, “Masa Kepemimpinan Utsman bin Affan”
(online), (http://blog.umy.ac.id/mariatulqiftiyah/arsip/106-2/) diakses tanggal 31 Maret 2015
Syalabi, 2003. Sejarah Kebudayaan Islam 1, jakarta: PT.
Pustaka Al Husana Baru
[1] http://www.academia.edu/9303486/Dr._Marzuki_M.Ag._Buku_PAI_SMP_-_9_Sejarah_Bab_10
[2]
Ibid,
[3]http://www.academia.edu/5742569/PERADABAN_ISLAM_MASA_KHULAFAUR_RASYIDIN
[4]
Ibid,
[5]
Syalabi, sejarah kebudayaan islam 1, (pustaka al husna baru:2003) hal,
195
[6]
Ibid, hal 196
[7]http://www.academia.edu/5742569/PERADABAN_ISLAM_MASA_KHULAFAUR_RASYIDIN
[8]
Ibid,
[9]
Ibid,
[10]
Ibid,
[11]
Ibid,
[12]
Ibid,
[13]
Ibid,
[14]
Ibid,
[15]
http://blog.umy.ac.id/mariatulqiftiyah/arsip/106-2/
[16]
Ibid,
[17]http://www.academia.edu/5742569/PERADABAN_ISLAM_MASA_KHULAFAUR_RASYIDIN
[18]
http://blog.umy.ac.id/mariatulqiftiyah/arsip/106-2/
[19]
Ibid,
[20]
Ibid,
[21]
Ibid,
[22]http://www.academia.edu/5742569/PERADABAN_ISLAM_MASA_KHULAFAUR_RASYIDIN
[23]
Ibid,
[24]
Ibid,
[25]
Ibid,
[26]
Ibid,
[27]
Ibid,
[28]
Ibid,
[29]
Ibid,
[30]
Ibid,
[31]
Ibid,
[32]
Ibid,
[33]
Ibid,
[34]
Ibid,
[35]
Ibid,
No comments:
Post a Comment