Wednesday, 28 October 2015

Review Book
Fiqih Minoritas
(Panduan Menjadi Muslim Taat Di Negara Minoritas)
Ahmad Sarwat. Lc





Tugas ini disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih 1
dengan Dosen Pengampu :
M. Julijanto, M.Pd, M.Ag

Disusun oleh :
Irwanto                          (143111305)



FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2015


Pendahuluan
Berbicara masalah seorang muslim yang bertempat tinggal di Negara mayoritas Non-Muslim, tentunya banyak sekali masalah-masalah yang timbul yang terkait dengan teknisi menjadi muslim yang baik di Negri yang mayoritas Non-Muslim. Mulai dari masalah shalat yang tidak diberikan waktu oleh pihak kantor atau tempat kerja, masalah najis, menentukan arah kiblat, sampai memilih makanan yang halal.
Hidup di Negara yang mayoritas Non-muslim mempunyai karakteristik sendiri. Tidak bisa begitu saja disamakan dengan hidup di Negara yang mayoritas Muslim.
Banyak perkara yang terasa mudah diatasi di negeri yang mayoritas muslim, namun jadi lumayan rumit juga ketika kita hidup di negeri asing yang jarang-jarang penduduk muslimnya.
Misalnya, di Indonesia kita bisa dengan mudah mengatakan haram mengucapkan selamat natal kepada umat Kristiani, dengan segudang dalil yang bisa dengan mudah kita dapatkan di berbagai kesempatan.
Tetapi akan jadi repot ketika kita hidup di suatu masyarakat yang nyaris semua teman pergaulan kita merayakan natal. Apakah dimungkinkan bagi seorang muslim untuk –setidaknya- berbasa-basi kepada tetangga kanan kiri yang merayakan natal itu? Apakah memang mutlak haram untuk sekedar menyatakan penghormatan kepada sesama manusia yang kebetulan beda keyakinan? Ataukah pemahaman dan dalil lain yang bisa dijadikan second opinion buat seorang muslim untuk bisa tetap bermasyarakat di tengah mayoritas non-muslim?
Jadi, masalah besarnya adalah bagaimana caranya menjadi muslim di negeri minoritas? Dan lebih mendasar lagi barangkali, apakah dimungkinkan bagi seorang muslim untuk hidup di negeri yang mayoritas non muslim? Kalau memang terlarang, apa dalil yang kuat untuk mengharamkannya? Apakah mutlak keharaman tinggal di negeri non muslim?
Tentu pertanyaan mendasar ini cukup hangat untuk dikupas dan dikaji. Sejauhmana Islam dapat tetap dipeluk dan dijalankan, di negeri yang mayoritas penduduknya non muslim.
Fiqih Minoritas

A.    Muslim Minoritas
Didalam Al-Qur’an disebutkan keadaan minoritas umat Islam diantaranya terdapat pada QS. Al-A’raf ayat 86:

Ÿwur (#rßãèø)s? Èe@à6Î/ :ÞºuŽÅÀ tbrßÏãqè? šcrÝÁs?ur `tã È@Î6y «!$# ô`tB šÆtB#uä ¾ÏmÎ/ $ygtRqäóö6s?ur $[_uqÏã 4 (#ÿrãà2øŒ$#ur øŒÎ) óOçFZà2 WxÎ=s% öNà2uŽ©Ys3sù ( (#rãÝàR$#ur y#øx. šc%x. èpt6É)»tã tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÑÏÈ  

Artinya: “Dan janganlah kamu duduk disetiap jalan dengan menakut-nakuti dan menghalang-halangi orang-orang yang beriman dari jalan Allah dan ingin membelokkannya. Dan ingatlah kamu diwaktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyakjumlah kamu. Bagaimana kesudahan orang0orang yang berbuat kerusakan”. (QS. Al-A’raf: 86)

Pada ayat lain yaitu pada surat Al-Anfal ayat 26 Allah SWT berfirman:

(#ÿrãà2øŒ$#ur øŒÎ) óOçFRr& ×@Î=s% tbqàÿyèôÒtGó¡B Îû ÇÚöF{$# šcqèù$sƒrB br& ãNä3xÿ©ÜytGtƒ â¨$¨Z9$# öNä31ur$t«sù Nä.y­ƒr&ur ¾ÍnÎŽóÇuZÎ/ Läls%yuur z`ÏiB ÏM»t6Íh©Ü9$# öNà6¯=yès9 tbrãä3ô±s? ÇËÏÈ  

Artinya: “Dan ingatlah (hai para Muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas dimuka bumi  (Mekah), kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik kamu, maka Allah member kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur”. (QS. Al-Anfal; 26)
Dalam sejarah Nabi SAW, umat Islam awal mulanya pernah mengamali masa minoritas, terutama ketika dakwah baru saja diperkenalkan di kota Mekkah. Sampai tiga tahun berdakwah, jumlah pemeluk agama Islam hanya berkisar 30 orang saja.
Dan saat itu hukum syariah memang belum terlalu menjadi titik tekan dalam risalah samawi. Penekanan dakwah masih terkonsentrasi pada penanaman keimanan dan aqidah. Namun bukan berarti di masa awal dakwah tidak ada masalah fiqih dan syariah.
Shalat sebagai tiang agama dan salah satu rukun Islam telah diwajibkan, meski belum berbentuk shalat 5 waktu. Shalat yang diwajibkan saat itu adalah shalat malam, sebagaimana disebutkan di dalam ayat kedua yang turun, yaitu terdapat pada QS. Al-Muzzammil ayat 1-3:
$pkšr'¯»tƒ ã@ÏiB¨ßJø9$# ÇÊÈ   ÉOè% Ÿ@ø©9$# žwÎ) WxÎ=s% ÇËÈ   ÿ¼çmxÿóÁÏoR Írr& óÈà)R$# çm÷ZÏB ¸xÎ=s% ÇÌÈ  

Artinya: “Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit”. (QS. Al-Muzzammil : 1-3)

Di masa itu dakwah Islam masih bersifat rahasia, terutama di 3 tahun pertama. Selanjutnya, dakwah sudah bersifat terbuka, karena ada perintah untuk membuka diri. Saat itulah berbagai cobaan dan ujian harus dihadapi oleh Rasulullah SAW dan para shahabatnya.
Pada masa kekarang ini jumlah umat Islam di dunia mencapai 1,5 – 1,6 milyar. Dengan jumlah seperti ini, berarti umat Islam adalah 1/4 penduduk muka bumi. Karena bumi pada masa ini didiami oleh paling kurang 6 milyar jiwa.
Sebagian umat Islam itu tinggal di negara-negara tertentu dalam jumlah besar, sehingga mereka menjadi mayoritas. Namun sebagian lagi hidup di negara-negara lain dalam jumlah kecil, sehingga mereka menjadi minoritas.
Umat Islam di dunia ini bisa kita bagi berdasarkan perbandingan jumlah dengan pemeluk agama lain menjadi dua jenis. Pertama, negeri dengan penduduk mayoritas muslim. Kedua, negeri dengan penduduk minoritas muslim.
Kalau kita bicara tentang negeri dengan penduduk minoritas muslim, kita juga bisa membaginya menjadi 2 jenis lagi.
Pertama, minoritas yang asalnya mayoritas. Dahulu umat Islam di negeri itu terhitung mayoritas, namun sejalan dengan sunnatullah, umat Islam mengalami penurunan kualitas dan berpengaruh kepada penurunan jumlah. Kita bisa sebut sebagai contoh antara lain Spanyol, India, Amerika Utara, serta negeri-negeri di Eropa Timur.
Kedua, minoritas muslim yang memang sejak awal memang minoritas. Sejak awal sejarah tidak mencatat keberadaan orang-orang muslim dalam jumlah yang banyak. Kita bisa sebut sebagai contoh adalah negara-negara di Eropa Barat, Australia, Amerika Latin dan lainnya.
Sehingga karena hidup dan bertempat tinggal di Negara yang minoritas, umat muslim tersebut tentunya membutuhkan sebuah pedoman, Pedoman itu tidak lain adalah sistem syariah Islam, yang terkenal universal dan abadi, selalu sesuai dengan zaman dan keadaan. Tentunya karena punya sifat tsabat dan tathawwur yang harmonis. Tidak kehilangan originalitasnya sehingga dijamin keasliannya, namun juga tidak kehilangan kelenturannya, karena memang didesain oleh Allah SWT, tuhan semua umat manusia sepanjang zaman.
Syariah Islam yang turun kepada Nabi Muhammad SAW adalah syariah yang terakhir, tidak ada lagi syariah yang turun dari langit. Tidak akan ada lagi nabi yang turun, juga tidak akan ada lagi kitab suci yang dibawa dari langit.
Namun sungguh luar biasa. Meski telah melewati 14 abad usianya, syariah Islam tetap masih paten dan luwes untuk bisa diterapkan di dalam berbagai keadaan, wilayah geografi, beragam budaya dan bangsa, serta lintas peradaban.




B.     Karakteristik Fiqih Minoritas
Di antara karakteristik fiqih minoritas yang harus dipahami dan tidak mungkin diabaikan antara lain :
1.      Ijtihad Kontemporer
Fiqih adalah produk ijtihad. Tidak ada fiqih tanpa ijtihad. Dan ijtihad itu adalah mengaitkan antara dalil-dalil syariah dengan realitas yang ada. Ijtihad tidak pernah sama hasilnya di tiap tempat dan zaman yang berbeda. Sebab realitasnya dan persoalannya bisa saja berbeda.
Setiap zaman dibutuhkan mujtahid yang hidup bersama zamannya. Setiap wilayah negeri muslim butuh mutjatahid yang hidup bersama dengan realitas wilayah tersebut. Ijtihad yang baru tidak harus selalu bertentangan dengan ijtihad yang lama. Terkadang malah menguatkan hasil ijtihad yang lama. Namun ada kalanya hasil ijtihad yang baru lebih kuat dan lebih tepat dengan realitas yang ada.
2.      Kontektual bukan Tektual
Teks dan dalil syariah itu sangat banyak. Terkadang kalau kita tidak tahu asal-usul turunnya (asbabun-nuzul), atau sebab dikeluarkannya (asbabul wurud), boleh jadi kita bingung sendiri.
Apalagi bila kita tidak mengerti ilmu nasakh wal mansukh, dimana dalil-dalil itu ternyata ada yang dihapus keberlakuannya, maka kita akan kebingungan sendiri.
Di satu ayat, suatu masalah diwajibkan, tetapi di ayat lain malah diharamkan. Di satu hadits, sebuah masalah dianjurkan, tetapi di hadits lain, justru diperintahkan untuk mengindarinya. Maka penerapan suatu dalil dalam suatu masalah tentu tidak bisa dilakukan, kecuali setelah mengetahui latar belakang dalil itu, serta mengetahui juga latar belakang masalah yang ingin diketahui hukumnya.
Suatu hari datang seorang tua kepada Nabi SAW dan bertanya tentang hukum mencumbi istri di siang hari bulan Ramadhan. Beliau SAW pun mengizinkan dan membolehkan laki-laki tua itu mencumbu istrinya di siang hari bulan Ramadhan, asalkan tidak sampai jima'.
Setelah itu datang lagi seseorang kepada beliau SAW. Kali ini seorang pemuda. Pertanyaannya sama, bolehkah dirinya mencumbu istri di siang hari bulan Ramadhan. Ternyata kali ini jawaban Rasullah SAW berbeda. Beliau tidak membolehkan pemuda itu mencumbu istri di siang hari bulan Ramadhan.
Dari dua kisah itu, kita bisa menyimpulakn bahwa hukum dan fatwa yang beliau SAW keluarkan dipengaruhi oleh konteks, bukan semata-mata aturan yang kaku dan baku.
3.      Memudahkan bukan Memberatkan
Sejak masa shahabat memang sudah ada dua kecenderungan dalam masalah fatwa. Pertama, adalah mazhab mudhayyiqin, yang umumnya diwakili oleh Ibnu Umar radhiyallahu anhu. Kedua, adalah mazhab muyassirin yang umumnya diwakili oleh Ibnu Abbas radhiyallahu anhu. Kedua shahabat ini sangat mencintai Rasululllah SAW dan beliau pun sangat mencintai keduanya.
Namun ketika masing-masing punya pendekatan yang khas dalam berfatwa dan mengambil kesimpulan hukum, kita tidak bisa mengunggulkan yang satu dan menjelekkan yang lain. Sebab tiap shahabat punya latar belakang sendiri-sendiri yang membawanya sampai kepada suatu pendapat.
Maka kalau syariah Islam memberikan kedua pilihan itu dengan peluang yang sama besarnya, sama benarnya, serta sama keberkahannya, kita akan merasakan betapa luasnya syariah Islam itu.
4.      Pendapat Jumhur bukan Pendapat Sendiri
Karena masalah yang berkembang di negeri minoritas muslim ini sangat komplek, bukan hanya terdiri dari satu masalah yang bisa diselesaikan secara parsial, maka kajian fiqih minoritas ini pun juga harus melibatkan banyak kalangan. Tidak cukup fatwa satu orang untuk menyelesaikan masalah yang komplek.
Dibutuhkan ijtihad bersama (jama`i) dari berbagai ulama dengan latar belakang yang berbeda, seusai dengan realitas sosial yang ada. Sehingga fatwa yang dihasilkan akan lebih dekat kepada keadaan sesungguhnya. Tidak seperti asap yang jauh dari api.
Di berbagai belahan dunia ini, terutama di negeri minoritas muslim, banyak ulama yang mendirikan majma' fiqih, khusus dibuat untuk memenuhi kebutuhan fatwa di negeri tertentu dengan keadaan yang khusus.
5.      Beda Keadaan Beda Fatwa
Salah satu karakter fiqih Islam adalah bahwa sebuah fatwa bisa saja berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tergantung dari banyak hal, baik yang menyangkut individu seseorang atau pun yang terkait dengan keadaan dimana suatu masyarakat berada.
Fatwa fiqih yang berlaku pada seorang yang sehat tentu tidak sama dengan fatwa yang berlaku buat orang yang sakit. Fatwa yang berlaku buat musafir juga tidak sama persis dengan fatwa buat orang yang muqim. Orang yang terpaksa menerima fatwa yang berlainan dengan orang yang puya banyak pilihan.
Ada ungkapan khas tentang perbedaan fatwa yang datang dari beberapa ulama, yaitu ikhtilaful ashri waz-zaman, bukan ikhtilaf hujjah dan dalil. Ikhtilaful ashri waz-zaman adalah ikhtilaf yang timbul akibat perbedaan zaman dan masa, bukan karena perbedaan dalam mengambil hujjah dan dalil.
6.      Menerima Kedaruratan
Karakter yang paling khas dari fiqih minoritas adalah mengakui realitas adalah kedaruratan yang tidak bisa dinafikan. Karena semua orang mengalami langsung kedaruratan itu.
Dalam keadaan normal, laki-laki diharamkan memakai pakaian yang terbuat dari sutra. Namun karena alasan darurat (sakit), Az-Zubair bin Al-Awwam dan Abdurrahman bin Auf radhiyallahuanhuma dibolehkan oleh Rasulullah SAW untuk mengenakan pakaian yang terbuat dari sutera, sebagai keringanan hukum. Para ulama mempunyai beberapa kaidah tentang hukum fiqih dalam keadaan darurat ini yaitu:
“Kedaruratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang”
Maksudnya, keadaan darurat yang dialami oleh seseorang dalam kasus tertentu dapat membuat apa-apa yang tadinya terlarang menjadi boleh hukumnya.
Sebagai contoh, bila dalam keadaan tersesat di tengah padang pasir, sudah 7 hari tidak makan, satu-satunya yang masih mungkin dimakan adalah bangkai yang hukumnya najis, maka dimungkinkan untuk memakan bangkai yang haram itu, karena keadaan darurat.
Namun keadaan darurat itu bisa saja berbeda-beda bagi tiap orang dan juga tidak sama levelnya untuk setiap kasus. Karena itu setiap kedaruratan harus diukur kadarnya, sebagaimana kaidah berikut ini :
“Kedaruratan itu harus diukur sesuai dengan tingkatan kedaruratannya”
Ini berarti tidak mentang-mentang ada satu masalah yang berbau darurat, lantas kita menghalalkan semua yang haram.
Di padang pasir itu selama kita masih bisa bertahan dengan memakan tumbuhan atau rumput, maka masih belum dihalalkan memakan bangkai. Demikian juga bila seseorang masih bisa bertahan hidup dalam waktu yang lebih lama, maka baginya belum dibenarkan untuk memakan bangkai.
Sehingga ukuran kedaruratan antara satu orang dengan orang lain sangat berbeda, tidak bisa dipukul rata.
Karena itu ada semacam kaidah yang sangat membuat hukum agama itu menjadi sedemikian fleksible. Intinya, bila keadaan menjadi sempit dan sulit, maka hukumnya menjadi lebih luas. Artinya, hukumnya menjadi lebih mudah. Sebaliknya, bila keadaan yang kita miliki lebih luas, dalam arti tidak ada unsur daruratnya, atau kalau pun ada kedaruratan, sangat sedikit, maka hukumnya menjadi sempit. Maksudnya, hukumnya menjadi lebih tegas

.
C.    Problematika Fiqih Minoritas (Problem muslim yang tinggal di Negri minoritas)
Umat Islam yang tinggal di negeri dimana mereka adalah kelompok minoritas, seringkali menghadapi banyak kendala besar terkait dengan hukum-hukum syariah.
Hal itu terjadi karena hukum-hukum syari’ah yang ada, itu disusun di zaman tegaknya Negara-negara islam. Kitab-kitab fiqih yang tersusun umumnya memberikan jawaban masalah dengan kondisi sosial yang ideal, dimana umat Islam berada dalam keadaan aman, dipimpin oleh sultan (penguasa) yang shalih, serta kedaulatan Islam yang penuh, yang tentunya sangat berbeda keadaannya dengan umat islam yang tinggal di negri minoritas.
Tidak seperti umumnya penerapan fiqih di dunia Islam, keberadaan umat Islam di negeri yang minoritas tentunya sulit dihindarkan dari berbagai kenyataan yang ada.
Karena itu fiqih yang digunakan boleh jadi memiliki kaidah yang spesifik dan lebih khusus, namun tetap original dan asli sebagaimana diturunkan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Sehingga hal tersebut menimbulkan berbagai pertanyaan-ppertanyaan yang tentunya sulit untuk menjawabnnya, kecuali dengan kajian yang lebih komprehensif, mendalam, melihat realitas sosial politik, serta memahami nilai-nilai yang dianut oleh tiap negeri.

Pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul diantaranya adalah:

1.      Bolehkah Muslim Tinggal Di Negri Kafir?
Pertanyaan yang paling mendasar adalah : Apakah boleh seorang muslim tinggal dan hidup menjadi warga negara dari negeri yang tidak berhukum kepada hukum Allah?
Tentu saja pertanyaan seperti ini bisa asja dijawab “Haram”. Dalilnya adalah terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 44, 45, dan 47, dimana orang-orang yang tidak berhukum kepada hukum Allah berarti dia kafir, fasik dan zhalim.
Dalam hadis Rosulpun sekilas ada larangan bagi seorang muslim yang hidup ditengah-tengah masyarakat non muslim, hadisnya antara lain:

انا بريء لامن كل مسلم يقيم بين اظهر المشركين
“Aku terlepas dari setiap muslim yang hidup di belakang orang-orang kafir”
من جامع مشركا فهو مثله
“Siapa yang bercampur dengan orang musyrik, maka ia termasuk dari kelompok mereka”

Yang menjadi masalah disini adalah tidak segampang itu mengatakan bahwa orang yang tinggal di negeri minoritas muslim lantas dianggap kafir, dengan menggunakan dalil tersebut. Bagaimana kalau orang itu memang penduduk asli di negri itu, dimana dia hidup, mencari penghidupan, makan dan minum di negeri kelahirannya?
Lalu jika kebetulan dia mendapat hidayah dari Allah SWT untuk memeluk agama Islam, apakah dia harus hijrah dan meninggalkan kampung halamannya, sebagaimana dulu para shahabat meninggalkan Mekkah Al-Mukarramah meninggalkan kampung halaman?
Dalam mengkaji masalah ini kita bisa menengok kebelakang pada masa Rasulullah SAW ketika para sahabat diutus keberbagai negri non-muslim, mereka justru meninggalkan Madinah Al-Munawwarah dan Masjid An-Nabawi, juga meninggalkan Rasulullah SAW dan para shahabat yang mulia, untuk hidup sendiri sebagai muslim di negri asing yang belum ada umat islam disana.
Tugas para shahabat ini justru untuk menyebarkan agama Islam di negeri yang masih belum mengenal agama Allah. Sehingga tidak bisa dihindari mereka pun mengalami hidup sebagai kelompok minoritas, juga mengalami hidup di bawah kekuasaan hukum yang selain hukum Allah.
Apakah kita akan mengatakan bahwa para shahabat Nabi SAW yang diutus itu secara meninggalkan negeri yang berhukum dengan hukum Islam, menuju negeri yang berhukum dengan hukum manusia? Dan apakah mereka berdosa melakukannya?
2.      Bolehkah menjadi bagian dari pemerintahan?
Sebagian ulama mengharamkan umat Islam yang tinggal di negeri minoritas muslim untuk ikut serta dalam pemerintahan, yang secara tegas tidak menggunakan hukum Allah. Alasannya bahwa negara itu adalah negara kafir. Dan seorang muslim tidak boleh memiliki pemimpin yang kafir dan tidak berhukum dengan hukum Allah. Sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat berikut ini:
`s9ur Ÿ@yèøgs ª!$# tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 n?tã tûüÏZÏB÷sçRùQ$# ¸xÎ6y ÇÊÍÊÈ  
Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang -orang Mukmin”. (QS An-Nisa’ :141)

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#räÏ­Gs? tûïÏ%©!$# (#räsƒªB$# óOä3uZƒÏŠ #Yrâèd $Y6Ïès9ur z`ÏiB šúïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB óOä3Î=ö6s% u$¤ÿä3ø9$#ur uä!$uÏ9÷rr& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# bÎ) LäêYä. tûüÏZÏB÷sB ÇÎÐÈ  

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil Jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu Jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman”. (QS. AL-Maidah: 57)

Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa Umat Islam hanya diperbolehkan taat kepada pemimpin yang beragama Islam dari kalangan internal sendiri. Dimana hukum yang diterapkan adalah hukum yang datang dari Allah dan Rasul-Nya.
Karena itu haram hukumnya ikut pemilu, karena hal itu berarti umat Islam mengakui kepemimpinan yang menentang hukum Islam.
Dengan dalil-dalil di atas, maka begitu banyak umat Islam di negeri-negeri minoritas melepaskan haknya dalam pemilihan yang diselenggarakan. Dengan demikian, hak-hak mereka sebagai warga dan juga sebagai manusia, ternyata juga tidak bisa mereka dapatkan. Karena tidak ada yang memperjuangkan hak-hak dan aspirasi mereka di parlemen dan perwakilan rakyat.
Akan tetapi ada sebagaian Ulama’ yang membolehkan seorang muslim yang ikut beraspirasi dalam hal pemerintahan. Mereka mempunyai dalil bahwa tujuan mengikuti atau menjadi bagaian dari pemerintahan tersebut hanya untuk memperjuangkan nasib umat Islam di negeri itu. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan pengakuan atas kepemimpinan non muslim atau hukum-hukum selain hukum Allah.

D.     Fiqih Ibadah Muslim Minoritas
1.      Shalat dan puasa
Dalam hal ibadah shalat dan puasa, banyak sekali masalah-masalah yang muncul ketika umat muslim tinggal di negri orang kafir, dalam hal ini banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Diantaranya adalah:
-          Bagaimana shalatnya seorang yang bepergian lama dinegri minoritas, apakah shalat seperti orang musafir atau orang yang bermukim?
Dalam hal ini kita harus mengetahui dimana letak batasan antara seorang musafir dan orang yang bermukim. Beda antara safar dengan muqim (menetap) adalah seseorang bergerak di muka bumi. Atau disebut dengan adh-dharbu fi ardh. Yaitu terus bergerak ke sana ke mari setiap harinya dalam format perjalanan luar kota, bukan berputar-putar di dalam kota.
Bila sudah berniat untuk menetap meski sementara di suatu tempat, maka status anda bukan musafir lagi. Batasan musafir dan tidak adalah bila terus bergerak tanpa menetap di suatu titik di muka bumi. Begitu berdiam di suatu tempat, maka ada jatah waktu tunggu maksimal, yaitu 4 hari. Maka begitu menginap di suatu tempat selama lebih dari 4 hari, berarti sudah bukan musafir lagi. Dan tentunya harus segera shalat lengkap bukan jama' dan bukan qashar.
-          Bagaimana melakukan shalat jum’at saat bepergian di negri non-muslim?
Shalat Jumat adalah fardhu yang wajib dikerjakan oleh semua laki-laki muslim yang memenuhi syarat. Secara sengaja meninggalkan kewajiban shalat Jumat  tanpa udzur syar'i, maka Allah akan menutup hatinya.
Namun semua itu hanya ditegakkan manakala syarat-syaratnya sudah terpenuhi. Sebaliknya, bila syaratnya tidak terpenuhi, atau dalam keadaan tertentu, tentu tidak ada kewajiban untuk mengerjakannya. Sehingga yang wajib dikerjakan adalah shalat Dzhuhur biasa.
Di antara 'udzur syar'i yang dibenarkan dalam ikut shalat Jumat adalah safar. Bila kepergian anda ke luar negeri ini masih termasuk kategori safar, maka anda dibolehkan untuk tidak melakukan shalat jumat.
Bahkan sebagian ulama justru menyatakan bahwa bila suatu shalat Jumat dikerjakan hanya oleh mereka yang sedang safar, maka hukumnya tidak sah. Mereka mensyaratkan bahwa shalat jumat itu hanya untuk mereka yang muqim (mustauthin) di suatu tempat, bukan orang yang sedang safar dan kebetulan ikut shalat Jumat.
-          Bagaimana status Puasa Ketika dalam Pesawat 18 Jam Perjalanan?
Yang dijadikan acuan dalam menentukn jadwal berpuasa adalah keadaan alam yang disaksikan oleh pelaku. Maksudnya, waktu Shubuh dan waktu Maghrib yang berlaku pada diri seseorang adalah yang secara real dialaminya. Bukan berdasarkan jadwal puasa pada tempat asal atau tempat tujuan, sementara dirinya tidak ada di tempat itu.
Anda boleh makan sahur selama anda belum mengalami masuknya waktu shubuh. Boleh anda perkirakan atau malah sebaiknya anda tanyakan kepada awak pesawat, di mana dan kapan kira-kira anda akan memasuki waktu shubuh.
Maka patokannya bukan jadwal shubuh di negeri tujuan, juga bukan negeri asal, tetapi negeri di mana pada saat itu anda berada.
Tetapi yang selalu harus diperhatikan, memulai berpuasa sesuai dengan jadwal puasa di mana kita berada dan berbuka sesuai dengan jadwal buka puasa di mana kita berada.
2.      Makanan
Yang dipermasalahkan dalam hal ini adalah kehalalan makannan yang terdapat di negri minoritas, bagaimana status halal atau haramnya?
Adalah merupakan sebuah keutamaan bagi seorang muslim untuk selalu bersifat wara', yaitu berhati-hati dalam menjaga diri agar jangan tercebur ke dalam hal-hal yang diharamkan Allah SWT.
Sifat wara' ini merupakan sifat yang utama bagi seorang muslim dan merupakan jalan menuju menjadi orang yang berderajat muttaqin. Maka bila ada seorang hamba yang sangat berhati-hati dalam masalah memakan makanan tertentu, lalu dia memilih untuk memasak dan mengolah sendiri semua makanan yang dikonsumsinya ketika berada di negri minoritas.
Namun sampai di mana rasa kehati-hatian ini masih dianggap wajar? Apakah harus memvonis semua makanan yang ada di negri minoritas adalah haram?
Kalau sudah divonis haram, maka makanan itu haram untuk dikonsumsi. Sedangkan kalau belum dilakukan penyelidikan, hukumnya tidak bisa langsung dijatuhkan haram. Sebab tidak semua makanan yang dimakan oleh non muslim itu pasti semuanya haram. Dan kita pun akan jatuh kepada dosa manakala kita sampai menjatuhkan vonis haram kepada makanan-makanan yang pada dasarnya tidak haram.
Namun tidak salah bila seseorang dengan niat menjaga diri, tidak memakannya. Selama dia tidak memvonis bahwa makanan itu hukumnya langsung.
3.      Etika pergaulan dengan masyarakat non-muslim
Dalam hal pergaulan dengan masyarakat non-muslim, yang sering menjadi masalah atau yang sering diprtanyakan diantaranya adalah:

a.       Bolehkah memberi salam terlebih dahulu kepada orang non-muslim?
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat dikalangan Ulama’, ada yang mengharamkan dan ada juga yang membolehkan. Bagi yang mengharamkaan mereka berhujah pada hadis Rasulullah yang artinya,
” Janganlah kalian memberi salam terlebih dahulu kepada yahudi dan nasrani. Kalau kalian bertemu mereka di jalanan, maka pepetlah mereka ke tempat yang sempit”.
Akan tetapi meraka juga berpandapat jika ada orang kafir yang memberikan salam terlebih dahulu maka kita diwajibkan untuk menjawabnya dengan jawaban yang setimpal, dalilnya adalah:
#sŒÎ)ur LäêŠÍhãm 7p¨ŠÅstFÎ/ (#qŠyssù z`|¡ômr'Î/ !$pk÷]ÏB ÷rr& !$ydrŠâ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. 4n?tã Èe@ä. >äóÓx« $·7ŠÅ¡ym ÇÑÏÈ  
Artinya: “apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’: 86)

Adapun pendapat Ulama’ yang memperbolehkan, Dalilnya adalah salam yang dituliskan nabi Muhammad SAW ketika berkirim surat kepada raja-raja dunia yang bukan muslim. Surat-surat nabi itu dimulai dengan basmalah dan salam. Lengkapnya berbunyi: salamun 'alaa man ittaba'al-huda (salam kepada orang yang mengikuti petunjuk)
Juga tidak mengapa bila berbasa-basi dengan orang kafir yang tidak memusuhi kita dan mulai dengan menyapa mereka, asalkan dengan lafaz yang tidak mengandung rasa rendah diri sebagai muslim. Terutama bila memang dirasa perlu. Seperti ucapan ahlan wa sahlan dan kaifa haluka. Ucapan ahlan wa sahlan kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “selamat dating”. Selamat yang dimaksud dalam idiom ini sama sekali berbeda makna dan esensinya dengan lafadz assalamu 'alaikum.
b.      Pernikahan beda agama?
Halalnya laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab bukan semata-mata pendapat atau ijtihad buatan kami, melainkan merupakan firman Allah SWT yang tegas disebutkan di dalam Al-Quran.
tPöquø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sŒÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èduqã_é& tûüÏYÅÁøtèC uŽöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB Ÿwur üÉÏ­GãB 5b#y÷{r& 3 `tBur öàÿõ3tƒ Ç`»uKƒM}$$Î/ ôs)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ƒÎŽÅ£»sƒø:$# ÇÎÈ  

Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal bagi mereka. wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merug”. (QS. Al-Maidah: 5)
Para ulama baik salaf maupun khalaf ketika menjelaskan makna ayat tersebut, juga menyimpulkan demikian. Bahwa laki-laki muslim dihalalkan menikahi wanita ahli kitab, dengan berdasarkan ayat ini. Dan itu adalah pendapat mayoritas ulama.




c.       Non Muslim/Musyrik najiskah?
Benar bahwa Allah SWT telah menyebutkan bahwa orang musyrik itu najis, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä $yJ¯RÎ) šcqä.ÎŽô³ßJø9$# Ó§pgwU Ÿxsù (#qç/tø)tƒ yÉfó¡yJø9$# tP#tysø9$# y÷èt/ öNÎgÏB$tã #x»yd 4 ÷bÎ)ur óOçFøÿÅz \'s#øŠtã t$öq|¡sù ãNä3ÏZøóムª!$# `ÏB ÿ¾Ï&Î#ôÒsù bÎ) uä!$x© 4 žcÎ) ©!$# íOŠÎ=tæ ÒOŠÅ6ym ÇËÑÈ  

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, Maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini. dan jika kamu khawatir menjadi miskin, Maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. At-Taubah:28)
Namun para ulama sepakat mengatakan bahwa 'najis' dalam ayat tersebut bukanlah dimaksudkan untuk najis indrawi yang berhubungan Dengan badan, melainkan najis maknawi yang berhubungan dengan hati dan akal (pikiran).


~  SEKIAN  ~

MAKALAH HADIS TARBAWI ASPEK KEJIWAAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR

MAKALAH HADIS TARBAWI ASPEK KEJIWAAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR Dosen Pengampu :                         Muchlis Anshori, S. ...