Review Book
Fiqih Minoritas
(Panduan
Menjadi Muslim Taat Di Negara Minoritas)
Ahmad Sarwat. Lc
Tugas ini disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih 1
dengan Dosen Pengampu :
M. Julijanto, M.Pd, M.Ag
Disusun oleh :
Irwanto (143111305)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA

Pendahuluan
Berbicara masalah seorang muslim
yang bertempat tinggal di Negara mayoritas Non-Muslim, tentunya banyak sekali
masalah-masalah yang timbul yang terkait dengan teknisi menjadi muslim yang
baik di Negri yang mayoritas Non-Muslim. Mulai dari masalah shalat yang tidak
diberikan waktu oleh pihak kantor atau tempat kerja, masalah najis, menentukan
arah kiblat, sampai memilih makanan yang halal.
Hidup di Negara yang mayoritas
Non-muslim mempunyai karakteristik sendiri. Tidak bisa begitu saja disamakan
dengan hidup di Negara yang mayoritas Muslim.
Banyak
perkara yang terasa mudah diatasi di negeri yang mayoritas muslim, namun jadi
lumayan rumit juga ketika kita hidup di negeri asing yang jarang-jarang
penduduk muslimnya.
Misalnya,
di Indonesia kita bisa dengan mudah mengatakan haram mengucapkan selamat natal
kepada umat Kristiani, dengan segudang dalil yang bisa dengan mudah kita
dapatkan di berbagai kesempatan.
Tetapi
akan jadi repot ketika kita hidup di suatu masyarakat yang nyaris semua teman
pergaulan kita merayakan natal. Apakah dimungkinkan bagi seorang muslim untuk
–setidaknya- berbasa-basi kepada tetangga kanan kiri yang merayakan natal itu?
Apakah memang mutlak haram untuk sekedar menyatakan penghormatan kepada sesama
manusia yang kebetulan beda keyakinan? Ataukah pemahaman dan dalil lain yang
bisa dijadikan second opinion buat seorang muslim untuk bisa tetap
bermasyarakat di tengah mayoritas non-muslim?
Jadi,
masalah besarnya adalah bagaimana caranya menjadi muslim di negeri minoritas?
Dan lebih mendasar lagi barangkali, apakah dimungkinkan bagi seorang muslim
untuk hidup di negeri yang mayoritas non muslim? Kalau memang terlarang, apa
dalil yang kuat untuk mengharamkannya? Apakah mutlak keharaman tinggal di
negeri non muslim?
Tentu
pertanyaan mendasar ini cukup hangat untuk dikupas dan dikaji. Sejauhmana Islam
dapat tetap dipeluk dan dijalankan, di negeri yang mayoritas penduduknya non
muslim.
Fiqih Minoritas
A.
Muslim Minoritas
Didalam
Al-Qur’an disebutkan keadaan minoritas umat Islam diantaranya terdapat pada QS.
Al-A’raf ayat 86:
Ÿwur (#r߉ãèø)s? Èe@à6Î/ :ÞºuŽÅÀ tbr߉Ïãqè? šcr‘‰ÝÁs?ur `tã È@‹Î6y™ «!$# ô`tB šÆtB#uä ¾ÏmÎ/ $ygtRqäóö6s?ur $[_uqÏã 4
(#ÿrãà2øŒ$#ur øŒÎ) óOçFZà2 Wx‹Î=s% öNà2uŽ©Ys3sù (
(#rãÝàR$#ur y#ø‹x. šc%x. èpt6É)»tã tûïωšøÿßJø9$# ÇÑÏÈ
Artinya: “Dan janganlah kamu duduk disetiap jalan dengan
menakut-nakuti dan menghalang-halangi orang-orang yang beriman dari jalan Allah
dan ingin membelokkannya. Dan ingatlah kamu diwaktu dahulunya kamu berjumlah
sedikit, lalu Allah memperbanyakjumlah kamu. Bagaimana kesudahan orang0orang
yang berbuat kerusakan”. (QS. Al-A’raf: 86)
Pada ayat lain
yaitu pada surat Al-Anfal ayat 26 Allah SWT berfirman:
(#ÿrãà2øŒ$#ur øŒÎ) óOçFRr& ×@‹Î=s% tbqàÿyèôÒtGó¡•B ’Îû ÇÚö‘F{$# šcqèù$sƒrB br& ãNä3xÿ©Üy‚tGtƒ â¨$¨Z9$# öNä31ur$t«sù Nä.y‰ƒr&ur ¾ÍnÎŽóÇuZÎ/ Läls%y—u‘ur z`ÏiB ÏM»t6Íh‹©Ü9$# öNà6¯=yès9 tbrãä3ô±s? ÇËÏÈ
Artinya: “Dan ingatlah (hai para Muhajirin) ketika kamu masih
berjumlah sedikit, lagi tertindas dimuka bumi
(Mekah), kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik kamu, maka Allah
member kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan
pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu
bersyukur”. (QS. Al-Anfal; 26)
Dalam sejarah Nabi SAW, umat Islam
awal mulanya pernah mengamali masa minoritas, terutama ketika dakwah baru saja
diperkenalkan di kota Mekkah. Sampai tiga tahun berdakwah, jumlah pemeluk agama
Islam hanya berkisar 30 orang saja.
Dan saat itu hukum syariah memang
belum terlalu menjadi titik tekan dalam risalah samawi. Penekanan dakwah masih
terkonsentrasi pada penanaman keimanan dan aqidah. Namun bukan berarti di masa
awal dakwah tidak ada masalah fiqih dan syariah.
Shalat sebagai tiang agama dan salah
satu rukun Islam telah diwajibkan, meski belum berbentuk shalat 5 waktu. Shalat
yang diwajibkan saat itu adalah shalat malam, sebagaimana disebutkan di dalam
ayat kedua yang turun, yaitu terdapat pada QS.
Al-Muzzammil ayat 1-3:
$pkš‰r'¯»tƒ ã@ÏiB¨“ßJø9$# ÇÊÈ ÉOè% Ÿ@ø‹©9$# žwÎ) Wx‹Î=s% ÇËÈ ÿ¼çmxÿóÁÏoR Írr& óÈà)R$# çm÷ZÏB ¸x‹Î=s% ÇÌÈ
Artinya: “Hai orang
yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali
sedikit (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit”. (QS. Al-Muzzammil : 1-3)
Di masa itu dakwah Islam masih bersifat
rahasia, terutama di 3 tahun pertama. Selanjutnya, dakwah sudah bersifat
terbuka, karena ada perintah untuk membuka diri. Saat itulah berbagai cobaan
dan ujian harus dihadapi oleh Rasulullah SAW dan para shahabatnya.
Pada masa kekarang
ini jumlah umat Islam di dunia mencapai
1,5 – 1,6 milyar. Dengan jumlah seperti ini, berarti umat Islam adalah 1/4
penduduk muka bumi. Karena bumi pada masa ini didiami oleh paling kurang 6
milyar jiwa.
Sebagian umat Islam itu tinggal di
negara-negara tertentu dalam jumlah besar, sehingga mereka menjadi mayoritas.
Namun sebagian lagi hidup di negara-negara lain dalam jumlah kecil, sehingga
mereka menjadi minoritas.
Umat Islam di dunia ini bisa kita bagi
berdasarkan perbandingan jumlah dengan pemeluk agama lain menjadi dua jenis.
Pertama, negeri dengan penduduk mayoritas muslim. Kedua, negeri dengan penduduk
minoritas muslim.
Kalau kita bicara tentang negeri dengan
penduduk minoritas muslim, kita juga bisa membaginya menjadi 2 jenis lagi.
Pertama, minoritas yang asalnya mayoritas.
Dahulu umat Islam di negeri itu
terhitung mayoritas, namun sejalan dengan sunnatullah, umat Islam mengalami
penurunan kualitas dan berpengaruh kepada penurunan jumlah. Kita bisa sebut
sebagai contoh antara lain Spanyol, India, Amerika Utara, serta negeri-negeri
di Eropa Timur.
Kedua, minoritas muslim yang memang sejak awal memang minoritas. Sejak awal sejarah
tidak mencatat keberadaan orang-orang muslim dalam jumlah yang banyak. Kita
bisa sebut sebagai contoh adalah negara-negara di Eropa Barat, Australia,
Amerika Latin dan lainnya.
Sehingga karena hidup dan bertempat tinggal di
Negara yang minoritas, umat muslim tersebut tentunya membutuhkan sebuah
pedoman, Pedoman itu tidak lain adalah sistem syariah Islam, yang terkenal
universal dan abadi, selalu sesuai dengan zaman dan keadaan. Tentunya karena
punya sifat tsabat dan tathawwur yang harmonis. Tidak kehilangan
originalitasnya sehingga dijamin keasliannya, namun juga tidak kehilangan
kelenturannya, karena memang didesain oleh Allah SWT, tuhan semua umat manusia
sepanjang zaman.
Syariah Islam yang turun kepada Nabi Muhammad
SAW adalah syariah yang terakhir, tidak ada lagi syariah yang turun dari
langit. Tidak akan ada lagi nabi yang turun, juga tidak akan ada lagi kitab
suci yang dibawa dari langit.
Namun sungguh luar biasa. Meski telah melewati
14 abad usianya, syariah Islam tetap masih paten dan luwes untuk bisa
diterapkan di dalam berbagai keadaan, wilayah geografi, beragam budaya dan
bangsa, serta lintas peradaban.
B.
Karakteristik Fiqih Minoritas
Di antara karakteristik fiqih minoritas yang
harus dipahami dan tidak mungkin diabaikan antara lain :
1.
Ijtihad Kontemporer
Fiqih
adalah produk ijtihad. Tidak ada fiqih tanpa ijtihad. Dan ijtihad itu adalah
mengaitkan antara dalil-dalil syariah dengan realitas yang ada. Ijtihad tidak
pernah sama hasilnya di tiap tempat dan zaman yang berbeda. Sebab realitasnya
dan persoalannya bisa saja berbeda.
Setiap
zaman dibutuhkan mujtahid yang hidup bersama zamannya. Setiap wilayah negeri
muslim butuh mutjatahid yang hidup bersama dengan realitas wilayah tersebut.
Ijtihad yang baru tidak harus selalu bertentangan dengan ijtihad yang lama.
Terkadang malah menguatkan hasil ijtihad yang lama. Namun ada kalanya hasil
ijtihad yang baru lebih kuat dan lebih tepat dengan realitas yang ada.
2.
Kontektual bukan Tektual
Teks dan
dalil syariah itu sangat banyak. Terkadang kalau kita tidak tahu asal-usul
turunnya (asbabun-nuzul), atau sebab dikeluarkannya (asbabul wurud), boleh jadi
kita bingung sendiri.
Apalagi
bila kita tidak mengerti ilmu nasakh wal mansukh, dimana dalil-dalil itu
ternyata ada yang dihapus keberlakuannya, maka kita akan kebingungan sendiri.
Di satu
ayat, suatu masalah diwajibkan, tetapi di ayat lain malah diharamkan. Di satu
hadits, sebuah masalah dianjurkan, tetapi di hadits lain, justru diperintahkan
untuk mengindarinya. Maka penerapan suatu dalil dalam suatu masalah tentu tidak
bisa dilakukan, kecuali setelah mengetahui latar belakang dalil itu, serta
mengetahui juga latar belakang masalah yang ingin diketahui hukumnya.
Suatu
hari datang seorang tua kepada Nabi SAW dan bertanya tentang hukum mencumbi
istri di siang hari bulan Ramadhan. Beliau SAW pun mengizinkan dan membolehkan
laki-laki tua itu mencumbu istrinya di siang hari bulan Ramadhan, asalkan tidak
sampai jima'.
Setelah
itu datang lagi seseorang kepada beliau SAW. Kali ini seorang pemuda.
Pertanyaannya sama, bolehkah dirinya mencumbu istri di siang hari bulan
Ramadhan. Ternyata kali ini jawaban Rasullah SAW berbeda. Beliau tidak
membolehkan pemuda itu mencumbu istri di siang hari bulan Ramadhan.
Dari dua
kisah itu, kita bisa menyimpulakn bahwa hukum dan fatwa yang beliau SAW
keluarkan dipengaruhi oleh konteks, bukan semata-mata aturan yang kaku dan baku.
3.
Memudahkan bukan Memberatkan
Sejak
masa shahabat memang sudah ada dua kecenderungan dalam masalah fatwa. Pertama,
adalah mazhab mudhayyiqin, yang umumnya diwakili oleh Ibnu Umar
radhiyallahu anhu. Kedua, adalah mazhab muyassirin yang umumnya diwakili
oleh Ibnu Abbas radhiyallahu anhu. Kedua shahabat ini sangat mencintai
Rasululllah SAW dan beliau pun sangat mencintai keduanya.
Namun
ketika masing-masing punya pendekatan yang khas dalam berfatwa dan mengambil
kesimpulan hukum, kita tidak bisa mengunggulkan yang satu dan menjelekkan yang
lain. Sebab tiap shahabat punya latar belakang sendiri-sendiri yang membawanya
sampai kepada suatu pendapat.
Maka
kalau syariah Islam memberikan kedua pilihan itu dengan peluang yang sama
besarnya, sama benarnya, serta sama keberkahannya, kita akan merasakan betapa
luasnya syariah Islam itu.
4.
Pendapat Jumhur bukan Pendapat Sendiri
Karena
masalah yang berkembang di negeri minoritas muslim ini sangat komplek, bukan
hanya terdiri dari satu masalah yang bisa diselesaikan secara parsial, maka
kajian fiqih minoritas ini pun juga harus melibatkan banyak kalangan. Tidak
cukup fatwa satu orang untuk menyelesaikan masalah yang komplek.
Dibutuhkan
ijtihad bersama (jama`i) dari berbagai ulama dengan latar belakang yang
berbeda, seusai dengan realitas sosial yang ada. Sehingga fatwa yang dihasilkan
akan lebih dekat kepada keadaan sesungguhnya. Tidak seperti asap yang jauh dari
api.
Di
berbagai belahan dunia ini, terutama di negeri minoritas muslim, banyak ulama
yang mendirikan majma' fiqih, khusus dibuat untuk memenuhi kebutuhan fatwa di
negeri tertentu dengan keadaan yang khusus.
5.
Beda Keadaan Beda Fatwa
Salah
satu karakter fiqih Islam adalah bahwa sebuah fatwa bisa saja berbeda antara
satu dengan yang lainnya. Tergantung dari banyak hal, baik yang menyangkut
individu seseorang atau pun yang terkait dengan keadaan dimana suatu masyarakat
berada.
Fatwa
fiqih yang berlaku pada seorang yang sehat tentu tidak sama dengan fatwa yang
berlaku buat orang yang sakit. Fatwa yang berlaku buat musafir juga tidak sama
persis dengan fatwa buat orang yang muqim. Orang yang terpaksa menerima fatwa
yang berlainan dengan orang yang puya banyak pilihan.
Ada
ungkapan khas tentang perbedaan fatwa yang datang dari beberapa ulama, yaitu ikhtilaful ashri waz-zaman, bukan
ikhtilaf hujjah dan dalil. Ikhtilaful
ashri waz-zaman adalah ikhtilaf yang timbul akibat perbedaan zaman dan masa, bukan karena perbedaan
dalam mengambil hujjah dan dalil.
6.
Menerima Kedaruratan
Karakter
yang paling khas dari fiqih minoritas adalah mengakui realitas adalah kedaruratan
yang tidak bisa dinafikan. Karena semua orang mengalami langsung kedaruratan
itu.
Dalam
keadaan normal, laki-laki diharamkan memakai pakaian yang terbuat dari sutra.
Namun karena alasan darurat (sakit), Az-Zubair bin Al-Awwam dan Abdurrahman bin
Auf radhiyallahuanhuma dibolehkan
oleh Rasulullah SAW untuk mengenakan pakaian yang terbuat dari sutera, sebagai
keringanan hukum. Para ulama mempunyai beberapa kaidah tentang hukum fiqih
dalam keadaan darurat ini yaitu:
“Kedaruratan itu
membolehkan hal-hal yang dilarang”
Maksudnya,
keadaan darurat yang dialami oleh seseorang dalam kasus tertentu dapat membuat
apa-apa yang tadinya terlarang menjadi boleh hukumnya.
Sebagai
contoh, bila dalam keadaan tersesat di tengah padang pasir, sudah 7 hari tidak
makan, satu-satunya yang masih mungkin dimakan adalah bangkai yang hukumnya
najis, maka dimungkinkan untuk memakan bangkai yang haram itu, karena keadaan
darurat.
Namun
keadaan darurat itu bisa saja berbeda-beda bagi tiap orang dan juga tidak sama
levelnya untuk setiap kasus. Karena itu setiap kedaruratan harus diukur
kadarnya, sebagaimana kaidah berikut ini :
“Kedaruratan itu harus diukur sesuai dengan tingkatan
kedaruratannya”
Ini
berarti tidak mentang-mentang ada satu masalah yang berbau darurat, lantas kita
menghalalkan semua yang haram.
Di padang
pasir itu selama kita masih bisa bertahan dengan memakan tumbuhan atau rumput,
maka masih belum dihalalkan memakan bangkai. Demikian juga bila seseorang masih
bisa bertahan hidup dalam waktu yang lebih lama, maka baginya belum dibenarkan
untuk memakan bangkai.
Sehingga
ukuran kedaruratan antara satu orang dengan orang lain sangat berbeda, tidak
bisa dipukul rata.
Karena
itu ada semacam kaidah yang sangat membuat hukum agama itu menjadi sedemikian
fleksible. Intinya, bila keadaan menjadi sempit dan sulit, maka hukumnya
menjadi lebih luas. Artinya, hukumnya menjadi lebih mudah. Sebaliknya, bila
keadaan yang kita miliki lebih luas, dalam arti tidak ada unsur daruratnya,
atau kalau pun ada kedaruratan, sangat sedikit, maka hukumnya menjadi sempit.
Maksudnya, hukumnya menjadi lebih tegas
.
C.
Problematika Fiqih Minoritas (Problem
muslim yang tinggal di Negri minoritas)
Umat Islam yang tinggal di negeri dimana mereka
adalah kelompok minoritas, seringkali menghadapi banyak kendala besar terkait
dengan hukum-hukum syariah.
Hal itu terjadi karena hukum-hukum
syari’ah yang ada, itu disusun di zaman tegaknya Negara-negara islam. Kitab-kitab fiqih yang tersusun umumnya memberikan jawaban masalah
dengan kondisi sosial yang ideal, dimana umat Islam berada dalam keadaan aman,
dipimpin oleh sultan (penguasa) yang shalih, serta kedaulatan Islam yang penuh, yang tentunya
sangat berbeda keadaannya dengan umat islam yang tinggal di negri minoritas.
Tidak seperti umumnya penerapan fiqih di dunia Islam,
keberadaan umat Islam di negeri yang minoritas tentunya sulit dihindarkan dari
berbagai kenyataan yang ada.
Karena itu fiqih yang digunakan boleh jadi
memiliki kaidah yang spesifik dan lebih khusus,
namun tetap original dan asli sebagaimana diturunkan di dalam Al-Quran dan
As-Sunnah.
Sehingga hal tersebut menimbulkan
berbagai pertanyaan-ppertanyaan yang tentunya sulit untuk menjawabnnya, kecuali
dengan kajian yang lebih komprehensif, mendalam,
melihat realitas sosial politik, serta memahami nilai-nilai yang dianut oleh
tiap negeri.
Pertanyaan-pertanyaan yang sering
muncul diantaranya adalah:
1.
Bolehkah Muslim Tinggal Di Negri
Kafir?
Pertanyaan yang paling mendasar adalah : Apakah
boleh seorang muslim tinggal dan hidup menjadi warga negara dari negeri yang
tidak berhukum kepada hukum Allah?
Tentu saja pertanyaan
seperti ini bisa asja dijawab “Haram”. Dalilnya adalah terdapat dalam
surat Al-Maidah ayat 44, 45, dan 47, dimana orang-orang yang tidak berhukum
kepada hukum Allah berarti dia kafir, fasik dan zhalim.
Dalam hadis Rosulpun
sekilas ada larangan bagi seorang muslim yang hidup ditengah-tengah masyarakat
non muslim, hadisnya antara lain:
انا
بريء لامن كل مسلم يقيم بين اظهر المشركين
“Aku
terlepas dari setiap muslim yang hidup di belakang orang-orang kafir”
من
جامع مشركا فهو مثله
“Siapa yang bercampur dengan orang musyrik, maka
ia termasuk dari kelompok mereka”
Yang
menjadi masalah disini adalah tidak segampang itu mengatakan bahwa orang yang
tinggal di negeri minoritas muslim lantas dianggap kafir, dengan menggunakan
dalil tersebut. Bagaimana kalau orang itu memang penduduk asli di negri itu,
dimana dia hidup, mencari penghidupan, makan dan minum di negeri kelahirannya?
Lalu jika
kebetulan dia mendapat hidayah dari Allah SWT untuk memeluk agama Islam, apakah
dia harus hijrah dan meninggalkan kampung halamannya, sebagaimana dulu para
shahabat meninggalkan Mekkah Al-Mukarramah meninggalkan kampung halaman?
Dalam mengkaji
masalah ini kita bisa menengok kebelakang pada masa Rasulullah SAW ketika para
sahabat diutus keberbagai negri non-muslim, mereka justru meninggalkan Madinah
Al-Munawwarah dan Masjid An-Nabawi, juga meninggalkan Rasulullah SAW dan para
shahabat yang mulia, untuk hidup sendiri sebagai muslim di negri asing yang
belum ada umat islam disana.
Tugas
para shahabat ini justru untuk menyebarkan agama Islam di negeri yang masih
belum mengenal agama Allah. Sehingga tidak bisa dihindari mereka pun mengalami
hidup sebagai kelompok minoritas, juga mengalami hidup di bawah kekuasaan hukum
yang selain hukum Allah.
Apakah
kita akan mengatakan bahwa para shahabat Nabi SAW yang diutus itu secara
meninggalkan negeri yang berhukum dengan hukum Islam, menuju negeri yang berhukum
dengan hukum manusia? Dan apakah mereka berdosa melakukannya?
2.
Bolehkah menjadi bagian dari pemerintahan?
Sebagian
ulama mengharamkan umat Islam yang tinggal di negeri minoritas muslim untuk
ikut serta dalam pemerintahan, yang secara tegas tidak menggunakan hukum Allah.
Alasannya bahwa negara itu adalah negara kafir. Dan seorang muslim tidak boleh
memiliki pemimpin yang kafir dan tidak berhukum dengan hukum Allah. Sebagaimana
disebutkan dalam ayat-ayat berikut ini:
`s9ur Ÿ@yèøgs† ª!$# tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9 ’n?tã tûüÏZÏB÷sçRùQ$# ¸x‹Î6y™ ÇÊÍÊÈ
“Dan
sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
menguasai orang -orang Mukmin”. (QS
An-Nisa’ :141)
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#rä‹Ï‚Gs? tûïÏ%©!$# (#rä‹sƒªB$# óOä3uZƒÏŠ #Yrâ“èd $Y6Ïès9ur z`ÏiB šúïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB óOä3Î=ö6s% u‘$¤ÿä3ø9$#ur uä!$u‹Ï9÷rr& 4
(#qà)¨?$#ur ©!$# bÎ) LäêYä. tûüÏZÏB÷s•B ÇÎÐÈ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil Jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu Jadi
buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi
kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan
bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman”. (QS.
AL-Maidah: 57)
Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa Umat Islam hanya diperbolehkan taat
kepada pemimpin yang beragama Islam dari kalangan internal sendiri. Dimana
hukum yang diterapkan adalah hukum yang datang dari Allah dan Rasul-Nya.
Karena
itu haram hukumnya ikut pemilu, karena hal itu berarti umat Islam mengakui
kepemimpinan yang menentang hukum Islam.
Dengan
dalil-dalil di atas, maka begitu banyak umat Islam di negeri-negeri minoritas
melepaskan haknya dalam pemilihan yang diselenggarakan. Dengan demikian,
hak-hak mereka sebagai warga dan juga sebagai manusia, ternyata juga tidak bisa
mereka dapatkan. Karena tidak ada yang memperjuangkan hak-hak dan aspirasi
mereka di parlemen dan perwakilan rakyat.
Akan
tetapi ada sebagaian Ulama’ yang membolehkan seorang muslim yang ikut beraspirasi
dalam hal pemerintahan. Mereka mempunyai dalil bahwa tujuan mengikuti atau
menjadi bagaian dari pemerintahan tersebut hanya untuk memperjuangkan nasib umat Islam di
negeri itu. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan pengakuan atas kepemimpinan
non muslim atau hukum-hukum selain hukum Allah.
D.
Fiqih
Ibadah Muslim Minoritas
1.
Shalat dan puasa
Dalam hal
ibadah shalat dan puasa, banyak sekali masalah-masalah yang muncul ketika umat
muslim tinggal di negri orang kafir, dalam hal ini banyak sekali
pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Diantaranya adalah:
-
Bagaimana shalatnya seorang yang
bepergian lama dinegri minoritas, apakah shalat seperti orang musafir atau
orang yang bermukim?
Dalam hal
ini kita harus mengetahui dimana letak batasan antara seorang musafir dan orang
yang bermukim. Beda antara safar dengan muqim (menetap) adalah seseorang
bergerak di muka bumi. Atau disebut dengan adh-dharbu fi ardh. Yaitu terus
bergerak ke sana ke mari setiap harinya dalam format perjalanan luar kota,
bukan berputar-putar di dalam kota.
Bila
sudah berniat untuk menetap meski sementara di suatu tempat, maka status anda
bukan musafir lagi. Batasan musafir dan tidak adalah bila terus bergerak tanpa
menetap di suatu titik di muka bumi. Begitu berdiam di suatu tempat, maka ada
jatah waktu tunggu maksimal, yaitu 4 hari. Maka begitu menginap di suatu tempat
selama lebih dari 4 hari, berarti sudah bukan musafir lagi. Dan tentunya harus
segera shalat lengkap bukan jama' dan bukan qashar.
-
Bagaimana melakukan shalat jum’at saat
bepergian di negri non-muslim?
Shalat
Jumat adalah fardhu yang wajib dikerjakan oleh semua laki-laki muslim yang
memenuhi syarat. Secara sengaja meninggalkan kewajiban shalat Jumat tanpa udzur syar'i, maka Allah akan menutup
hatinya.
Namun
semua itu hanya ditegakkan manakala syarat-syaratnya sudah terpenuhi.
Sebaliknya, bila syaratnya tidak terpenuhi, atau dalam keadaan tertentu, tentu
tidak ada kewajiban untuk mengerjakannya. Sehingga yang wajib dikerjakan adalah
shalat Dzhuhur biasa.
Di antara
'udzur syar'i yang dibenarkan dalam ikut shalat Jumat adalah safar. Bila kepergian
anda ke luar negeri ini masih termasuk kategori safar, maka anda dibolehkan
untuk tidak melakukan shalat jumat.
Bahkan
sebagian ulama justru menyatakan bahwa bila suatu shalat Jumat dikerjakan hanya
oleh mereka yang sedang safar, maka hukumnya tidak sah. Mereka mensyaratkan
bahwa shalat jumat itu hanya untuk mereka yang muqim (mustauthin) di suatu
tempat, bukan orang yang sedang safar dan kebetulan ikut shalat Jumat.
-
Bagaimana status Puasa Ketika dalam
Pesawat 18 Jam Perjalanan?
Yang
dijadikan acuan dalam menentukn jadwal berpuasa adalah keadaan alam yang
disaksikan oleh pelaku. Maksudnya, waktu Shubuh dan waktu Maghrib yang berlaku
pada diri seseorang adalah yang secara real dialaminya. Bukan berdasarkan
jadwal puasa pada tempat asal atau tempat tujuan, sementara dirinya tidak ada
di tempat itu.
Anda
boleh makan sahur selama anda belum mengalami masuknya waktu shubuh. Boleh anda
perkirakan atau malah sebaiknya anda tanyakan kepada awak pesawat, di mana dan
kapan kira-kira anda akan memasuki waktu shubuh.
Maka
patokannya bukan jadwal shubuh di negeri tujuan, juga bukan negeri asal, tetapi
negeri di mana pada saat itu anda berada.
Tetapi
yang selalu harus diperhatikan, memulai berpuasa sesuai dengan jadwal puasa di
mana kita berada dan berbuka sesuai dengan jadwal buka puasa di mana kita
berada.
2.
Makanan
Yang
dipermasalahkan dalam hal ini adalah kehalalan makannan yang terdapat di negri
minoritas, bagaimana status halal atau haramnya?
Adalah
merupakan sebuah keutamaan bagi seorang muslim untuk selalu bersifat wara',
yaitu berhati-hati dalam menjaga diri agar jangan tercebur ke dalam hal-hal
yang diharamkan Allah SWT.
Sifat
wara' ini merupakan sifat yang utama bagi seorang muslim dan merupakan jalan
menuju menjadi orang yang berderajat muttaqin. Maka bila ada seorang hamba yang
sangat berhati-hati dalam masalah memakan makanan tertentu, lalu dia memilih
untuk memasak dan mengolah sendiri semua makanan yang dikonsumsinya ketika
berada di negri minoritas.
Namun
sampai di mana rasa kehati-hatian ini masih dianggap wajar? Apakah harus memvonis
semua makanan yang ada di negri minoritas adalah haram?
Kalau
sudah divonis haram, maka makanan itu haram untuk dikonsumsi. Sedangkan kalau
belum dilakukan penyelidikan, hukumnya tidak bisa langsung dijatuhkan haram.
Sebab tidak semua makanan yang dimakan oleh non muslim itu pasti semuanya
haram. Dan kita pun akan jatuh kepada dosa manakala kita sampai menjatuhkan
vonis haram kepada makanan-makanan yang pada dasarnya tidak haram.
Namun
tidak salah bila seseorang dengan niat menjaga diri, tidak memakannya. Selama
dia tidak memvonis bahwa makanan itu hukumnya langsung.
3.
Etika pergaulan dengan masyarakat
non-muslim
Dalam hal
pergaulan dengan masyarakat non-muslim, yang sering menjadi masalah atau yang
sering diprtanyakan diantaranya adalah:
a.
Bolehkah memberi salam terlebih dahulu kepada
orang non-muslim?
Dalam hal
ini ada perbedaan pendapat dikalangan Ulama’, ada yang mengharamkan dan ada
juga yang membolehkan. Bagi yang mengharamkaan mereka berhujah pada hadis
Rasulullah yang artinya,
” Janganlah kalian memberi salam terlebih
dahulu kepada yahudi dan nasrani. Kalau kalian bertemu mereka di jalanan, maka
pepetlah mereka ke tempat yang sempit”.
Akan
tetapi meraka juga berpandapat jika ada orang kafir yang memberikan salam
terlebih dahulu maka kita diwajibkan untuk menjawabnya dengan jawaban yang
setimpal, dalilnya adalah:
#sŒÎ)ur LäêŠÍh‹ãm 7p¨ŠÅstFÎ/ (#q–Šyssù z`|¡ômr'Î/ !$pk÷]ÏB ÷rr& !$ydr–Šâ‘ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. 4’n?tã Èe@ä. >äóÓx« $·7ŠÅ¡ym ÇÑÏÈ
Artinya: “apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu
penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari
padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya
Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’: 86)
Adapun pendapat Ulama’ yang
memperbolehkan, Dalilnya adalah salam yang dituliskan nabi Muhammad SAW ketika
berkirim surat kepada raja-raja dunia yang bukan muslim. Surat-surat nabi itu
dimulai dengan basmalah dan salam. Lengkapnya berbunyi: salamun 'alaa man ittaba'al-huda (salam kepada orang yang mengikuti petunjuk)
Juga
tidak mengapa bila berbasa-basi dengan orang kafir yang tidak memusuhi kita dan
mulai dengan menyapa mereka, asalkan dengan lafaz yang tidak mengandung rasa
rendah diri sebagai muslim. Terutama bila memang dirasa perlu. Seperti ucapan
ahlan wa sahlan dan kaifa haluka. Ucapan ahlan wa sahlan kalau diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia menjadi “selamat dating”. Selamat yang dimaksud dalam
idiom ini sama sekali berbeda makna dan esensinya dengan lafadz assalamu
'alaikum.
b.
Pernikahan beda agama?
Halalnya laki-laki muslim menikahi
wanita ahli kitab bukan semata-mata pendapat atau ijtihad buatan kami,
melainkan merupakan firman Allah SWT yang tegas disebutkan di dalam Al-Quran.
tPöqu‹ø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh‹©Ü9$# (
ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; (
àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sŒÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èdu‘qã_é& tûüÏYÅÁøtèC uŽöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB Ÿwur ü“ɋςGãB 5b#y‰÷{r& 3
`tBur öàÿõ3tƒ Ç`»uKƒM}$$Î/ ô‰s)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur ’Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ƒÎŽÅ£»sƒø:$# ÇÎÈ
Artinya:
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.
Makanan orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu
halal bagi mereka. wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak menjadikannya
gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya
dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merug”. (QS.
Al-Maidah: 5)
Para ulama baik salaf maupun khalaf
ketika menjelaskan makna ayat tersebut, juga menyimpulkan demikian. Bahwa
laki-laki muslim dihalalkan menikahi wanita ahli kitab, dengan berdasarkan ayat
ini. Dan itu adalah pendapat mayoritas ulama.
c.
Non Muslim/Musyrik najiskah?
Benar bahwa Allah SWT telah
menyebutkan bahwa orang musyrik itu najis, sebagaimana disebutkan di dalam
Al-Quran:
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä $yJ¯RÎ) šcqä.ÎŽô³ßJø9$# Ó§pgwU Ÿxsù (#qç/tø)tƒ y‰Éfó¡yJø9$# tP#tysø9$# y‰÷èt/ öNÎgÏB$tã #x‹»yd 4
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz \'s#øŠtã t$öq|¡sù ãNä3‹ÏZøóムª!$# `ÏB ÿ¾Ï&Î#ôÒsù bÎ) uä!$x© 4
žcÎ) ©!$# íOŠÎ=tæ ÒOŠÅ6ym ÇËÑÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang
yang musyrik itu najis, Maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah
tahun ini. dan jika kamu khawatir menjadi miskin, Maka Allah nanti akan
memberimu kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. At-Taubah:28)
Namun para ulama sepakat mengatakan
bahwa 'najis' dalam ayat tersebut bukanlah dimaksudkan untuk najis indrawi yang
berhubungan Dengan badan, melainkan najis maknawi yang berhubungan dengan hati
dan akal (pikiran).
~ SEKIAN ~