TOKOH-TOKOH
ILMU KALAM
DAN
PEMIKIRANNYA
Tugas ini disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam
dengan Dosen Pengampu :
Moh.Ridho Amri M.Phil
Disusun oleh :
M. Amirul A.M (143111323)
Irwanto (143111305)
M. Sirrojuddin Annas (143111304)
Annas Miftahul Ummah (143111310)
Muhammad Qomarudin O. (143111301)
FAKULTAS ILMU
TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2014
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya yang tiada terkira, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan judul “Tokoh-Tokoh Ilmu Kalam dan Pemikirannya“.
Tak
lupa kami juga mengucapkan ribuan terimakasih kepada segenap keluarga yang
telah banyak memberikan dukungan, kasih, kepercayaan yang begitu besar. Dari
sanalah kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit
kebahagiaan dan menuntun kepada langkah yang lebih baik lagi.
Meskipun
penulis berharap makalah ini terbebas dari kesalahan dan kekurangan namun,
masih saja banyak kuranganya, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
Akhir
kata kami berharap, mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surakarta,
Desember 2014
Penyusun
Daftar Isi
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I
A.
Latar Belakang 1
B.
Rumusan
Masalah 2
C.
Tujuan
Penulisan 2
BAB II
A.
Ismail
Al-Faruqi 3
1.
Bioigrafi 3
2.
Pemikiran
Kalam Al-Faruqi 3
3.
Karya-karya
Al-Faruqi 5
B.
Hassan Hanafi 6
1.
Biografi 6
2.
Pemikiran
Kalam Hassan Hanafi 7
3.
Karya-karya
Hassan Hanafi 9
C.
Harun Nasution 10
1.
Biografi 10
2.
Pemikiran
Kalam Harun Nasution 10
3.
Karya-karya
Harun Nasution 12
BAB III
A.
Kesimpulan 14
Daftar Pustaka 15
BAB I
A. LATAR
BELAKANG
Ilmu kalam adalah ilmu yang mempelajari tentang ketauhidan, kenabiyan
(kemanusiaan), dan hal-hal yang belum diketahui yang bertujuan untuk menambah
atau mempertebal keyakinan. Ilmu kalam juga merupakan salah satu dari tiga
komponen utama rukun iman. Ketiga komponen itu yaitu mengucapkan dengan lisan,
melaksanakan dengan rukun-rukun dan membenarkan dalam hati. Agar keyakinan itu
dapat tumbuh dengan kukuhnya.
Untuk itu ilmu kalam terbelah menjadi beberapa aliran yang telah
diutarakan para presentasi yang sebelumnya yaitu aliran Qodariyah, Jabariyah,
Khowarij, Mu’tazilah, Ash’ariyah dan lainnya. Yang berawal dari berdampak
berbeda pendapat sehingga menjadikan munculnya aliran-aliran tersebut. Mengkaji
ilmu kalam pada dasarnya merupakan upaya memahami kerangka berpikir dan proses
pengambilan keputusan para ulama aliran teologi dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan ilmu kalam. Sebenarnay potensi yang dimiliki setiap manusia
baik berupa potensi biologis maupun potensi psikologis secara natural sangat
distingsif. Oleh karean itu, perbedaan kesimpulan antara satu pemikiran dengan
pemikiran lainnya dalam megkaji objek tertentu merupakan suatu hal yang
bersifat natural pula.
Dalam kaitan ini, (Waliyullah Ad-Dahlwi (1114-1176 H) dalam buku Abdul
Rozak dan Rosihon Anwar: 42) pernah mengatakan bahwa para sahabat dan tabiin
bisa berbeda pendapat dalam mengkaji masalah tertentu. Lebih lanjutnya, dia
melihat beberapa indikasi yang menjadi pemicu perbedaan pendapat di kalangan
sahabat dan para tabiin. Di antaranya
adalah kenyataan bahwa terdapat beberapa sahabat yang mendengar
ketentuan hokum yang diputuskan Nabi, sementara yang lainnya tidak. Sahabat
yang tidak mendengar keputusan itu lalu berijtihad. Dari sini, kemudian terjadi
perbedaan pendapat dalam memutuskan ketentuan hukum.
Mengenai sebab pemicu perbedaan pendapat, Ad-Dahlawi tampaknya lebh
menekankan aspek subjek pembuatan keputusan sebagai pemicu perbedaan pendapat.
Penekanan yang serupa pernah dikatakan (Imam Munawwir dalam buku Abdul Rozak
dan Rosihon Anwar: 42) dia mengatakan bahwa perbedaan pendapat di dalam islam
lebih dilatarbelakangi adanya beberapa hal yang menyangkut kapasitas dan
kredibilitas seseorang sebagai figure pembuat keputusan. Sedangkan (Umar
Sulaiman Asy-Syaqar dalam buku Abdul Rozak dan Rosihon Anwar: 42) lebih
menekankan aspek objek keputusan sebagai pemicu terjadinya perbedaan pendapat,
yaitu persoalan keyakinan, syari’ah dan politik.
Dalam hal ini penulis akan membahas yang berkaitan dengan tokoh-tokoh
ilmu kalam yang berperan serta dalam pemikirannya yakni Ismail Al-Faruqi,
Hassan Hanafi dan Harun Nasution. Untuk lebih jelasnya akan dibahas dalam
makalah ini.
B. RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana biografi
Ismail Al-Faruqi, Hassan Hanafi dan Harun Nasution ?
2.
Apakah
pemikiran Ismail Al-Faruqi, Hassan Hanafi dan Harun Nasution ?
3.
Apa sajakah
karya-karya Ismail Al-Faruqi, Hassan Hanafi dan Harun Nasution ?
C. TUJUAN
PENULISAN
1.
Mengetahui
biografi Ismail Al-Faruqi, Hassan Hanafi dan Harun Nasution.
2.
Memahami pemikiran-pemikiran
Ismail Al-Faruqi, Hassan Hanafi dan Harun Nasution.
3.
Mengetahui
karya-karya Ismail Al-Faruqi, Hassan Hanafi dan Harun Nasution.
BAB II
A. ISMAIL
AL-FARUQI
1. Biografi
Ismail Raji Al-Faruqi lahir pada tanggal 1 januari 1921 di Jaffa,
Palestina. Pengalaman pendidikanya di awali dari pendidikan madrasah di desa
kelahirannya (college des ferese), Libanon yang menggunakan
bahasa prancis sebagai bahasa pengantarnya, predikat sarjana muda diperolehnya
dari Amerika university, Bairut jurusan filsafat pada tahun 1941.[1]
Ismail Raji Al-Faruqi pernah menjadi pegawai negeri selama
empat tahun di palestina yang ketika itu masih dalam status mandat Inggris.
Karir birokrasi Ismail Raji Al-Faruqi pernah mencapai jabatan sebagai gubenur
di Galilela, Palestina pada usia 24 tahun. Namun jabatan ini tidak lama karena
pada tahun 1947 propinsi tersebut jatuh ke tangan Israel, sehingga ia pindah ke
Amerika serikat pada tahun 1948.
Pada tahun 1949 Ismail Raji Al-Faruqi melanjutkan studinya di
Universitas Indian sampai meraih gelar master dalam bidang filsafat. Dua tahun
kemudian ia meraih gelar master kedua dalam bidang yang sama dari universitas
Harvard. Pada tahun 1952 ia meraih gelar Ph. D dari Universitas Indian dengan
disertasi berjudul “Tentang Pembenahan Tuhan: Metafisika dan Epistimologi
nilai”. Namun apa yang ia capai tidak memuaskan, karena itu ia kemudian
pergi ke Mesir untuk lebih mendalam ilmu keislaman di universitas Al-Azhar
Kairo.
Ismail Raji Al-Faruqi mulai mengajar di Mcbill University,
Kanada pada tahun 1959. Pada tahun 1961-1963 ia pindah ke Karachi Pakistan
untuk ikut bagian dalam kegiatan Centeral Intitute For Islame Researh dan
jurnalnya Islamic Studies. Tahun 1968 ia pindah ke temple
university Philadelpia sebagai guru besar agama dan mendirikan pusat kajian
islam.
Hidup Ismail Raji Al-Faruqi berahir tragis setelah ia dan
isterinya dibunuh pembunuh gelap di rumahnya di Philadelphia pada tanggal 27
Mei 1986. Beberapa penganut menduga bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh Zionis
Yahudi karena proyek Ismail Raji Al-Faruqi yang demikian inten untuk kemajuan
islam.
2.
Pemikiran Kalam
Al-Faruqi
a.
Tauhid Sebagai Inti
Pengalalaman Agama
Menurut Al-Faruqi, inti pengalaman agama
adalah Tuhan. Dua kalimat Syahadad menempati posisi paling utama dalam setiap
kedudukan, tindakan dan pemikiran setiap mu’min. Kehadiran tuhan mengisi
kesadaran muslim dalam waktu kapanpun dan dalam keadaan apapun. Bagi kaum
muslim tuhan merupakan Obsesi yang agung. Esensi pengalaman agama dalam islam
tidak lain dari realisasi prinsip bahwa hidup dan kehidupan ini tidak sia-sia. [2]
b. Tauhid Sebagai Pandangan Dunia
Tauhid merupakan pandangan umum tentang
realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu, sejarah manusia dan takdir.[3]
c. Tauhid sebagai Inti Sari Islam
Esensi peradaban islam adalah islam, dan
esensi islam adalah tauhid atau pengesaan Tuhan. Tidak ada satu perintahpun
dalam islam yang dapat dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid, islam tidak akan
ada.[4]
d. Tauhid Sebagai Prinsip Sejarah
Tauhid menempatkan manusia pada suatu
etika berbuat atau bertindak, yaitu etika ketika keberhargaan manusia sebagai
pelaku moral di ukur dari tingkat keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi
aliran ruang dan waktu. Eskatologi islam tidak memiliki sejarah formatif. Ia
terlahir lengkap dalam Al-Qur’an, dan tidak mempunyai kaitan dengan situasi para
pengikutnya pada waktu kelahiranya, seperti dalam agama yahudi atau kristen ia
di pandang sebagai klimaks moral bagi kehidupan di atas bumi.[5]
e.
Tauhid Sebagai Prinsip
Pengetahuan
Iman dalam Islam adalah kebenaran yang
diberikan pada pikiran, bukan pada perasaan manusia yang mudah mempercayai
semua hal. Kebenaran atau proporsi iman bukanlah misteri-misteri, hal-hal yang
sulit difahami, tidak dapat diketahui dan tidak masuk akal, melainkan bersifat
kritis dan rasional. Kebenaran-kebenarannya telah dihadapkan pada ujian
keraguan dan lulus dalam keadaan utuh dan ditetapkan sebagai kebenaran.[6]
f. Tauhid Sebagai Prinsip Metafisika
Alam adalah ciptaan dan anugerah yang maha
kuasa, ia bersifat teologis, sempurna dan teratur. Sebagai anugerah ia
merupakan kebaikan yang tidak mengandung dosa yang disediakan untuk manusia.
Tujuannya untuk memungkinkan manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan. Keteraturan, kebertujuan, dan
kebaikan menjadi ciri dan meringkas pandangan islam tentang Alam.[7]
g. Tauhid Sebagai Prinsip Etika
Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah
memberikan amanat-Nya kepada manusia, suatu amanat yang tidak mampu dipikul
oleh langit dan bumi, amanat yang meraka hindari dengan penuh ketakutan. Amanat
Illahi tersebut berupa pemenuhan unsur etika dari kehendak Illahi, yang
sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus direalisasikan dengan kemerdekaan, dan
manusia adalah satu-satunya adalah mahluk yang mampu melaksanakannya. Dalam
Islam etika tidak dapat dipisahkan dari agama dan dibangun di atasnya.[8]
h.
Tauhid Sebagai Prinsip
Tata Sosial
Islam tidak membeda-bedakan antara manusia
satu dengan yang lainnya, semua manusia di anggap sama kedudukannya di mata
Allah, masyarakat Islam adalah masyarakat yang terbuka, dan setiap manusia
boleh bergabung dengannya, baik sebagai umat Islam maupun sebagai yang
dilindungi. Masyarakat islam harus berusaha mengembangkan dirinya untuk
mencakup seluruh umat manusia.[9]
i.
Tauhid Sebagai Prinsip
Ummah
Al-Faruqi menjelaskan prinsip ummah tauhid
menjadi empat identitas, pertama,
menentang etnosentrisme, maksudnya tata sosial Islam adalah mencakup seluruh
umat manusia tanpa terkecuali, tidak hanya untuk segelintir etnis. Kedua,
universalisme, maksudnya, islam bersifat universal, dalam arti mencakup
seluruh manusia. Ketiga, totalisme,
maksudnya islam relevan dengan semua bidang kegiatan hidup manusia dan mencakup
seluruh aktivitas pada ruang dan waktu. Keempat
kemerdekaan, tata sosial Islam adalah kemerdekaan. Jika dibangun dengan
kekerasan atau memaksa rakyat, islam akan kehilangan sifatnya.[10]
j.
Tauhid Sebagai Prinsip
Keluarga
Al-Faruqi memandang bahwa selama tetap
melestarikan identitas mereka dari komunisme dan ideologi barat, umat Islam
menjadi masyarakat yang selamat dan menempati kedudukanyan yang terhormat,
keluarga islam mempunyai peluang lebih besar untuk tetap lestari sebab ditopang
oleh hukum Islam dan Dideterminisi oleh hubungan erat dengan tauhid.[11]
3.
Karya-Karya Al-Faruqi
Dengan ketajaman analisis Al Faruqi, ia
mampu menguasai berbagai disiplin ilmu, seperi etika, seni, sosiologi,
kebudayaan (antropologi), sampai metafisika dan politik, termasuk juga wacana
pendidikan.
Karyanya yang terakhir adalah “The Culture Atlas
of Islam” yang
digarap bersama istrinya, Lamaya. Buku ini
menggambarkan tentang peta peradaban dan kultur Islam sejak masa paling awal
sampai abad pertengahan. Dalam buku ini al Faruqi ingin mengambarkan bahwa
peradaban Islam dapat menjadi kebanggaan. Kajiannya sangat jelas berusaha
menunjukkan ruh dan spirit Islam sebagai prinsip yang telah mengantarkan
peradaban Islam yang pernah cemerlang, yaitu semangat Tauhid. Dalam buku ini
juga, tanpa ragu Al-Faruqi menulis
bahwa intisari tamaddun (peradaban) Islam adalah Islam itu sendiri, dan
intisari Islam adalah tauhid.
Karya lain yang penting dan mungkin
yang menghasilkan tanggapan adalah bukunya yang berjudul “Islamization of
Knowledge: General Principles and Work Plan”. Dalam buku ini ia berusaha mensosialisasikan ide-ide
islamisasi pengetahuan, sekaligus menawarkan kerangka kerja dan tahapan-tahapan
teknis yang harus dilaksanakan ketika akan melakukan proyek islamisasi terhadap
ilmu pengetahuan di dunia muslim. Buku ini terdiri atas tujuh bagian pembahasan
dan dilengkapi dengan appendiks berupa beberapa agenda hasil
konferensi II tentang islamisasi pengetahuan di Islamabad, tahun 1982,
konferensi III dan IV tentang isu yang sama dilaksanakan di Kuala Lumpur tahun
1984 dan di Khortoum tahun 1987.
Karya yang lain, adalah “Al Tawhid: Its Implication for Thought and Life” (1982)
yang berisi 13 chapter. Karya ini menganalisis secara tajam dan meyakinkan
batapa tauhid dapat menjadi prinsip sejarah, prinsip ilmu pengetahuan, prinsip
metafisika, prinsip etika, prinsip tata sosial, prinsip ummah, prinsip
keluarga, prinsip tata politik, prinsip tata ekonomi, prinsip tata dunia, prinsip
estetika.
Menurut
Abdurrahmansyah karya-karya al Faruqi tampaknya sangat kuat berpondasi pada
tauhid sebagai nilai esensial Islam, dan selalu menjadi ide dasar
analisisnya. Esensi tauhid menurut al Faruqi adalah potensi dasar yang
besar, yang mampu menggerakkan roda peradaban muslim ke arah yang paling
progresif, termasuk dalam mencermati pendidikan Islam.
Selama kehidupan profesionalnya yang
hampir berlangsung 30 tahun, dia menulis, menyunting, atau menerjemahkan 25
judul buku, mempublikasikan lebih dari seratus artikel, menjadi guru besar tamu
di lebih dari 23 universitas di Afrika, erpa, Timur Tengah, Asia Selatan dan
Tenggara, dan duduk dalam dewan redaksi di tujuh jurnal Besar.
Tulisan-tulisannya
yang lain seperti The Life of Muhammad (Philadelphia: Temple University Press,
1973), Urubah and Relegion (Amsterdam: Djambatan,1961), Particularisme in the
Old Testament nd Contemporary Sect in Judaism (Cairo:League of arabe States,
1963), The Great Asian Religion (New York: Macmillen,1969) (AI-Faruqi,
1975:XI), serta banyak lagi artikel dan makalah yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.[12]
B.
HASSAN HANAFI
1.
Biografi
Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di
dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat
bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar,
terutama di Universitas Al-Azhar. Ia berasal dari keluarga musisi, pendidikanya
di awali pada tahun 1935 dengan menamatkan pendidikan tingkat dasar, dan
melanjutkan studi di Madrasah Sanawiyah “Kholil Agha” Kairo, yang diselesaikan
selama empat tahun. Selama di Sanawiyah Ia aktif mengikuti diskusi-diskusi
kelompok Ihkwan Al-Muslimin. Oleh
karena itu, sejak kecil ia telah mengetahui pemikiran-pemikiran ytang
dikembangkan kelompok itu dan aktivitas-aktivitas sosialnya. Hannafi tertarik
untuk mempelajari pemikiran-pemikiran Sayyid Kutb tentang keadilan sosial dalam
islam.
Masa kecil Hanafi berhadapan dengan
kenyataan-kenyataan hidup di bawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa
asing. Kenyataan itu membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya,
sehingga tidak heran meskipun masih berusia 13 tahun ia telah mendaftarkan diri
untuk menjadi sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948. la ditolak
oleh Pemuda Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu muda. Di samping itu
ia juga dianggap bukan berasal dari kelompok Pemuda Muslimin. Ia kecewa dan
segera menyadari bahwa di Mesir saat itu telah terjadi problem persatuan dan
perpecahan.
Ketika masih duduk di bangku SMA,
tepatnya pada tahun 1951, Hanafi menyaksikan sendiri bagaimana tentara Inggris
membantai para syuhada di Terusan Suez. Bersama-sama dengan para mahasiswa ia
mengabdikan diri untuk membantu gerakan revolusi yang telah dimulai pada akhir
tahun 1940-an hingga revolusi itu meletus pada tahun 1952. Atas saran
anggota-anggota Pemuda Muslimin, pada tahun ini ini pula ia tertarik untuk
memasuki organisasi Ikhwanul MusliminSejak tahun 1952 sampai dengan 1956 Hanafi
belajar di Universitas Kairo untuk mendalami bidang filsafat. Di dalam periode
ini ia merasakan situasi yang paling buruk di Mesir. Pada tahun 1954 misalnya,
terjadi pertentangan keras antara Ikhwan dengan gerakan revolusi. Hanafi berada
pada pihak Muhammad Najib yang berhadapan dengan Nasser, karena baginya Najib
memiliki komitmen dan visi keislaman yang jelas.
Tahun-tahun berikutnya, Hanafi
berkesempatan untuk belajar di Universitas Sorborne Perancis, pada tahun 1956
sampai 1966. Di Perancis inilah ia dilatih untuk berpikir secara metodologis
melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan atau karya-karya orientalis. Ia
sempat belajar pada seorang reformis Katolik, Jean Gitton; tentang metodologi
berpikir, pembaharuan, dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul
Ricouer, analisis kesadaran dari Husserl, dan bimbingan penulisan tentang
pembaharuan Ushul Fiqih dari Profesor Masnion.
Di waktu-waktu luangnya, Hanafi
mengajar di Universitas Kairo dan beberapa universitas di luar negeri. Ia sempat
menjadi profesor tamu di Perancis (1969) dan Belgia (1970). Kemudian antara
tahun 1971 sampai 1975 ia mengajar di Universitas Temple, Amerika Serikat.
Pengalaman dengan para pemikir besar dunia dalam berbagai pertemuan Internasional,
baik di kawasan Negara Arab, Asia, Eropa, dan Amerika membantunya semakin paham
terhadap persolan besar yang sedang dihadapi dunia dan umat Islam di berbagai
Negara. Hanafi berkali-kali mengunjungi Negara-Negara asing seperti belanda,
swedia, Portugal, Spanyol, Perancis, Jepang India, Indonesia, Sudan, dan Saudi
Arabia antara tahun 1980-1987.
2.
Pemikiran Kalam Hassan
Hanafi
a. Kritik Terhadap
Teologi Tradisional
Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradisional Hanafi
menegaskan perlu mengubah orientasi perangkat konseptual system kepercayaan
(teologi) sesuai dengan perubahan kontek politik yang terjadi. Teologi
tradisional, menurut Hanafi lahir dalam kontek sejarah ketika inti keislaman
sisitem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh wakil-wakil dari
sekte-sekte dan budaya lama. Teologi itu dimaksudkan untuk mempertahankan
doktrin utama dan untuk memelihara kemurniaannya. Sementara itu, konteks
sosial-politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan di
berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonialisme. Oleh karena itu,
kerangka konseptual masa-masa permulaan yang berasal dari kebudayaan klasik
harus diubah menjadi kerangka konseptual baru yang berasal dari kebudayaan
modern.
Selanjutnya, Hanafi memandang bahwa
teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan kesejarahan,
melainkan merefleksikan konflik-konflik sosial-politik. Oleh karena itu, kritik
teologi merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan. Sebagai produk pemikiran
manusia, teologi terbuka untuk kritik. Menurut Hanafi, teologi sesungguhnya
bukan lmu tentang Tuhan, yang secara etimologi berasal dari kata teos dan logos, melainkan ilmu tentang kata (ilm al-kalam).
Teologi bukan merupakan ilmu tentang
tuhan karena tuhan tidak tunduk pada ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam
sabdanya yang berupa wahyu. Ilmu kata adalah ilmu tafsir yaitu hermeneutik.
Yang merupakan ilmu tentang analisis percakapan (discourse analysis), bukan
hanya dari segi bentuk-bentuk murni ucapan, melainkan dari segi konteksnya
yaitu pengertian yang merujuk pada dunia. Wahyu sebagai manifestasi kemauan
tuhan, yaitu sabda yang dikirim kepada manusia yang mempunyai muatan-muatan
kemanusiaan.
Secara praksis, Hanafi menunjukan
bahwa teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah “pandangan yang benar-benar hidup” dan
memberi motivasi tindakan dalam kehidupan konkret umat manusia. Secara praksis,
teologi tradisional gagal menjadi ideology yang fungsional bagi kehidupan nyata
masyarakat muslim.
Kegagalan para teolog tradisional
disebabakan oleh para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan
kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Akibatnya, muncul
keterpecahan antara keimanan teoritik dengan amal praktisnya di kalangan umat.
Ia menyatakan, baik secara individual maupun sosial, um at ini dilanda
ketrcerebaian dan terkoyak-terkoyak. Secara individual, pemikiran manusia
terputus dengan kesadaran, perkataan ataupun perbuatannya. Keadaan serupa akan
mudah melahirkan sikap-sikap moral ganda atau sinkritisme kepribadian. Fenomena
sinkritis ini tampak dalam kehidupan umat islam saat ini: sinkritisme antara
kultur keagamaan dan sekulerisme (dalam kebudayaan), antara tradisional dan
modern (peradaban), antara timur dan barat (politik), antara konservatisme dan
progresivisme (sosial) dan antara kapitalisme dan sosialisme (ekonomi).[13]
b.
Rekonstruksi Teologi
Melihat sisi kelemahan teologi
tradisional, Hanafi mengajukan saran rekontruksi teologi. Menurutnya, mungkin
untuk memfungsikan teologi menjadi ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masa kini
yaitu dengan melakukan rekontruksi dan revisi, serta membangun kembali
epistomologi lama yang rancu dan palsu menuju epistimologi baru yang sahih dan
lebih signifikan. Tujuan rekontruksi teologi Hanafi adalah menjadikan teologi
tidak sekedar dogma-dogma keagamaan yang kosong, tetapi menjelma sebagai ilmu
tentang perjuangan sosial, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional
berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi manusia.
Langkah melakukan rekontruksi
teologi dilatarbelakangi oleh tiga hal.
Pertama,
kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas ditengah-tengah
pertarungan global antara berbagai
ideology.
Kedua,
prntingnya teologi baru ini bukan pada sisi teoretiknya, melainkan juga
terletak pada kepentingan praktis untuk mewujudkan ideology sebagai gerakan
dalam sejarah. Salah satu kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem
pendudukan tanah di Negara-negara muslim.
Ketiga,
kepentingan teologi yang bersifat praktis (‘amaliyah fi’liyah), yaitu secara
nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia islam.
hanafi menghendaki adanya teologi dunia, yaitu teologi baru yang dapat
mempersatukan umat islam dibawah satu orde.
Selanjutnya, Hanafi menawarkan dua
hal untuk memperoleh kesempurnaan teologi ilmu dalam teologi islam.
Pertama,
analisis bahasa. Bahasa serta istilah-istilah dalam teologi tradisional adalah
warisan nenek moyang dibidang teologi, yang merupakan bahasa khas yang
seolah-olah sudah menjadi ketentuan sejak dulu. Teologi tradisional memiliki
istilah-istilah khas, seperti Aflah, iman, akhirat. Menurut Hanafi, semua ini
menyingkapkan sifat-sifat dan metode keilmuan, ada yang empiris dan rasional,
seperti iman, amal dan imamah, dan ada yang historis seperti nubuah, serta ada
pula yang metafisik, seperti Allah dan akhirat.
Kedua,
analisis realitas. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang
historis-sosiologis munculnya teologi pada masa lalu, mendiskripsikan
pengaruh-pengaruh nyata teologi bagi kehidupan masyarakat, dan bagaimana ia
mempunyai kekuatan mengarahkan terhadap perilaku para pendukungnya. Analisis
realitas ini berguna untuk menentukan stressing
ke arah mana teologi kontemporer harus diorientasikan.[14]
3.
Karya-Karya Hassan
Hanafi
a. Qadhaya Mu’ashirat Fi Fikrina Al-Mu’ashir, buku ini diterbitkan
pada tahun 1976. Tulisan ini merupakan akumulai tulisan hannafi yang telah
diterbitkan dibeberapa jurnal, kususnya jurnal Al-Katib, Al-Adab ,Al-Fiqr Al-Mu’ashir,
dan mimbar alislam. Dirrasat Islamiyah, buku ini ditulis sejak tahun 1978 dan terbit tahun 1978,
memuat deskripsi dan analisis pembaharuan terhadap Ilmu keislaman klasik,
seperti Usul Fiqih, Ilmu-Ilmu Usluhudin, dan Filsafat.
b. Al-Turats Wa Al-Tajdid, buku ini terbit pertama kali tahun 1980, tulisan
ini memuat landasan teoristis ide-ide pembaharuan dan langkah-langkahnya.
c. Al-Asar Al-Islamiyah, yang dikenal hingga saat ini dengan istilah
Kiri Islam . sebuah tulisan yang memuat Manifesto Politik yang berbau Idiologis.
d. Min Al –Aqidah Ila Al Tswaurah, (dari Aqidah menuju Revolusi), buku ini
terdiri dari 5 jilid, di tulis salama hampir 10 tahun, dan baru terbit pada tahun 1988, buku ini memuat uraian rinci tentang
pokok-pokok pembaharuan yang ia canangkan, sebagaimana yang termuat dalam
karya-karyanya yang terdahulu.
e. Religion Ideologi And Developmen, terbit pada tahun
1993. Muatan tulisan ini banyak
dipresentasikan dalam berbagai seminar dibeberapa Negara, seperti AS, Perancis,
belanda, Timor tengah, Jepang dan termasuk Indonesia.
f. Islam in the Modern World, buku ini terdiri dari dua jilid, Tulisan ini
juga merupakan susunan dari beberapa tulisanya yang di beberapa artikel.
C. HARUN NASUTION
1. Biografi
Harun Nasution lahir
pada hari selasa 23 september 1919 di sumatera. Ayahnya, Abdul Jabar Ahmad,
adalah seorang ulama, hakim dan seorang penghulu. Pendidikan formalnya dimulai
disekolah belanda HIS. Setelah tujuh tahun di HIS, ia meneruskan ke MIK (Modern
Islamietische kweekschool) di Bukittinggi pada tahun 1934. Pendidikannya lalu
diteruskan ke Universitas Al-azhar, Mesir. Sambil kuliah di Al-Azhar,ia kuliah
pula di Universitas Amerika di Mesir. Pendidikannya lalu dilanjutkan ke Mc.
Gill,Kanada, pada tahun 1962.
Setiba
ditanah air pada tahun 1969, Harun Nasution langsung mencempungkan diri dalam
bidang akademis dengan menjadi dosen pada IAIN Jakarta, dan kemudian juga pada
Universita Nasional. Kegiatan akademis dirangkapnya dengan kegiatan
administrasi (tetapi tetap dalam rangka akademis) ketika ia memimpin IAIN,
ketua lembaga pembinaan pendidikan agama IKIP Jakarta, dan terakhir memimpan
Fakultas pasca sarjana IAIN Jakarta.dengan berbekal Ph.D. yang diraihnya pada
tahun 1968 di McGill University, ia pun mempunyai bekal yang berbeda dari pakar
sebelimnya di Indonesia tentang studi islam. Perbedaan latar belakang ini
agaknya perlu diperhatikan.
Harun Nasution adalah figur sentral
dalam semacam jaringan intelektual yang terbentuk di kawasan IAIN ciputat
semenjak paruh kedua dasawarsa 70-an. Sentralitas Harun Nasution di dalam
jaringan ini tentu saja banyak ditopang oleh kapasitas intelektualnya, dan
kemudian oleh kedudukan formalnya sebagai rektor sekaligus salah seorang
pengajar di IAIN. Dalam kapasitas terakhir ini, ia memegang beberapa mata
kuliah terutama menyangkut sejarah perkembangan pemikiran yang terbukti menjadi
salah satu sarana awal menuju pembentukan jaringan antara Harun Nasution dan
mahasiswa-mahasiswanya.[15]
2. Pemikiran Kalam Harun Nasution
a. Peranan Akal
Berkenaan dengan akal ini, Harun
Nasution menulis demikian, “Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah,
manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain
disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupannya
menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.”
Tema islam agama rasional dan
dinamis sangat kuat bergema dalam tulisan-tulisan Harun Nasution, terutama
dalam buku Akal dan Wahyu dalam
islam,Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, dan Muhammad
Abduh dan Teologi Raasional Muhammad Abduh.
Dalam ajaran islam, akal mempunyai
kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan
dan kebudayaan saja,tetapi juga dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan
islam sendiri. Pemakaian akal dalam islam diperintahkan Al-Qur’an sendiri.
Bukanlah tidak ada dasarnya kalau ada penulis-penulis, baik dikalangan islam
sendiri maupun dikalangan non-islam, yang berpendapat bahwa islam adalah agama
rasional.[16]
b. Pembaharuan Teologi
Pembaharuan teologi, yang menjadi
predikat Harun Nasution, pada dasarnya dibangun di atas asumsi bahwa
keterbelakangan dan kemunduran umat islam adalah disebabkan “ada yang salah”
dalam teologi mereka. Pandangan ini serupa dengan pandangan kaum modernis lain
pendahulunya yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi islam yang
sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat islam dengan teologi
fatalistik, irasional, pre-determinisme serta penyerahan nasib telah membawa
nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika
hendak mengubah nasib umat islam, menurut Harun Nasution, umat islam hendaklah
mengubah teologi mereka menuju teologi yang berwatak free-will,
rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini selanjutnya
menemukan teologi dalam khasanah islam klasik sendiri yakni teologi mu”tazilah.[17]
c. Hubungan
Akal dan Wahyu
Salah satu fokus pemikiran Harun
Nasution adalah hubungan antara akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan
wahyu dan akal memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak
bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam al-qur”an. Orang yang
beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya . wahyu
bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan
Dalam pemikiran islam, baik
dibidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi dibidang ilmu fiqih, akal tidak
pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu
tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk
menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi
interpretai. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran islam sebenarnya
bukan akal dengan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan
penafsiran lain dari teks wahyu iti juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya
dalam islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.[18]
3.
Karya-karya Harun Nasution
Dalam rangka mengembangkan
pemikirannya, Harun Nasution telah menulis sejumlah buku, antara lain sebagai
berikut:[19]
a. Islam Ditinjau Dari
Berbagai Aspeknya (1974). Buku ini terdiri dari dua jilid, diterbitkan pertama kali
oleh UI-Press, yang intinya adalah memperkenalkan Islam dari berbagai aspeknya.
Buku ini menolak pemahaman bahwa Islam itu hanya berkisar pada ibadat, fikih,
tauhid, tafsir, hadits, dan akhlak saja. Islam menurut buku Harun ini lebih
luas dari itu, termasuk di dalamnya sejarah, peradaban, filsafat, mistisisme,
teologi, hukum, lembaga-lembaga, dan politik.
b.
Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan (1977). Buku ini
terdiri dari dua bahagian. Bahagian pertama, mengandung uraian tentang aliran
dan golongan-golongan teologi, bukan hanya yang masih ada tetapi juga yang
pernah terdapat dalam Islam seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariah dan Jabariah,
Mu’tazilah, dan Ahli Sunnah wal Jama’ah. Uraian diberikan sedemikian rupa,
sehingga di dalamnya tercakup sejarah perkembangan dan ajaran-ajaran terpenting
dari masing-masing aliran atau golongan itu, dan mengandung analisa dan
perbandingan dari aliran-aliran tersebut. Sehingga dapat diketahui aliran mana
yang bersifat liberal, mana yang bersifat tradisional.
c.
Filsafat Agama (1978). Buku ini menjelaskan tentang epistemologi dan wahyu,
ketuhanan, argumen-argumen adanya Tuhan, roh, serta kejahatan dan kemutlakan
Tuhan.
d.
Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (1978). Buku ini
juga merupakan kumpulan ceramah Harun di IKIP Jakarta. Buku ini terdiri dari
dua bagian, yakni bagian falsafat Islam dan bagian mistisisme Islam (tasawuf).
Bagian falsafat Islam menguraikan bagaimana kontak pertama antara Islam dan
ilmu pengetahuan serta falsafat Yunani yang kemudian melahirkan filosuf muslim
seperti al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, dan ibn Rusyd.
Sedangkan, bagian mistisisme Islam menguraikan bagaimana kedudukan tasawuf
dalam Islam sebagai upaya mendekatkan diri pada Tuhan.
e.
Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1978). Buku ini
merupakan kumpulan ceramah dan kuliah Harun Nasution di berbagai tempat di
Jakarta tentang Aliran-Aliran Modern dalam Islam. Membahas tentang pemikiran
dan gerakan pembaruan dalam Islam, yang timbul di zaman yang lazim disebut
periode modern dalam sejarah Islam. Pembahasannya mencakup atas pembaruan yang
terjadi di tiga negara Islam, yaitu Mesir (topik intinya; pendudukan Napoleon
dan pembaharuan di Mesir, Muhammad Ali Pasya, al-Tahtawi, Jamaluddin
al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, murid dan pengikut Muhammad Abduh),
Turki, (topik intinya; Sultan Mahmud II, Tanzimat, Usmani Muda, Turki Muda,
tiga aliran pembaharun, Islam dan Nasionalis, dan Mustafa Kemal), dan
India-Pakistan (topik intinya ; Gerakan Mujahidin, Sayyid Ahmad Khan, Gerakan
Aligarh, Sayyid Amir Ali, Iqbal, Jinnah dan Pakistan, Abul Kalam Azad dan
Nasionalisme India.
f.
Akal dan Wahyu dalam Islam (1980). Buku ini menjelaskan pengertian
akal dan wahyu dalam Islam, kedudukan akal dalam Al-Quran dan Hadits,
perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, dan peranan akal dalam pemikiran
keagamaan Islam. Uraian tegas buku ini menyimpulkan bahwa dalam ajaran Islam,
akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan
ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran
keagamaan sendiri. Akal tidak pernah membatalkan wahyu, akal tetap tunduk
kepada teks wahyu.
g.
Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (1987). Buku ini
merupakan terjemahan dalam bahasa Indonesia dari tesis Ph.D. Harun Nasution
yang berjudul “The Place of Reason in Abduh’s Theology, Its Impact on his
Theological System and Views”, diselesaikan bulan Maret 1968 di McGill,
Montreal, Kanada. Buku ini berisi tentang riwayat hidup Muhammad Abduh,
filsafat wujud, kekuatan akal, fungsi wahyu, paham kebebasan manusia dan
fatalisme, sifat-sifat Tuhan, perbuatan Tuhan, dan konsep Iman. Inti buku ini
menjelaskan bahwa pemikiran teologi Muhammad Abduh banyak persamaannya dengan
teologi kaum Mu’tazilah, bahkan dalam penggunaan kekuatan akal, Muhammad Abduh
jauh melebihi pemikiran Mu’tazilah.
h. Islam Rasional (1995). Buku ini
merekam hampir seluruh pemikiran keislaman Harun Nasution sejak tahun 1970
sampai 1994 (diedit oleh Syaiful Muzani), terutama mengenai tuntutan
modernisasi bagi umat Islam. Hal itu, menurut Harun, harus diubah dengan
pandangan rasional yang sebenarnya telah dikembangkan oleh teologi Mu’tazilah.
Karena itu, reaktualisasi dan sosialisasi teologi Mu’tazilah merupakan langkah
strategis yang harus diambil, sehingga umat Islam secara kultural siap terlibat
dalam pembangunan dan modernisasi dengan tetap berpijak pada tradisi sendiri.
BAB III
A.
KESIMPULAN
Dari uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa dari ketiga tokoh di atas memiliki pemikiran
kalam yang berbeda-beda, pemikiran kalam Al-Faruqi adalah inti pengalaman agama
adalah Tuhan. Kalimat syahadat menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan,
tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Tauhid merupakan pandangan umum tentang
realitas, kebenaran, dunia, ruang, waktu,sejarah manusia dan takdir. Pemikiran
kalam Hassan Hanafi adalah mengkritik teologi tradisional tidak dapat menjadi
sebuah pandangan yang benar-benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam
kehidupan kongkret umat manusia hal ini disebabkan oleh sikap para penyusun
teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai
perbuatan manusia. Sehingga menimbulkan keterpercahan antara keimanan teoritik
dengan amal praktiknya dikalangan umat. Dan pemikiran kalam Harun Nasution
adalah Besar kecilnya peranan akal dalam sistem teologi suatu aliran sangat
menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam.
Harun memandang perlu pembaharuan teologi untuk kembali kepada teologi Islam
sejati.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Rasyid, Muslim. Widi Irawan. 2012. “Islamisasi Ilmu
Pengetahuan (Analisis Teerhadap Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi)”. (online), (http://widiirawan.blogspot.com/2012/04/makalah-filsafat-pendidikan-islam.html3.05 . diakses tanggal 15 Desmber 2014)
Harun, Hamzah.
2012. “Karya-karya Hasan Hanafi”. (online), (http://hamzah-harun.blogspot.com/2012/02/karya-karya-hasan-hanafi.html. di akses tanggal 3 Desember 2014)
Rozak, Abdul. Rosihon Anwar. 2012. Ilmu Kalam. Bandung: CV PUSTAKA SETIA
……… 2009. “Pemikiran Prof. dr. Harun Nasution”. (online). (http://udhiexz.wordpress.com/2009/05/12/pemikiran-prof-dr-harun-nasution. di akses tanggal 21 November 2014)
[1] Abdul Rozaq
dan Rosihon Anwar. 2012. Ilmu Kalam. Bandung: CV. PUSTAKA. hal. 267
[2] Ibid., hal.
270
[3] Ibid., hal.
271
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid., hal.
272
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid., hal.
273
[12] Al-Rasyid,
Muslim. Widi Irawan. 2012. “Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Analisis Teerhadap
Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi)”. (online), (http://widiirawan.blogspot.com/2012/04/makalah-filsafat-pendidikan-islam.html3.05 . diakses
tanggal 15 Desmber 2014)
[13]Abdul Rozaq dan
Rosihon Anwar. 2012. Ilmu Kalam. Bandung: CV. PUSTAKA. hal. 274
[14] Ibid., hal.
276
[15] Ibid., hal.
280
[16] Ibid., hal.
282
[17] Ibid.
[18] Ibid., hal.
283
[19] ………
2009. “Pemikiran Prof. dr. Harun Nasution”. (online). (http://udhiexz.wordpress.com/2009/05/12/pemikiran-prof-dr-harun-nasution. di akses
tanggal 21 November 2014)