Sunday, 21 December 2014

tokoh-tokoh ilmu kalam dan pemikiranya



TOKOH-TOKOH ILMU KALAM
DAN
PEMIKIRANNYA
Tugas ini disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam
 dengan Dosen Pengampu :
Moh.Ridho Amri M.Phil
Disusun oleh :
M. Amirul A.M                                   (143111323)
Irwanto                                               (143111305)
M. Sirrojuddin Annas                         (143111304)
Annas Miftahul Ummah                     (143111310)
Muhammad Qomarudin O.                 (143111301)



FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2014

Kata Pengantar

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat, hidayah, dan inayah-Nya yang tiada terkira, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Tokoh-Tokoh Ilmu Kalam dan Pemikirannya“.
            Tak lupa kami juga mengucapkan ribuan terimakasih kepada segenap keluarga yang telah banyak memberikan dukungan, kasih, kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun kepada langkah yang lebih baik lagi.
            Meskipun penulis berharap makalah ini terbebas dari kesalahan dan kekurangan namun, masih saja banyak kuranganya, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
            Akhir kata kami berharap, mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.



Surakarta,            Desember 2014
Penyusun




Daftar Isi

Kata Pengantar                                                                                   i
Daftar Isi                                                                                             ii
BAB I
A.    Latar Belakang                                                                              1         
B.     Rumusan Masalah                                                                         2
C.     Tujuan Penulisan                                                                           2         
BAB II
A.    Ismail Al-Faruqi                                                                            3
1.      Bioigrafi                                                                                  3
2.      Pemikiran Kalam Al-Faruqi                                                    3
3.      Karya-karya Al-Faruqi                                                            5
B.     Hassan Hanafi                                                                               6
1.      Biografi                                                                                   6
2.      Pemikiran Kalam Hassan Hanafi                                            7
3.      Karya-karya Hassan Hanafi                                                    9
C.     Harun Nasution                                                                             10
1.      Biografi                                                                                   10
2.      Pemikiran Kalam Harun Nasution                                          10
3.      Karya-karya Harun Nasution                                                  12
BAB III
A.    Kesimpulan                                                                                   14
Daftar Pustaka                                                                                                15

BAB I

A.    LATAR BELAKANG
Ilmu kalam adalah ilmu yang mempelajari tentang ketauhidan, kenabiyan (kemanusiaan), dan hal-hal yang belum diketahui yang bertujuan untuk menambah atau mempertebal keyakinan. Ilmu kalam juga merupakan salah satu dari tiga komponen utama rukun iman. Ketiga komponen itu yaitu mengucapkan dengan lisan, melaksanakan dengan rukun-rukun dan membenarkan dalam hati. Agar keyakinan itu dapat tumbuh dengan kukuhnya.
Untuk itu ilmu kalam terbelah menjadi beberapa aliran yang telah diutarakan para presentasi yang sebelumnya yaitu aliran Qodariyah, Jabariyah, Khowarij, Mu’tazilah, Ash’ariyah dan lainnya. Yang berawal dari berdampak berbeda pendapat sehingga menjadikan munculnya aliran-aliran tersebut. Mengkaji ilmu kalam pada dasarnya merupakan upaya memahami kerangka berpikir dan proses pengambilan keputusan para ulama aliran teologi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan ilmu kalam. Sebenarnay potensi yang dimiliki setiap manusia baik berupa potensi biologis maupun potensi psikologis secara natural sangat distingsif. Oleh karean itu, perbedaan kesimpulan antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya dalam megkaji objek tertentu merupakan suatu hal yang bersifat natural pula.
Dalam kaitan ini, (Waliyullah Ad-Dahlwi (1114-1176 H) dalam buku Abdul Rozak dan Rosihon Anwar: 42) pernah mengatakan bahwa para sahabat dan tabiin bisa berbeda pendapat dalam mengkaji masalah tertentu. Lebih lanjutnya, dia melihat beberapa indikasi yang menjadi pemicu perbedaan pendapat di kalangan sahabat dan para tabiin. Di antaranya  adalah kenyataan bahwa terdapat beberapa sahabat yang mendengar ketentuan hokum yang diputuskan Nabi, sementara yang lainnya tidak. Sahabat yang tidak mendengar keputusan itu lalu berijtihad. Dari sini, kemudian terjadi perbedaan pendapat dalam memutuskan ketentuan hukum.
Mengenai sebab pemicu perbedaan pendapat, Ad-Dahlawi tampaknya lebh menekankan aspek subjek pembuatan keputusan sebagai pemicu perbedaan pendapat. Penekanan yang serupa pernah dikatakan (Imam Munawwir dalam buku Abdul Rozak dan Rosihon Anwar: 42) dia mengatakan bahwa perbedaan pendapat di dalam islam lebih dilatarbelakangi adanya beberapa hal yang menyangkut kapasitas dan kredibilitas seseorang sebagai figure pembuat keputusan. Sedangkan (Umar Sulaiman Asy-Syaqar dalam buku Abdul Rozak dan Rosihon Anwar: 42) lebih menekankan aspek objek keputusan sebagai pemicu terjadinya perbedaan pendapat, yaitu persoalan keyakinan, syari’ah dan politik.
Dalam hal ini penulis akan membahas yang berkaitan dengan tokoh-tokoh ilmu kalam yang berperan serta dalam pemikirannya yakni Ismail Al-Faruqi, Hassan Hanafi dan Harun Nasution. Untuk lebih jelasnya akan dibahas dalam makalah ini.

 
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana biografi Ismail Al-Faruqi, Hassan Hanafi dan Harun Nasution ?
2.      Apakah pemikiran Ismail Al-Faruqi, Hassan Hanafi dan Harun Nasution ?
3.      Apa sajakah karya-karya Ismail Al-Faruqi, Hassan Hanafi dan Harun Nasution ?

C.    TUJUAN PENULISAN
1.      Mengetahui biografi Ismail Al-Faruqi, Hassan Hanafi dan Harun Nasution.
2.      Memahami pemikiran-pemikiran Ismail Al-Faruqi, Hassan Hanafi dan Harun Nasution.
3.      Mengetahui karya-karya Ismail Al-Faruqi, Hassan Hanafi dan Harun Nasution.











BAB II

A.    ISMAIL AL-FARUQI
1.      Biografi
Ismail Raji Al-Faruqi lahir pada tanggal 1 januari 1921 di Jaffa, Palestina. Pengalaman pendidikanya di awali dari pendidikan madrasah di desa kelahirannya (college des ferese), Libanon yang menggunakan bahasa prancis sebagai bahasa pengantarnya, predikat sarjana muda diperolehnya dari Amerika university, Bairut jurusan filsafat pada tahun 1941.[1]
Ismail Raji Al-Faruqi  pernah menjadi pegawai negeri selama empat tahun di palestina yang ketika itu masih dalam status mandat Inggris. Karir birokrasi Ismail Raji Al-Faruqi pernah mencapai jabatan sebagai gubenur di Galilela, Palestina pada usia 24 tahun. Namun jabatan ini tidak lama karena pada tahun 1947 propinsi tersebut jatuh ke tangan Israel, sehingga ia pindah ke Amerika serikat pada tahun 1948.
Pada tahun 1949 Ismail Raji Al-Faruqi melanjutkan studinya di Universitas Indian sampai meraih gelar master dalam bidang filsafat. Dua tahun kemudian ia meraih gelar master kedua dalam bidang yang sama dari universitas Harvard. Pada tahun 1952 ia meraih gelar Ph. D dari Universitas Indian dengan disertasi berjudul “Tentang Pembenahan Tuhan: Metafisika dan Epistimologi nilai”. Namun apa yang ia capai tidak memuaskan, karena itu ia kemudian pergi ke Mesir untuk lebih mendalam ilmu keislaman di universitas Al-Azhar Kairo.
Ismail Raji Al-Faruqi mulai mengajar di Mcbill University, Kanada pada tahun 1959. Pada tahun 1961-1963 ia pindah ke Karachi Pakistan untuk ikut bagian dalam kegiatan Centeral Intitute For Islame Researh dan jurnalnya Islamic Studies. Tahun 1968 ia pindah ke temple university Philadelpia sebagai guru besar agama dan mendirikan pusat kajian islam.
Hidup Ismail Raji Al-Faruqi berahir tragis setelah ia dan isterinya dibunuh pembunuh gelap di rumahnya di Philadelphia pada tanggal 27 Mei 1986. Beberapa penganut menduga bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh Zionis Yahudi karena proyek Ismail Raji Al-Faruqi yang demikian inten untuk kemajuan islam.

2.      Pemikiran Kalam Al-Faruqi
a.      Tauhid Sebagai Inti Pengalalaman Agama
      Menurut Al-Faruqi, inti pengalaman agama adalah Tuhan. Dua kalimat Syahadad menempati posisi paling utama dalam setiap kedudukan, tindakan dan pemikiran setiap mu’min. Kehadiran tuhan mengisi kesadaran muslim dalam waktu kapanpun dan dalam keadaan apapun. Bagi kaum muslim tuhan merupakan Obsesi yang agung. Esensi pengalaman agama dalam islam tidak lain dari realisasi prinsip bahwa hidup dan kehidupan ini tidak sia-sia. [2]
b.      Tauhid Sebagai Pandangan Dunia
      Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu, sejarah manusia dan takdir.[3]
c.       Tauhid sebagai Inti Sari Islam
      Esensi peradaban islam adalah islam, dan esensi islam adalah tauhid atau pengesaan Tuhan. Tidak ada satu perintahpun dalam islam yang dapat dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid, islam tidak akan ada.[4]
d.      Tauhid Sebagai Prinsip Sejarah
      Tauhid menempatkan manusia pada suatu etika berbuat atau bertindak, yaitu etika ketika keberhargaan manusia sebagai pelaku moral di ukur dari tingkat keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi aliran ruang dan waktu. Eskatologi islam tidak memiliki sejarah formatif. Ia terlahir lengkap dalam Al-Qur’an, dan tidak mempunyai kaitan dengan situasi para pengikutnya pada waktu kelahiranya, seperti dalam agama yahudi atau kristen ia di pandang sebagai klimaks moral bagi kehidupan di atas bumi.[5]
e.       Tauhid Sebagai Prinsip Pengetahuan
      Iman dalam Islam adalah kebenaran yang diberikan pada pikiran, bukan pada perasaan manusia yang mudah mempercayai semua hal. Kebenaran atau proporsi iman bukanlah misteri-misteri, hal-hal yang sulit difahami, tidak dapat diketahui dan tidak masuk akal, melainkan bersifat kritis dan rasional. Kebenaran-kebenarannya telah dihadapkan pada ujian keraguan dan lulus dalam keadaan utuh dan ditetapkan sebagai kebenaran.[6]
f.       Tauhid Sebagai Prinsip Metafisika
      Alam adalah ciptaan dan anugerah yang maha kuasa, ia bersifat teologis, sempurna dan teratur. Sebagai anugerah ia merupakan kebaikan yang tidak mengandung dosa yang disediakan untuk manusia. Tujuannya untuk memungkinkan manusia melakukan kebaikan dan mencapai  kebahagiaan. Keteraturan, kebertujuan, dan kebaikan menjadi ciri dan meringkas pandangan islam tentang Alam.[7]
g.      Tauhid Sebagai Prinsip Etika
      Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah memberikan amanat-Nya kepada manusia, suatu amanat yang tidak mampu dipikul oleh langit dan bumi, amanat yang meraka hindari dengan penuh ketakutan. Amanat Illahi tersebut berupa pemenuhan unsur etika dari kehendak Illahi, yang sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus direalisasikan dengan kemerdekaan, dan manusia adalah satu-satunya adalah mahluk yang mampu melaksanakannya. Dalam Islam etika tidak dapat dipisahkan dari agama dan dibangun di atasnya.[8]
h.      Tauhid Sebagai Prinsip Tata Sosial
      Islam tidak membeda-bedakan antara manusia satu dengan yang lainnya, semua manusia di anggap sama kedudukannya di mata Allah, masyarakat Islam adalah masyarakat yang terbuka, dan setiap manusia boleh bergabung dengannya, baik sebagai umat Islam maupun sebagai yang dilindungi. Masyarakat islam harus berusaha mengembangkan dirinya untuk mencakup seluruh umat manusia.[9]
i.        Tauhid Sebagai Prinsip Ummah
      Al-Faruqi menjelaskan prinsip ummah tauhid menjadi empat identitas, pertama, menentang etnosentrisme, maksudnya tata sosial Islam adalah mencakup seluruh umat manusia tanpa terkecuali, tidak hanya untuk segelintir etnis. Kedua,  universalisme, maksudnya, islam bersifat universal, dalam arti mencakup seluruh manusia. Ketiga, totalisme, maksudnya islam relevan dengan semua bidang kegiatan hidup manusia dan mencakup seluruh aktivitas pada ruang dan waktu. Keempat kemerdekaan, tata sosial Islam adalah kemerdekaan. Jika dibangun dengan kekerasan atau memaksa rakyat, islam akan kehilangan sifatnya.[10]
j.        Tauhid Sebagai Prinsip Keluarga
      Al-Faruqi memandang bahwa selama tetap melestarikan identitas mereka dari komunisme dan ideologi barat, umat Islam menjadi masyarakat yang selamat dan menempati kedudukanyan yang terhormat, keluarga islam mempunyai peluang lebih besar untuk tetap lestari sebab ditopang oleh hukum Islam dan Dideterminisi oleh hubungan erat dengan tauhid.[11]

3.      Karya-Karya Al-Faruqi
           Dengan ketajaman analisis Al Faruqi, ia mampu menguasai berbagai disiplin ilmu, seperi etika, seni, sosiologi, kebudayaan (antropologi), sampai metafisika dan politik, termasuk juga wacana pendidikan.
           Karyanya yang terakhir adalah The Culture Atlas of Islam yang digarap bersama istrinya, Lamaya. Buku ini menggambarkan tentang peta peradaban dan kultur Islam sejak masa paling awal sampai abad pertengahan. Dalam buku ini al Faruqi ingin mengambarkan bahwa peradaban Islam dapat menjadi kebanggaan. Kajiannya sangat jelas berusaha menunjukkan ruh dan spirit Islam sebagai prinsip yang telah mengantarkan peradaban Islam yang pernah cemerlang, yaitu semangat Tauhid. Dalam buku ini juga, tanpa ragu Al-Faruqi menulis bahwa intisari tamaddun (peradaban) Islam adalah Islam itu sendiri, dan intisari Islam adalah tauhid.
           Karya lain yang penting dan mungkin yang menghasilkan  tanggapan adalah bukunya yang berjudul Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan. Dalam buku ini ia berusaha mensosialisasikan ide-ide islamisasi pengetahuan, sekaligus menawarkan kerangka kerja dan tahapan-tahapan teknis yang harus dilaksanakan ketika akan melakukan proyek islamisasi terhadap ilmu pengetahuan di dunia muslim. Buku ini terdiri atas tujuh bagian pembahasan dan dilengkapi dengan appendiks berupa beberapa agenda hasil konferensi II tentang islamisasi pengetahuan di Islamabad, tahun 1982, konferensi III dan IV tentang isu yang sama dilaksanakan di Kuala Lumpur tahun 1984 dan di Khortoum tahun 1987.
            Karya yang lain, adalah Al Tawhid: Its Implication for Thought and Life (1982) yang berisi 13 chapter. Karya ini menganalisis secara tajam dan meyakinkan batapa tauhid dapat menjadi prinsip sejarah, prinsip ilmu pengetahuan, prinsip metafisika, prinsip etika, prinsip tata sosial, prinsip ummah, prinsip keluarga, prinsip tata politik, prinsip tata ekonomi, prinsip tata dunia, prinsip estetika.
Menurut Abdurrahmansyah karya-karya al Faruqi tampaknya sangat kuat berpondasi pada tauhid sebagai nilai esensial Islam, dan selalu menjadi ide dasar analisisnya.  Esensi tauhid menurut al Faruqi adalah potensi dasar yang besar, yang mampu menggerakkan roda peradaban muslim ke arah yang paling progresif, termasuk dalam mencermati pendidikan Islam.
              Selama kehidupan profesionalnya yang hampir berlangsung 30 tahun, dia menulis, menyunting, atau menerjemahkan 25 judul buku, mempublikasikan lebih dari seratus artikel, menjadi guru besar tamu di lebih dari 23 universitas di Afrika, erpa, Timur Tengah, Asia Selatan dan Tenggara, dan duduk dalam dewan redaksi di tujuh jurnal Besar.
Tulisan-tulisannya yang lain seperti The Life of Muhammad (Philadelphia: Temple University Press, 1973), Urubah and Relegion (Amsterdam: Djambatan,1961), Particularisme in the Old Testament nd Contemporary Sect in Judaism (Cairo:League of arabe States, 1963), The Great Asian Religion (New York: Macmillen,1969) (AI-Faruqi, 1975:XI), serta banyak lagi artikel dan makalah yang sudah  diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.[12]
B.     HASSAN HANAFI
1.      Biografi
            Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Ia berasal dari keluarga musisi, pendidikanya di awali pada tahun 1935 dengan menamatkan pendidikan tingkat dasar, dan melanjutkan studi di Madrasah Sanawiyah “Kholil Agha” Kairo, yang diselesaikan selama empat tahun. Selama di Sanawiyah Ia aktif mengikuti diskusi-diskusi kelompok Ihkwan Al-Muslimin. Oleh karena itu, sejak kecil ia telah mengetahui pemikiran-pemikiran ytang dikembangkan kelompok itu dan aktivitas-aktivitas sosialnya. Hannafi tertarik untuk mempelajari pemikiran-pemikiran Sayyid Kutb tentang keadilan sosial dalam islam.
            Masa kecil Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup di bawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun masih berusia 13 tahun ia telah mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948. la ditolak oleh Pemuda Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu muda. Di samping itu ia juga dianggap bukan berasal dari kelompok Pemuda Muslimin. Ia kecewa dan segera menyadari bahwa di Mesir saat itu telah terjadi problem persatuan dan perpecahan.
            Ketika masih duduk di bangku SMA, tepatnya pada tahun 1951, Hanafi menyaksikan sendiri bagaimana tentara Inggris membantai para syuhada di Terusan Suez. Bersama-sama dengan para mahasiswa ia mengabdikan diri untuk membantu gerakan revolusi yang telah dimulai pada akhir tahun 1940-an hingga revolusi itu meletus pada tahun 1952. Atas saran anggota-anggota Pemuda Muslimin, pada tahun ini ini pula ia tertarik untuk memasuki organisasi Ikhwanul MusliminSejak tahun 1952 sampai dengan 1956 Hanafi belajar di Universitas Kairo untuk mendalami bidang filsafat. Di dalam periode ini ia merasakan situasi yang paling buruk di Mesir. Pada tahun 1954 misalnya, terjadi pertentangan keras antara Ikhwan dengan gerakan revolusi. Hanafi berada pada pihak Muhammad Najib yang berhadapan dengan Nasser, karena baginya Najib memiliki komitmen dan visi keislaman yang jelas.
            Tahun-tahun berikutnya, Hanafi berkesempatan untuk belajar di Universitas Sorborne Perancis, pada tahun 1956 sampai 1966. Di Perancis inilah ia dilatih untuk berpikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan atau karya-karya orientalis. Ia sempat belajar pada seorang reformis Katolik, Jean Gitton; tentang metodologi berpikir, pembaharuan, dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Ricouer, analisis kesadaran dari Husserl, dan bimbingan penulisan tentang pembaharuan Ushul Fiqih dari Profesor Masnion.
            Di waktu-waktu luangnya, Hanafi mengajar di Universitas Kairo dan beberapa universitas di luar negeri. Ia sempat menjadi profesor tamu di Perancis (1969) dan Belgia (1970). Kemudian antara tahun 1971 sampai 1975 ia mengajar di Universitas Temple, Amerika Serikat. Pengalaman dengan para pemikir besar dunia dalam berbagai pertemuan Internasional, baik di kawasan Negara Arab, Asia, Eropa, dan Amerika membantunya semakin paham terhadap persolan besar yang sedang dihadapi dunia dan umat Islam di berbagai Negara. Hanafi berkali-kali mengunjungi Negara-Negara asing seperti belanda, swedia, Portugal, Spanyol, Perancis, Jepang India, Indonesia, Sudan, dan Saudi Arabia antara tahun 1980-1987.

2.      Pemikiran Kalam Hassan Hanafi
a.      Kritik Terhadap Teologi Tradisional
            Dalam gagasannya tentang  rekonstruksi teologi tradisional Hanafi menegaskan perlu mengubah orientasi perangkat konseptual system kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan kontek politik yang terjadi. Teologi tradisional, menurut Hanafi lahir dalam kontek sejarah ketika inti keislaman sisitem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya lama. Teologi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemurniaannya. Sementara itu, konteks sosial-politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonialisme. Oleh karena itu, kerangka konseptual masa-masa permulaan yang berasal dari kebudayaan klasik harus diubah menjadi kerangka konseptual baru yang berasal dari kebudayaan modern.
            Selanjutnya, Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik-konflik sosial-politik. Oleh karena itu, kritik teologi merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan. Sebagai produk pemikiran manusia, teologi terbuka untuk kritik. Menurut Hanafi, teologi sesungguhnya bukan lmu tentang Tuhan, yang secara etimologi berasal dari kata teos dan logos, melainkan ilmu tentang kata (ilm al-kalam).
            Teologi bukan merupakan ilmu tentang tuhan karena tuhan tidak tunduk pada ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam sabdanya yang berupa wahyu. Ilmu kata adalah ilmu tafsir yaitu hermeneutik. Yang merupakan ilmu tentang analisis percakapan (discourse analysis), bukan hanya dari segi bentuk-bentuk murni ucapan, melainkan dari segi konteksnya yaitu pengertian yang merujuk pada dunia. Wahyu sebagai manifestasi kemauan tuhan, yaitu sabda yang dikirim kepada manusia yang mempunyai muatan-muatan kemanusiaan.
            Secara praksis, Hanafi menunjukan bahwa teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah  “pandangan yang benar-benar hidup” dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan konkret umat manusia. Secara praksis, teologi tradisional gagal menjadi ideology yang fungsional bagi kehidupan nyata masyarakat muslim.
            Kegagalan para teolog tradisional disebabakan oleh para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Akibatnya, muncul keterpecahan antara keimanan teoritik dengan amal praktisnya di kalangan umat. Ia menyatakan, baik secara individual maupun sosial, um at ini dilanda ketrcerebaian dan terkoyak-terkoyak. Secara individual, pemikiran manusia terputus dengan kesadaran, perkataan ataupun perbuatannya. Keadaan serupa akan mudah melahirkan sikap-sikap moral ganda atau sinkritisme kepribadian. Fenomena sinkritis ini tampak dalam kehidupan umat islam saat ini: sinkritisme antara kultur keagamaan dan sekulerisme (dalam kebudayaan), antara tradisional dan modern (peradaban), antara timur dan barat (politik), antara konservatisme dan progresivisme (sosial) dan antara kapitalisme dan sosialisme (ekonomi).[13]
b.      Rekonstruksi Teologi
            Melihat sisi kelemahan teologi tradisional, Hanafi mengajukan saran rekontruksi teologi. Menurutnya, mungkin untuk memfungsikan teologi menjadi ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masa kini yaitu dengan melakukan rekontruksi dan revisi, serta membangun kembali epistomologi lama yang rancu dan palsu menuju epistimologi baru yang sahih dan lebih signifikan. Tujuan rekontruksi teologi Hanafi adalah menjadikan teologi tidak sekedar dogma-dogma keagamaan yang kosong, tetapi menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi manusia.
            Langkah melakukan rekontruksi teologi dilatarbelakangi oleh tiga hal.
            Pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas ditengah-tengah pertarungan  global antara berbagai ideology.
            Kedua, prntingnya teologi baru ini bukan pada sisi teoretiknya, melainkan juga terletak pada kepentingan praktis untuk mewujudkan ideology sebagai gerakan dalam sejarah. Salah satu kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem pendudukan tanah di Negara-negara muslim.
            Ketiga, kepentingan teologi yang bersifat praktis (‘amaliyah fi’liyah), yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia islam. hanafi menghendaki adanya teologi dunia, yaitu teologi baru yang dapat mempersatukan umat islam dibawah satu orde.
            Selanjutnya, Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teologi ilmu dalam teologi islam.
            Pertama, analisis bahasa. Bahasa serta istilah-istilah dalam teologi tradisional adalah warisan nenek moyang dibidang teologi, yang merupakan bahasa khas yang seolah-olah sudah menjadi ketentuan sejak dulu. Teologi tradisional memiliki istilah-istilah khas, seperti Aflah, iman, akhirat. Menurut Hanafi, semua ini menyingkapkan sifat-sifat dan metode keilmuan, ada yang empiris dan rasional, seperti iman, amal dan imamah, dan ada yang historis seperti nubuah, serta ada pula yang metafisik, seperti Allah dan akhirat.
            Kedua, analisis realitas. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi pada masa lalu, mendiskripsikan pengaruh-pengaruh nyata teologi bagi kehidupan masyarakat, dan bagaimana ia mempunyai kekuatan mengarahkan terhadap perilaku para pendukungnya. Analisis realitas ini berguna untuk menentukan stressing ke arah mana teologi kontemporer harus diorientasikan.[14]
       
3.      Karya-Karya Hassan Hanafi
a.       Qadhaya Mu’ashirat Fi Fikrina Al-Mu’ashir, buku ini diterbitkan pada tahun 1976. Tulisan ini merupakan akumulai tulisan hannafi yang telah diterbitkan dibeberapa jurnal, kususnya jurnal Al-Katib, Al-Adab ,Al-Fiqr Al-Mu’ashir, dan mimbar alislam. Dirrasat Islamiyah, buku ini ditulis  sejak tahun 1978 dan terbit tahun 1978, memuat deskripsi dan analisis pembaharuan terhadap Ilmu keislaman klasik, seperti Usul Fiqih, Ilmu-Ilmu Usluhudin, dan Filsafat.
b.      Al-Turats Wa Al-Tajdid, buku ini terbit pertama kali tahun 1980, tulisan ini memuat landasan teoristis ide-ide pembaharuan dan langkah-langkahnya.
c.       Al-Asar Al-Islamiyah, yang dikenal hingga saat ini dengan istilah Kiri Islam . sebuah tulisan yang memuat Manifesto Politik yang berbau Idiologis.
d.      Min Al –Aqidah Ila Al Tswaurah, (dari Aqidah menuju Revolusi), buku ini terdiri dari 5 jilid, di tulis salama hampir 10 tahun, dan baru terbit pada tahun  1988, buku ini memuat uraian rinci tentang pokok-pokok pembaharuan yang ia canangkan, sebagaimana yang termuat dalam karya-karyanya yang  terdahulu.
e.       Religion Ideologi And Developmen, terbit pada tahun 1993.  Muatan tulisan ini banyak dipresentasikan dalam berbagai seminar dibeberapa Negara, seperti AS, Perancis, belanda, Timor tengah, Jepang dan termasuk Indonesia.
f.       Islam in the Modern World, buku ini terdiri dari dua jilid, Tulisan ini juga merupakan susunan dari beberapa tulisanya yang di beberapa artikel.

C. HARUN NASUTION
1. Biografi
            Harun Nasution lahir pada hari selasa 23 september 1919 di sumatera. Ayahnya, Abdul Jabar Ahmad, adalah seorang ulama, hakim dan seorang penghulu. Pendidikan formalnya dimulai disekolah belanda HIS. Setelah tujuh tahun di HIS, ia meneruskan ke MIK (Modern Islamietische kweekschool) di Bukittinggi pada tahun 1934. Pendidikannya lalu diteruskan ke Universitas Al-azhar, Mesir. Sambil kuliah di Al-Azhar,ia kuliah pula di Universitas Amerika di Mesir. Pendidikannya lalu dilanjutkan ke Mc. Gill,Kanada, pada tahun 1962.
            Setiba ditanah air pada tahun 1969, Harun Nasution langsung mencempungkan diri dalam bidang akademis dengan menjadi dosen pada IAIN Jakarta, dan kemudian juga pada Universita Nasional. Kegiatan akademis dirangkapnya dengan kegiatan administrasi (tetapi tetap dalam rangka akademis) ketika ia memimpin IAIN, ketua lembaga pembinaan pendidikan agama IKIP Jakarta, dan terakhir memimpan Fakultas pasca sarjana IAIN Jakarta.dengan berbekal Ph.D. yang diraihnya pada tahun 1968 di McGill University, ia pun mempunyai bekal yang berbeda dari pakar sebelimnya di Indonesia tentang studi islam. Perbedaan latar belakang ini agaknya perlu diperhatikan.
            Harun Nasution adalah figur sentral dalam semacam jaringan intelektual yang terbentuk di kawasan IAIN ciputat semenjak paruh kedua dasawarsa 70-an. Sentralitas Harun Nasution di dalam jaringan ini tentu saja banyak ditopang oleh kapasitas intelektualnya, dan kemudian oleh kedudukan formalnya sebagai rektor sekaligus salah seorang pengajar di IAIN. Dalam kapasitas terakhir ini, ia memegang beberapa mata kuliah terutama menyangkut sejarah perkembangan pemikiran yang terbukti menjadi salah satu sarana awal menuju pembentukan jaringan antara Harun Nasution dan mahasiswa-mahasiswanya.[15]
2. Pemikiran Kalam Harun Nasution
a. Peranan Akal
Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian, “Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah, manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.
            Tema islam agama rasional dan dinamis sangat kuat bergema dalam tulisan-tulisan Harun Nasution, terutama dalam buku Akal dan Wahyu dalam islam,Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, dan Muhammad Abduh dan Teologi Raasional Muhammad Abduh.
            Dalam ajaran islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja,tetapi juga dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan islam sendiri. Pemakaian akal dalam islam diperintahkan Al-Qur’an sendiri. Bukanlah tidak ada dasarnya kalau ada penulis-penulis, baik dikalangan islam sendiri maupun dikalangan non-islam, yang berpendapat bahwa islam adalah agama rasional.[16]
b. Pembaharuan Teologi
            Pembaharuan teologi, yang menjadi predikat Harun Nasution, pada dasarnya dibangun di atas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat islam adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka. Pandangan ini serupa dengan pandangan kaum modernis lain pendahulunya yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi islam yang sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat islam dengan teologi fatalistik, irasional, pre-determinisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat islam, menurut Harun Nasution, umat islam hendaklah mengubah teologi mereka menuju teologi yang berwatak  free-will, rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khasanah islam klasik sendiri yakni teologi mu”tazilah.[17]

c. Hubungan Akal dan Wahyu
            Salah satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan antara akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan wahyu dan akal memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam al-qur”an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya . wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan
            Dalam pemikiran islam, baik dibidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi dibidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu  dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretai. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran islam sebenarnya bukan akal dengan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan penafsiran lain dari teks wahyu iti juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.[18]
3.  Karya-karya Harun Nasution
Dalam rangka mengembangkan pemikirannya, Harun Nasution telah menulis sejumlah buku, antara lain sebagai berikut:[19]
a. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (1974). Buku ini terdiri dari dua jilid, diterbitkan pertama kali oleh UI-Press, yang intinya adalah memperkenalkan Islam dari berbagai aspeknya. Buku ini menolak pemahaman bahwa Islam itu hanya berkisar pada ibadat, fikih, tauhid, tafsir, hadits, dan akhlak saja. Islam menurut buku Harun ini lebih luas dari itu, termasuk di dalamnya sejarah, peradaban, filsafat, mistisisme, teologi, hukum, lembaga-lembaga, dan politik.
b. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan (1977). Buku ini terdiri dari dua bahagian. Bahagian pertama, mengandung uraian tentang aliran dan golongan-golongan teologi, bukan hanya yang masih ada tetapi juga yang pernah terdapat dalam Islam seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariah dan Jabariah, Mu’tazilah, dan Ahli Sunnah wal Jama’ah. Uraian diberikan sedemikian rupa, sehingga di dalamnya tercakup sejarah perkembangan dan ajaran-ajaran terpenting dari masing-masing aliran atau golongan itu, dan mengandung analisa dan perbandingan dari aliran-aliran tersebut. Sehingga dapat diketahui aliran mana yang bersifat liberal, mana yang bersifat tradisional.
c. Filsafat Agama (1978). Buku ini menjelaskan tentang epistemologi dan wahyu, ketuhanan, argumen-argumen adanya Tuhan, roh, serta kejahatan dan kemutlakan Tuhan.
d. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (1978). Buku ini juga merupakan kumpulan ceramah Harun di IKIP Jakarta. Buku ini terdiri dari dua bagian, yakni bagian falsafat Islam dan bagian mistisisme Islam (tasawuf). Bagian falsafat Islam menguraikan bagaimana kontak pertama antara Islam dan ilmu pengetahuan serta falsafat Yunani yang kemudian melahirkan filosuf muslim seperti al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, dan ibn Rusyd. Sedangkan, bagian mistisisme Islam menguraikan bagaimana kedudukan tasawuf dalam Islam sebagai upaya mendekatkan diri pada Tuhan.
e. Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1978). Buku ini merupakan kumpulan ceramah dan kuliah Harun Nasution di berbagai tempat di Jakarta tentang Aliran-Aliran Modern dalam Islam. Membahas tentang pemikiran dan gerakan pembaruan dalam Islam, yang timbul di zaman yang lazim disebut periode modern dalam sejarah Islam. Pembahasannya mencakup atas pembaruan yang terjadi di tiga negara Islam, yaitu Mesir (topik intinya; pendudukan Napoleon dan pembaharuan di Mesir, Muhammad Ali Pasya, al-Tahtawi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, murid dan pengikut Muhammad Abduh), Turki, (topik intinya; Sultan Mahmud II, Tanzimat, Usmani Muda, Turki Muda, tiga aliran pembaharun, Islam dan Nasionalis, dan Mustafa Kemal), dan India-Pakistan (topik intinya ; Gerakan Mujahidin, Sayyid Ahmad Khan, Gerakan Aligarh, Sayyid Amir Ali, Iqbal, Jinnah dan Pakistan, Abul Kalam Azad dan Nasionalisme India.
f. Akal dan Wahyu dalam Islam (1980). Buku ini menjelaskan pengertian akal dan wahyu dalam Islam, kedudukan akal dalam Al-Quran dan Hadits, perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, dan peranan akal dalam pemikiran keagamaan Islam. Uraian tegas buku ini menyimpulkan bahwa dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran keagamaan sendiri. Akal tidak pernah membatalkan wahyu, akal tetap tunduk kepada teks wahyu.
g. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (1987). Buku ini merupakan terjemahan dalam bahasa Indonesia dari tesis Ph.D. Harun Nasution yang berjudul “The Place of Reason in Abduh’s Theology, Its Impact on his Theological System and Views”, diselesaikan bulan Maret 1968 di McGill, Montreal, Kanada. Buku ini berisi tentang riwayat hidup Muhammad Abduh, filsafat wujud, kekuatan akal, fungsi wahyu, paham kebebasan manusia dan fatalisme, sifat-sifat Tuhan, perbuatan Tuhan, dan konsep Iman. Inti buku ini menjelaskan bahwa pemikiran teologi Muhammad Abduh banyak persamaannya dengan teologi kaum Mu’tazilah, bahkan dalam penggunaan kekuatan akal, Muhammad Abduh jauh melebihi pemikiran Mu’tazilah.
h. Islam Rasional (1995). Buku ini merekam hampir seluruh pemikiran keislaman Harun Nasution sejak tahun 1970 sampai 1994 (diedit oleh Syaiful Muzani), terutama mengenai tuntutan modernisasi bagi umat Islam. Hal itu, menurut Harun, harus diubah dengan pandangan rasional yang sebenarnya telah dikembangkan oleh teologi Mu’tazilah. Karena itu, reaktualisasi dan sosialisasi teologi Mu’tazilah merupakan langkah strategis yang harus diambil, sehingga umat Islam secara kultural siap terlibat dalam pembangunan dan modernisasi dengan tetap berpijak pada tradisi sendiri.












BAB III
A.    KESIMPULAN
          Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dari ketiga tokoh di atas memiliki pemikiran kalam yang berbeda-beda, pemikiran kalam Al-Faruqi adalah inti pengalaman agama adalah Tuhan. Kalimat syahadat menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang, waktu,sejarah manusia dan takdir. Pemikiran kalam Hassan Hanafi adalah mengkritik teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah pandangan yang benar-benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret umat manusia hal ini disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga menimbulkan keterpercahan antara keimanan teoritik dengan amal praktiknya dikalangan umat. Dan pemikiran kalam Harun Nasution adalah Besar kecilnya peranan akal dalam sistem teologi suatu aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Harun memandang perlu pembaharuan teologi untuk kembali kepada teologi Islam sejati.



DAFTAR PUSTAKA
Al-Rasyid, Muslim. Widi Irawan. 2012. “Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Analisis Teerhadap Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi)”. (online), (http://widiirawan.blogspot.com/2012/04/makalah-filsafat-pendidikan-islam.html3.05 . diakses tanggal 15 Desmber 2014)
Harun, Hamzah. 2012. “Karya-karya Hasan Hanafi”. (online), (http://hamzah-harun.blogspot.com/2012/02/karya-karya-hasan-hanafi.html. di akses tanggal 3 Desember 2014)
Rozak, Abdul. Rosihon Anwar. 2012. Ilmu Kalam. Bandung: CV PUSTAKA SETIA
……… 2009. “Pemikiran Prof. dr. Harun Nasution”. (online). (http://udhiexz.wordpress.com/2009/05/12/pemikiran-prof-dr-harun-nasution. di akses tanggal 21 November 2014)



[1] Abdul Rozaq dan Rosihon Anwar. 2012. Ilmu Kalam. Bandung: CV. PUSTAKA. hal. 267 
[2] Ibid., hal. 270
[3] Ibid., hal. 271
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid., hal. 272
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid., hal. 273
[12] Al-Rasyid, Muslim. Widi Irawan. 2012. “Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Analisis Teerhadap Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi)”. (online), (http://widiirawan.blogspot.com/2012/04/makalah-filsafat-pendidikan-islam.html3.05 . diakses tanggal 15 Desmber 2014)

[13]Abdul Rozaq dan Rosihon Anwar. 2012. Ilmu Kalam. Bandung: CV. PUSTAKA. hal. 274
[14] Ibid., hal. 276
[15] Ibid., hal. 280
[16] Ibid., hal. 282
[17] Ibid.
[18] Ibid., hal. 283
[19] ……… 2009. “Pemikiran Prof. dr. Harun Nasution”. (online). (http://udhiexz.wordpress.com/2009/05/12/pemikiran-prof-dr-harun-nasution. di akses tanggal 21 November 2014)

MAKALAH HADIS TARBAWI ASPEK KEJIWAAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR

MAKALAH HADIS TARBAWI ASPEK KEJIWAAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR Dosen Pengampu :                         Muchlis Anshori, S. ...